Menuju konten utama

Perusahaan Pembakar Hutan di Antara Gurita Bisnis Sinar Mas

Riset terbaru Koalisi Anti Mafia Hutan menemukan bahwa berdasarkan dokumen perusahaan, pemasok kertas dan pulp Sinar Mas yang diklaim independen ditemukan bukti sebagai yang dikelola oleh Grup Sinar Mas.

Perusahaan Pembakar Hutan di Antara Gurita Bisnis Sinar Mas
Tim Reaksi Cepat (TRC) Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas dibantu helikopter Bell 412 melakukan simulasi pemadaman kebakaran lahan di Sungai Baung, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (14/5/2018). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

tirto.id - Asia Pulp & Paper (APP)—yang mengklaim diri sebagai salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia sekaligus anak perusahaan Grup Sinar Mas—membantah jadi pengendali perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bermasalah soal kebakaran hutan: PT Bumi Mekar Hijau (BMH).

Pihak APP mengklaim BMH hanya sebatas "pemasok independen" saja. Pemasok independen, menurut definisi dari mereka sendiri, adalah "perusahaan independen pemegang izin konsesi HTI di Indonesia. APP tidak mempunyai saham kepemilikan di perusahaan tersebut, tapi perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai kontrak jangka panjang memasok kayu pulp ke APP." (PDF)

Klarifikasi ini muncul setelah peristiwa kebakaran hutan masif terjadi di beberapa wilayah di Indonesia pada 2014 lalu, dengan wilayah terdampak sekitar 2,6 juta hektare atau setara separuh luas Jawa. Ketika itu Singapura memboikot produk-produk dari Sinar Mas, induk perusahaan APP, karena dituduh jadi biang keladi asap yang melayang sampai ke negaranya.

Singapura memberikan peringatan agar APP segera menyelidiki penyebab kebakaran. Hal yang sama dialamatkan pada BMH.

PT BMH diputus bersalah setelah Pengadilan Tinggi Palembang pada Agustus 2016 membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Palembang tanggal 30 Desember 2015. Pengadilan tingkat pertama sempat menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT BMH terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20 ribu hektare di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, pada 2014.

Konsekuensinya PT BMH mesti membayar ganti rugi sebesar Rp78,502 miliar atau hanya satu persen dari gugatan awal setelah banding di MA. MA menegaskan bahwa "BMH terbukti bahwa perbuatan membakar di lahan gambut dengan kedalaman tiga meter telah melanggar hukum."

Sepanjang proses persidangan tersebut, KLHK membekukan sementara izin PT BMH.

Peristiwa ini kemudian jadi pintu masuk dari beberapa pihak untuk menelisik lebih jauh keterikatan antara Sinar Mas dan perusahaan ini, dengan pertanyaan utama: benarkah Sinar Mas tidak terkait sama sekali?

Hasilnya bertolak belakang dengan klaim Sinar Mas. Alih-alih sebatas pemasok independen, ada dugaan keterkaitan langsung antara Sinar Mas dan perusahaan yang berperkara hukum ini.

Kepemilikan Saham

Dalam APP Wood Suppliers Wood Suppliers Location Maps, yang dipersentasikan dalam FGD di Jakarta pada 27 Maret 2013, APP menyebut jumlah pemasok bahan baku untuk tiga pabrik mereka yang ada di Indonesia sebanyak 33 perusahaan. Jumlah konsesi HTI yang dipegang mencapai 38, dengan luas lahan mencapai 2,6 juta hektare di Sumatera dan Kalimantan.

Hanya enam perusahaan yang statusnya "pemasok milik sendiri", sisanya 27 perusahaan (sudah termasuk PT BMH) diklaim pemasok independen.

Namun, beberapa organisasi non-pemerintah seperti Auriga, Elsam, Haki, IBC, ICW, Jikalahari, Walhi, WWF, dan YLBHI yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan justru menemukan bahwa dari 27 perusahaan itu setidaknya ada 24 (yang memiliki 29 izin HTI) yang memiliki keterkaitan erat dengan Sinar Mas Grup. Lebih spesifik: hubungan kepemilikan atau kepengurusan perusahaan.

Laporan lengkap mengenai ini mereka tuangkan dalam dokumen Tapi, Buka Dulu Topengmu: Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp & Paper (APP) di Indonesia, yang dilansir Rabu (30/5/2018).

"Sumber utama yang digunakan adalah profil perusahaan dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Keseluruhan analisa dilakukan terhadap 78 perusahaan dengan data AHU relatif mutakhir, terakhir 16 April 2018," kata Timer Manurung, Direktur Auriga kepada Tirto.

"Kepemilikan (saham), direktur, komisaris, semuanya dari AHU. Sosial media dipakai lebih ke pengecekan silang posisi orang-orang di perusahaan karena di AHU memasukkan nama di bawah direktur/komisaris," tambah Timer.

Riset ini—yang menurut Timer dikerjakan selama satu tahun—menemukan bahwa banyak pemegang saham (baik mayoritas atau minoritas), komisaris, dan direktur pada 24 perusahaan tersebut juga merupakan pejabat atau mantan pejabat di perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas.

Kepemilikan saham mayoritas dari 24 perusahaan pemasok "independen" ini mengalir keempat orang saja, lewat 21 perusahaan lapis kedua atau lapis ketiga (dalam laporan disebut "perusahaan induk"). Sebagian besar berdomisili sama dengan Sinar Mas Grup, yaitu di Plaza BII Thamrin, Jakarta, dan Wisma Indah Kiat di Serpong, Tangerang.

Siapa pemilik dan yang mengontrol PT BMH, salah satu perusahaan yang disanggah kepemilikan/kontrolnya oleh APP?

Dalam laporan koalisi, digambarkan kalau saham mayoritas PT BMH adalah PT Rimba Hutan Lestari. PT Rimba Hutan Lestari ini dikuasai lagi oleh perusahaan bernama PT Rimba Persada Hijau. Dari PT Rimba Persada Hijau, ada nama MS sebagai pemegang saham individual terbesar.

Nama-nama individu pemilik saham—yang dalam laporan hanya disebut inisialnya saja—tak punya kaki langsung ke pemasok independen, tapi lewat perantara. Dan ini adalah panorama umum, juga terjadi kepada pemilik saham minoritas.

Saham minoritas pada 20 dari 24 perusahaan pemasok independen lainnya mengalir lewat 14 perusahaan induk dan juga berujung pada empat nama perorangan.

Ringkasnya, 24 perusahaan ini terkait dengan delapan orang pemilik individu, dengan inisial TW, SN, HA, MG, FM, MS, ST dan LTN. Tujuh orang di antaranya terindikasi sebagai pejabat atau mantan pejabat yang terafiliasi dengan Sinar Mas Grup. Hanya FM yang belum terkonfirmasi keterkaitan kepemilikannya.

"Jabatan-jabatannya beragam, antara lain bagian sumber daya manusia PT Wirakarya Sakti, bagian keuangan dan akuntansi PT Arara Abadi, yang mana kedua perusahaan ini adalah perusahaan besar HTI yang disebut APP sebagai pemasok milik sendiri," tulis laporan (hlm. 9).

Selain delapan nama tersebut, setidaknya ada 16 nama lain yang "menjabat atau pernah menjabat pada perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan atau dikendalikan grup ini." (hlm. 14). Mereka secara merata tersebar baik di 24 perusahaan independen atau induk perusahaan independen tadi.

Ada yang menjabat kepala urusan pajak, kepala penetapan biaya, ada pula yang jadi direktur layanan pengelolaan kontrak pada Sinar Mas Forestry.

Apa tujuan dari struktur yang sedemikian rumit ini? Koalisi mengatakan kalau itu patut diwaspadai sebagai "struktur atas-nama" alias nominee structures, "yang dapat saja dipakai untuk tujuan-tujuan lain seperti penghindaran kewajiban pajak atau pengelolaan risiko."

Respons Sinar Mas

Temuan koalisi ini mirip seperti apa yang dirilis oleh Associated Press pada 20 Desember 2017. Stephen Wright, mengatakan dari hampir 1.100 halaman catatan perusahaan yang ditelaah, pemasok independen ternyata dimiliki 10 individu yang juga terkait erat dengan Sinar Mas.

Enam di antaranya tercatat sebagai karyawan, dua mantan karyawan, dank satu orang lain punya relasi dengan keluarga Widjaja (keluarga pemilik Sinar Mas).

"AP mengidentifikasinya dengan mencocokkan rincian biografi dalam dokumen, termasuk tanggal lahir, informasi profil di media sosial, laporan berita, dokumen industri kehutanan, dan sumber lain," tulis Stephen penulis laporan.

Setelah menunda klarifikasi, APP menjelaskan panjang lebar mengenai semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka lewat situsresmi.

Namun tidak ada klarifikasi mengenai kepemilikan. APP membahas yang lain, seperti komitmen mengenai standar yang tinggi dalam proses deforestasi, komitmen "keberlanjutan", dan komitmen-komitmen lain. Mengenai kepemilikan hanya disebut sekilas, dan itu pun hanya jadi jembatan untuk membahas hal lain.

"Tanpa memandang kepemilikan, semua pemasok, baik saat ini dan calon pemasok, diwajibkan untuk memenuhi standar Responsible Fibre Procurement and Processing Policy (RFPPP)—kebijakan yang mengedepankan "operasi berkelanjutan dan perlindungan lingkungan" (PDF).

Tirto pun mencoba menanyakan ihwal ini ke Suhendra Wiriadinata, Direktur APP Sinar Mas. Ia enggan menjawab via telepon. "Justru enaknya kita ketemu saja. Supaya lebih jelas penjelasan kami," katanya kepada Tirto.

Sementara Goh Lin Piao, Managing Director APP Sinar Mas, dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto juga tidak menjawab tegas. Ia hanya mengatakan "akan memberikan tanggapan resmi terhadap paparan koalisi."

Emmy Kuswandari, Corporate Affairs Communications APP, berjanji bakal segera memperbarui informasinya. "Kami baru bisa keluarkan pernyataan itu (mengenai bakal memberi tanggapan resmi) karena perlu ditelaah juga. Tapi pasti akan kami update," katanya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PEMBAKARAN HUTAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Bisnis
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino