Menuju konten utama

Pertarungan 'Super Aplikasi' Go-Jek vs Grab di Asia Tenggara

Grab dan Go-Jek saling menengok dari bahu demi mengembangkan 'super aplikasi' dan merajai kawasan Asia Tenggara.

Pertarungan 'Super Aplikasi' Go-Jek vs Grab di Asia Tenggara
Ilustrasi: Gojek vs Grab di ASEAN. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dari gudang penyimpanan di pinggiran Kuala Lumpur yang berpasir, Grab diluncurkan pada Juni 2012. Dari sana, alih-alih berekspansi ke kota-kota Malaysia yang lain, dua pendiri Grab, Anthony Tan dan Tan Hooi Ling, memutuskan untuk merambah ke Filipina, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Sejak 2014, markas besarnya pun dipindah ke Singapura, negara-kota yang memang jadi tempat parkir uang global di Asia Pasifik.

Ekspansi itu dilakukan dalam durasi dua tahun. Sementara Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, butuh hampir delapan tahun mengumpulkan keberanian dan berekspansi ke luar Indonesia. Maka, di kawasan regional, Grab masih digdaya dan mengungguli Go-Jek.

Jonathan Moed, penulis bisnis startup dalam kolomnya di Forbes, menyebut ekspansi cepat Grab memungkinkan timnya memahami bagaimana setiap pasar lokal di regional Asia Tenggara bekerja. Moed, yang berbincang dengan Russell Cohen, Kepala Operasi Regional Grab, menjelaskan salah satu dogma korporasi yang ditanamkan oleh Grab adalah ekspansi.

"Kami menggunakan lensa regional sejak hari pertama, yang memungkinkan kami untuk meningkatkan dan meluncurkan layanan hyperlocal dengan cepat dan efektif," ucap Cohen.

Dari perspektif teknologi, Grab menyesuaikan diri dengan elemen khas lokal di negara bersangkutan. Misalnya pada jenis kendaraan.

Ketika saya tiba di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, aplikasi Grab yang saya pakai otomotis memunculkan kendaraan tuk-tuk dan dokar bermotor. Begitu pula di Myanmar, Grab memakai thone bane—bahasa lokal untuk kendaraan sejenis bajaj. Grab menyadari adaptasi ini perlu dilakoni sebab publik di dua negara itu lebih terbiasa memakai tuk-tuk atau bajaj ketimbang sepeda motor.

Selain menerjemahkan dari apa yang mereka istilahkan sebagai hyperlocal, kunci kesuksesan Grab yang lain adalah integrasi.

Aplikasi Grab bisa dipakai di delapan negara di Asia Tenggara secara langsung. Kita tak harus menginstal aplikasi lain. Saat saya berpindah dari Vietnam ke Kamboja lalu ke Thailand pada akhir Mei lalu, sistem Grab langsung berubah menyesuaikan titik koordinat.

Ini tentu lebih praktis ketimbang pendekatan yang dilakukan Go-Jek, yang lebih melokalisasi aplikasi dengan membuatnya terpisah dari aplikasi induk, seperti Go-Viet di Vietnam dan Get di Thailand. Pemisahan ini jadi kerugian tersendiri sebab banyak pelanggan Indonesia tidak memakai aplikasi Go-Jek yang berbeda namanya saat berada di luar negeri.

"Aku juga baru tahu kalau Go-Jek ternyata ada di Thailand," ucap Imran, seorang backpaker asal Surabaya yang saya temui di Masjid Jawa, Bangkok, pada awal Juni lalu.

Bagi wisatawan super hemat seperti Imran, integrasi Grab mempermudah perjalanannya. "Pakai kendaraan umum atau taksi rawan kena scam. Kalau online gini harga sudah jelas," kata Imran, yang memakai Grab untuk memesan ojol di Vietnam dan Kamboja.

Meski sukses dalam integrasi aplikasi, Grab punya kendala dalam soal integrasi sistem pembayaran elektronik alias fintech. Sisa saldo OVO yang kita punya tak bisa dipakai saat bertransaksi di luar Indonesia. Begitu pun sistem pembayaran Grab di luar negeri tak bisa digunakan di Indonesia.

Meski begitu, Grab tampaknya memiliki ambisi ke arah sana. Grab, dengan jangkauan operasional yang luas, mencermati penggunaan dompet digital lintas batas.

"Ambisi kami adalah membangun dompet ASEAN untuk memungkinkan konsumen membeli apa pun, online atau offline, dan mengakses layanan keuangan apa pun, kapan saja, di mana saja," ucap Reuben Lai, Direktur Pelaksana Grab Financial kepada The Economist.

Bagi pengemudi, integrasi Grab jadi kelebihan tersendiri. Keuntungan itu diakui Mao Panhavon, pengemudi tuk-tuk, di Siem Reap, kota wisata menuju kawasan purbakala Angkor. Sejak bergabung dengan Grab pada awal 2019, pendapatan Mao Panhavon bertambah dua kali lipat.

Apa yang dilakukan Mao Panhavon tergolong nekat sebab tuk-tuk yang dipakainya masih menyicil ke perusahaan PassApp, aplikasi ojol lokal yang jadi pesaing Grab di Kamboja.

Lazim di Kamboja, banyak perusahaan transportasi online ramai-ramai membantu kredit lunak kepada para pengemudi. Itulah mengapa banyak tuk-tuk berkelir hijau dengan garis strip khas Grab berkeliaran di Phnom Penh dan Siem Reap.

Saya sempat terkejut saat memesan aplikasi Grab, tapi yang datang malah tuk-tuk berwarna putih. Mao Panhavon hanya menyeringai sembari berucap, "Don't worry, Sir."

"Saya pakai Grab juga karena kebanyakan turis khususnya dari Asia Tenggara pakai Grab. Di sini jarang turis pesan pakai PassApp," kilahnya dalam bahasa Inggris terbata-bata.

Nadiem Makarim menyadari integrasi penting untuk pengembangan Go-Jek di kawasan Asia Tenggara. "Harapan saya terjadi integrasi," katanya saat peluncuran Go-Viet.

Kesadaran ini bisa terlihat dari pendekatan Go-Jek saat berekspansi ke Singapura pada Januari 2019. Berbeda dengan Go-Viet dan Get, pendekatan Go-Jek di Singapura mengikuti persis apa yang dilakukan Grab pada delapan negara, yakni mengintegrasikan aplikasi Go-Jek di Singapura dengan Go-Jek di Indonesia.

Indonesia sebagai Medan Kunci Kompetisi

Clay Chandler, jurnalis dan ekonom dari McKinsey & Company, dalam artikel panjangnya di Fortune tentang rivalitas Grab vs Go-Jek, menyebut Asia Tenggara adalah pasar menggiurkan. Tetapi, bagi investor, ukuran pasar hanya bagian dari daya tarik.

Dengan potensi ceruk pasar yang luas ini, 'super aplikasi' yang dikembangkan Grab dan Go-Jek menjanjikan mode baru menghubungkan pelanggan. Selain itu, ada kesempatan untuk mengumpulkan banyak data tentang preferensi dan perilaku pembelian konsumen.

Sistem ini dipelopori oleh Alipay (Alibaba) dan WeChat (Tencent), dua konglomerasi multinasional dalam bidang e-commerce di Tiongkok. Chandler berkata banyak yang percaya keuntungan dari layanan 'super aplikasi' dan 'super data' akan lebih stabil, menguntungkan, dan mudah diukur ketimbang pendapatan dari bisnis transportasi online semata.

Selama bertahun-tahun, produk, tim, dan struktur operasional Go-Jek berfokus secara eksklusif pada Indonesia. Pengamat memprediksikan Go-Jek akan sukar beradaptasi dan sulit berhasil saat berekspansi ke pasar berbeda. Apa yang dilakukan Go-Jek tak sepenuhnya salah.

Banyak analisis percaya bahwa memenangkan pertarungan di Indonesia sangat penting demi membangun citra hegemoni digital di kancah regional. Semuanya berangkat dari data: 40 persen produk domestik bruto atau nilai pasar dan jasa Asia Tenggara disumbang Indonesia. Data HootSuite menyebut: hampir 74 persen pengguna internet seluler di Indonesia aktif dalam transaksi jual beli online, menjadikannya negara paling aktif dalam e-commerce di seluruh dunia.

Infografik HL Indepth Gojek Vs Grab

Infografik Go-Jek vs Grab di Asia Tenggara. tirto.id/Lugas

Sifat eksklusif Go-Jek di Indonesia beririsan dengan keinginan Nadiem Makarim menjadikan perusahaan yang dirintis pada 2010 ini sebagai 'super aplikasi' demi melayani segala hal. Dan dalam soal ini, pengembangan Go-Jek di Indonesia membuatnya lebih maju selangkah ketimbang Grab.

Saat ini Gojek memiliki 18 layanan yang beragam, dari bersih-bersih rumah, pijat, menata rambut, hingga reparasi kendaraan. Kepada Fortune, Go-Jek mengklaim aplikasinya sudah diunduh lebih dari 108 juta dan setengah dari pengguna itu membayar via Go-Pay.

Berbeda dengan Grab, sejak kali pertama Go-Jek memang diplot Nadiem sebagai aplikasi multi-layanan. Ia sempat mengatakan layanan kurir (Go-Send), pengiriman makanan (Go-Food), dan upaya lain yang dibikinnya agar si supir tetap bekerja sepanjang hari, tak hanya terpatok pada jam-jam sibuk.

"Jika Anda menginginkan sesuatu, apa pun itu, dalam 60 menit, asalkan legal, maka Anda bisa mendapatkannya di aplikasi Go-Jek," katanya kepada Fortune.

Menanamkan investasi miliaran dolar, layanan itu jadi semakin kompleks dan beragam, yang terbaru adalah Go-Life yang memperluas bisnis ke industri hiburan lewat unit khusus bernama Go-Studio.

"Strategi 'super aplikasi' akan didalami. Kami punya tiga pilar besar, yakni, transportasi manusia, logistik, dan makanan, serta yang paling besar adalah payment dan financial services," ujar Nadiem.

Pelan tapi pasti, strategi 'super aplikasi' Go-Jek mulai ditiru oleh Grab. Untuk menyaingi Go-Med yang bergerak pada bidang kesehatan, Grab mulai merangkul Ping An Good Doctor, aplikasi asal Tiongkok.

Kepada Fortune, Nadiem terlihat kesal atas pendakuan Grab sebagai 'super aplikasi' dan meniru langkah Go-Jek. "Sangat menarik bahwa Grab telah mulai mencoba, mengambil kata itu ('super aplikasi') dari kami," kata Nadiem.

"Ini seolah seperti—maaf—Grab menghabiskan tahun-tahun pertama hidupnya dengan menyalin Uber? Dan kemudian, tiga tahun ke depan, menyalin Go-Jek?”

Fortune sempat meminta respons Grab atas pernyataan ini. Jawabannya sederhana: "Memiliki ide yang bagus tidak menjamin kesuksesan."

Profesor Guoli Chen di sekolah bisnis INSEAD (Singapura) menyebut Go-Jek mungkin akan sulit mengalahkan Grab di kancah regional dalam waktu dekat. Namun, melihat potensi besar pengembangan 'super aplikasi' di Indonesia, tak menutup kemungkinan Go-Jek bisa meruntuhkan hegemoni Grab.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam