Menuju konten utama

Perundingan HoA Molor, DKI Tak Serius Hentikan Swastanisasi Air?

Tidak transparannya proses perundingan HoA menimbulkan syak wasangka di kalangan aktivis penolakan swastanisasi air Jakarta.

Perundingan HoA Molor, DKI Tak Serius Hentikan Swastanisasi Air?
Petugas mengecek persedian air bersih di instalasi pengolahan air Palyja di Jalan Penjernihan, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum juga mengumumkan penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara PAM Jaya dengan dua operator swasta pengelola air Jakarta, PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta. Jika mengacu pada ucapan Anies pekan lalu, kesepakatan itu padahal seharusnya sudah rampung sejak 8 April 2019.

HoA adalah kesepakatan induk antara PAM dengan dua mitra swasta untuk menghentikan swastanisasi air yang berlangsung sejak 1998 di Jakarta. Pada Februari lalu, Anies dan beberapa jajaran pejabat Pemprov DKI mengumumkan kerja sama dengan dua konsorsium swasta Itu bakal dihentikan karena beberapa alasan.

Pertama, karena konsesi yang diberikan kepada dua operator swasta tersebut tak efektif untuk meningkatkan cakupan pelayanan air bersih di Jakarta. Di samping itu, PAM Jaya juga terus menerus menanggung kerugian akibat short fall yang membengkak.

Guna menuntaskan tujuan itu, Anies menugaskan PAM Jaya untuk menyusun draf HoA yang memuat sejumlah ketentuan soal restrukturisasi kontrak kerja sama dengan dua perusahaan swasta.

Selama ini, swasta memang memegang kendali penuh atas pengelolaan air bersih di Jakarta: mulai dari air baku, distribusi, hingga jaringan perpipaan; sementara PAM kebagian tugas menarik tagihan. Jika HoA itu diteken, maka distribusi hingga ke pelanggan akan kembali dipegang oleh PAM selaku perusahaan air Pemprov.

Hingga saat ini, dua mitra swasta tak mau berkomentar soal HoA yang disodorkan Pemprov DKI. Direktur Utama Palyja Robert Rerrimasie, misalnya, menolak berkomentar saat pertanyaan itu dilontarkan lewat sambungan telepon. "Saya tidak mau menjawab pertanyaan anda," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (9/4/2019).

Hal serupa juga disampaikan corporate communications Palyja, Lidya Astiningworo. Menurutnya, kesepakatan untuk restrukturisasi yang diajukan Pemprov DKI itu juga belum disetujui hingga sekarang.

"Kami terus berkomunikasi dengan PAM JAYA dan para pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik demi meningkatkan pelayanan air bersih," ucapannya melalui keterangan tertulis kepada Tirto.

Adapun Direktur Aquatico, induk usaha Aetra Jakarta yang tergabung dalam konsorsium Salim Grup, tak menjawab pertanyaan yang diajukan reporter Tirto baik lewat pesan singkat maupun sambungan telepon.

Proses yang Tertutup

Meski telah digembar-gemborkan sejak awal 2019, proses penghentian swastanisasi air di Jakarta berjalan bak operasi senyap. Hingga saat ini, perundingan antara Pemprov DKI dengan dua mitra swasta tak pernah diungkapkan ke publik dan poin-poin yang tercantum dalam HoA terus ditutup-tutupi.

Nila Adhianie, salah satu anggota tim tata kelola air minum yang dibentuk Anies, masih tutup mulut soal komunikasi yang terjalin antara Pemprov dengan Aetra dan Palyja. Ia justru melempar jawaban atas pertanyaan tersebut kepada Dirut PAM Jaya.

"Memang molor terus. Tapi sampai saat ini, kami sudah enggak bikin kajian lagi, sekarang bola-nya ada di PAM Jaya," ujar Nila, Selasa (9/4/2019).

Dirut PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo juga enggan menanggapi pertanyaan soal poin-poin dalam HoA dan mengapa hingga saat ini kesepakatan tersebut belum tuntas. "Tunggu saja, nanti akan dikabarkan," katanya.

Padahal setelah HoA, banyak hal yang harus dirampungkan pemerintah. Salah satunya, kata Direktur teknis PAM Barce Simamarta, yakni uji tuntas (due diligence) untuk menghitung nilai pengambilalihan aset berdasarkan kondisi terkini hingga proyeksi akhir kontrak Perjanjian Kerja Sama (PKS) di tahun 2023.

Di samping itu, lanjut dia, pemprov juga perlu mengejar target perluasan cakupan layanan hingga 82 persen hingga akhir kontrak. Salah satu caranya dengan menambah jaringan perpipaan agar tambahan debit air sebesar 4.000 liter/detik dari SPAM Jatiluhur bisa tersalurkan.

"Dengan penambahan debit itu, kira-kira cakupan layanan bisa meningkat sebesar 20 persen lah. Sekarang, kan masih 64 persenan," ujarnya.

Anggaran untuk jaringan perpipaan masih dikaji oleh Pemprov DKI, apakah nantinya akan ditanggung oleh APBD, atau kembali melibatkan swasta lewat skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU).

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono mengkritik kinerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang cenderung tertutup dan tak pernah menjelaskan kinerjanya ke publik.

Menurut Andreas, publik perlu tahu apa saja yang telah dilakukan tim tersebut sejak dibentuk pertama kali oleh Anies Baswedan akhir tahun lalu. Tidak transparannya proses perundingan HoA juga menimbulkan syak wasangka di kalangan aktivis penolakan swastanisasi air Jakarta.

Sigit Budiyono, Anggota Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), curiga bahwa tertutupnya perundingan antara pemerintah dan swasta dalam penyusunan HoA sebagai "persekongkolan" untuk memuluskan kerja sama hingga akhir masa kontrak.

Atas dasar itu, Sigit menilai apa yang digembar-gemborkan Anies dan jajarannya di Pemprov DKI untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta hanya lips service. Toh, menurut dia, pada akhirnya keputusan yang diambil Pemprov DKI bukanlah menghentikan kontrak kerja sama, melainkan restrukturisasi yang sudah jadi rencana usang dan gagal dilakukan pemerintah sebelumnya.

"Ini memang soal politik dan bisnis aja yang mau dilindungi. Ya buktinya tim-tim itu, kan, enggak berani buka detailnya seperti apa," ujar Sigit.

"Mereka cuma memaparkan rekomendasi: restrukturisasi, pengambilalihan saham, dan sebagainya, tapi detailnya apa yang disepakati belum dibuka," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan