Menuju konten utama
15 Desember 1945

Pertempuran Ambarawa, Kemenangan yang Memakan Banyak Korban

Kabut mesiu.
Seratus capung merah
melayang-layang.

Pertempuran Ambarawa, Kemenangan yang Memakan Banyak Korban
Ilustrasi Palagan Ambarawa. tirto.id/Gery

tirto.id - Sedari zaman kolonial, Ambarawa adalah kota militer bagi Hindia Belanda. Ada Benteng Willem I, yang disebut juga Benteng Pendem, di sana. Lokasinya tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, yang dulunya stasiun.

Pada masa pendudukan Jepang, Ambarawa memiliki sebuah kamp yang berisikan khusus perempuan dan anak-anak Belanda. Seperti diungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume I (2004:192), di antara perempuan-perempuan itu dijadikan budak nafsu militer Jepang. Data tersebut dipetik Rosihan dari De Japanse bezetting in dagboeken — Vrouwenkamp Ambarawa 6 (2001) yang disusun Mariska Heijmans van Bruggen. Buku ini adalah kumpulan catatan harian seorang perempuan di Kamp Ambarawa pada zaman Jepang

Sebagai kota yang ada kamp tawanannya, Ambarawa pun didatangi pasukan sekutu setelah Jepang menyerah kalah. Mereka datang atas nama Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI), yang tugasnya melakukan rehabilitasi tawanan perang dan internir. RAPWI tak melulu datang sebagai tim medis. Pasukan bersenjata bersama mereka.

Baca juga: Bandung Lautan Api: Jalan Tengah Pejuang

Pada 19 Oktober 1945, militer Inggris di bawah pimpinan Brigadier R.G. Bethell, "dikirim ke Semarang satu brigade campuran yang diberi nama CRA's Brigade," tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali (2000: 77). CRA's Brigade bukan kesatuan organik, melainkan campuran dari satuan-satuan infanteri. Brigadier Bethell sendiri sejatinya Komandan Satuan Artileri Divisi 23 militer Inggris. Pasukan inilah yang ikut mengurusi pembebasan tawanan di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Tak hanya Ambarawa yang menjadi sasaran RAPWI, mereka merangsek lebih dalam lagi ke tengah pulau Jawa. “Kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan Gurkha bergerak ke suatu tempat di selatan Ambarawa, dan Magelang, di mana lebih dari 10.000 tahanan, terutama wanita dan anak-anak, sedang menunggu,” catat Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174).

Baca juga: Memahami Gurkha, Tentara dari Negeri Atap Dunia

Pasukan itu tiba di Magelang pada 26 Oktober 1945. Magelang diduduki, walau katanya hanya untuk mengevakuasi tawanan-tawanan perang yang disekap bertahun-tahun oleh serdadu Jepang. Banyak dari tawanan tersebut adalah orang Indonesia.

“Perselisihan timbul karena sikap orang-orang Belanda tertentu yang diperbantukan kepada RAPWI, dan pemboikotan dilancarkan sebagai tindakan balasan oleh pemuda setempat,” tulis Ben. Bentrokan antara tentara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar pemuda memang tak bisa dihindari. Namun, pasukan Inggris, termasuk di dalamnya dari unit-unit Gurkha, bisa dipukul mundur pada 21 November 1945. Meski sudah pergi dari Magelang, pasukan Sekutu yang mundur ke Ambarawa terus didesak pasukan Republik. Bahkan Ambarawa berhasil dikepung pasukan Republik.

Salah satu pasukan pemukul dari arah selatan berasal dari Divisi V Kedu. Komandan Divisi-nya adalah Kolonel Sudirman. Sebelum memukul mundur pasukan Sekutu, pada 12 November 1945, Sudirman sudah terpilih menjadi Panglima TKR dalam sebuah rapat yang semula hendak membahas strategi perang. Setelah terpilih, Sudirman tidak langsung dilantik jadi panglima.

Dua minggu kemudian, salah seorang bawahannya terbunuh, yakni Komandan Resimen Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman. Perwira andalan Sudirman itu terbunuh di daerah Jambu, selatan Ambarawa.

Baca juga: Rapat Koboi Untuk Memilih Panglima Tentara

Menang tapi Banyak Korban

Isdiman terbunuh pada 26 November 1945, “Ketika tank-tank Sekutu menyerbu kedudukan pasukan TKR yang dipimpinnya. Pasukan TKR dan Laskar-laskar rakyat yang juga memiliki meriam-meriam, memberikan perlawanan yang hebat. Tetapi di tengah-tengah api pertempuran Sekutu mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu (cocor merah),” catat Radik Utoyo Sudirjo dalam Panglima Besar Sudirman: Sebuah Kenangan Perjuangan(1985: 57). Betapa tidak main-mainnya pasukan sekutu di hari-hari pengepungan kota Ambarawa.

Kematian Isdiman disusul dengan turun langsungnya Sudirman memimpin pasukan Republik untuk memukul mundur Sekutu. Pertempuran di sekitar Ambarawa itu seolah menjadi ujian bagi Sudirman sebagai komandan.

Di front utara Ambarawa, sekutu berusaha mempertahankan jalur Ambarawa-Semarang. Kapal penjelajah Inggris HMS Sussex bahkan ikut menembakkan meriam artilerinya ke pegunungan Ungaran. Namun, hal itu tidak membuat militer mereka nyaman di Ambarawa.

Dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2008:35), Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull dari tim RAPWI. “Pertempuran Ambarawa sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah pihak. Ini benar-benar Total War,” aku Tull (hlm. 35). Sampai-sampai, 75 orang bekas tawanan perang pun harus ikut bertempur melawan tentara Republik.

Baca juga: Slamet Riyadi: Mati Muda dengan Gagah Berani

infografik mozaik medan laga ambarawa

Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel Sudirman merencanakan akan melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh komandan-komandan yang lain,” tulis Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2001: 30). TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur. Kepungan itu berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang.

Kehadiran Sekutu di Jawa Tengah pun terpaksa hanya sebatas di Semarang. Di pihak Republik, Sudirman tentu jadi pahlawan. Tak ada lagi alasan untuk tidak menjadikannya sebagai Panglima. Ben mencatat, “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa pengundurun terpaksa dari pihak sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer.” Meskipun, menurut Tull, Indonesia kehilangan 2.000 orang, baik dari laskar maupun TKR. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan 100 orang prajurit.

Banyaknya korban di pihak Indonesia termaklumi karena terampilnya militer Inggris. Apalagi terdapat orang-orang Gurkha yang dikenal jago perang. Sudah pasti dengan senjata modernnya, Inggris juga lebih unggul. TKR dan laskar-laskar Indonesia tentu sebaliknya. Baik dalam kelengkapan senjata maupun keterampilan militer.

Pertempuran tersebut dikenang orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa. Lalu, oleh Angkatan Darat, diperingati sebagai Hari Infantri, dan belakangan menjadi Hari Juang Kartika TNI-AD.

Baca juga laporan In-Depth Tirto tentang Pertempuran 10 November 1945:

Apa yang terjadi di Ambarawa pada 15 Desember 1945 itu terulang lagi di Dien Bien Phu, Vietnam, pada 7 Mei 1954. Begitu menurut Radik Utoyo Sudirjo (1985), yang menyebut Ambarawa adalah Dien Bien Phu-nya Indonesia (hlm. 51). Setelah dua bulan lebih bertempur mengepung kota Dien Bien Phu, pasukan Vietnam berhasil memukul mundur Prancis. Sama seperti Indonesia, persenjataan Vietnam juga minim dan banyak jatuh korban jiwa. Sementara Prancis mirip Inggris yang punya persenjataan lengkap.

Para pemimpin militer yang sukses mengusir tentara asing itu juga bernasib hampir mirip: masing-masing jadi panglima tertinggi dan sempat menghadapi invasi militer asing lagi. Vo Nguyen Giap memimpin pengusiran tentara Amerika pada 1975, Sudirman memimpin perang melawan tentara Belanda pada 1948; dua-duanya lewat gerilya. Belakangan, keduanya juga jadi Jenderal Bintang Lima di negaranya masing-masing. Kemiripan lain: Sudirman dan Vo Nguyen Giap sama-sama pernah jadi guru sebelum memasuki dunia militer.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan