Menuju konten utama

Pertaruhan Integritas KPK di Kasus Pelanggaran Etik Lili Pintauli

Dampak kasus Lili Pintauli akan membuat pekerjaan KPK semakin sulit karena mengampanyekan nilai integritas, tapi diisi orang tak berintegritas.

Pertaruhan Integritas KPK di Kasus Pelanggaran Etik Lili Pintauli
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

tirto.id - Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar kembali menjadi sorotan. Kali ini ia diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas menonton MotoGP Mandalikan 2022 dari salah satu perusahaan BUMN.

Kabar dugaan penerimaan gratifikasi ini dikonfirmasi Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris. Dia mengatakan, Dewas KPK sudah menerima laporan dan menjalankan aturan tersebut.

“Benar ada pengaduan terhadap Ibu LPS. Saat ini Dewas sedang mempelajari pengaduan tersebut, sesuai prosedur operasional baku yang berlaku," ujar Syamsuddin Haris saat dihubungi Tirto, Selasa (12/4/2022).

Namun, Syamsuddin tidak merinci tanggal maupun siapa pelapor dugaan gratifikasi Lili Pintauli tersebut. Ia hanya memastikan bahwa pelaporan masih ditangani. “Semuanya masih proses,” kata Syamsuddin.

Dalam kasus ini, redaksi Tirto berupaya mengkonfirmasi kabar tersebut kepada Lili Pintauli. Sayangnya, hingga artikel ini dirilis ia tidak merespons.

Bukan Pelanggaran Etik Pertama Lili Pintauli Siregar

Temuan tersebut memicu kritik pegiat antikorupsi. IM57+ Institute, lembaga yang digawangi para eks pegawai KPK menuntut agar Dewas KPK memproses laporan itu secara tuntas. Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha menilai, tindakan Lili sudah berulang sebagai pimpinan KPK sehingga harus ditindak dengan pemecatan.

“Jika laporan pelanggaran penerimaan tiket Moto GP ini terbukti benar, Dewas harus melihat ini adalah perbuatan berulang, harus dijatuhkan sanksi pemecatan terhadap Lili sebagai salah satu pimpinan KPK," ujar Praswad dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022).

Sebagai catatan, kasus dugaan gratifikasi yang berkaitan Lili memang bukan kali pertama. Lili sebelumnya diproses secara etik oleh Dewas KPK karena berhubungan dengan pihak yang berperkara di komisi antirasuah.

Hal itu terjadi ketika Lili berkomunikasi dengan eks Wali Kota Tanjung Balai M. Syahrial yang kala itu tengah diproses KPK. Kasus Lili dengan Syahrial terungkap ketika 3 pegawai KPK kala itu, yakni Novel Baswedan, Sudjanarko, dan Rizka Anungnata melaporkan Lili karena menginfokan penanganan perkara korupsi KPK berkaitan Syahrial kepada mantan Wali Kota Tanjug Balai tersebut.

Dalam pelaporan tersebut, Lili diduga berupaya mengintervensi proses hukum Syahrial dan mengatur kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini di PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai.

Pada 30 Agustus 2021, Dewas KPK mengumumkan bahwa Lili terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar etik. Ia disanksi karena dua alasan, yakni menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan seseorang yang berperkara dan sedang diproses oleh KPK.

Saat itu, Lili dinyatakan melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 tahun 2020 tentang Penegakan Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Ia dihukum pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Meski divonis bersalah, pegiat antikorupsi menyayangkan putusan Dewas KPK yang terkesan lembek. Pegiat antikorupsi menilai bahwa Lili justru sudah melakukan tindak pidana dan melanggar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lili seharusnya diancam hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 65 Undang-Undang KPK.

Lili lantas dilaporkan lagi oleh mantan pegawai KPK yakni Rieswin Rachwell, Benydictus Siumlala Martin Sumarno, Ita Khoiriyah, dan Tri Artining Putri. Keempat orang ini melaporkan Lili karena dinilai menyebar berita bohong saat konferensi pers pada 30 April 2021 bahwa mantan Anggota LPSK itu tidak berkomunikasi dengan Syahrial.

Karena itu, Praswad mendesak agar Dewas KPK tegas dan tidak permisif seperti sidang etik sebelumnya. Ia mengingatkan, putusan lembek akan memicu anggota untuk berani melakukan tindakan seperti yang dilakukan Lili.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana tidak heran dengan sikap Lili yang kembali melanggar etik. Ia menilai, aksi Lili sudah membuktikan bahwa dia bukan orang yang berintegritas.

“Dengan kondisi carut marut di internal KPK saat ini, tentu isu pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar bukan hal mengejutkan lagi. Sebab, rekam jejak yang bersangkutan memang bermasalah, terutama pasca komunikasinya dengan pihak berperkara terbongkar ke tengah masyarakat,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022).

Kurnia menilai, dugaan gratifikasi MotoGP ini juga akan menjadi sinyal bahwa Lili sama seperti rekan kerjanya sesama komisioner, Firli Bahuri. Sebagai catatan, Firli juga tercatat punya persoalan etik mulai dari menerima fasilitas helikopter dari perusahaan dari Palembang ke Baturaja. Ia berangkat dengan menggunakan helikopter tipe Eurocopter 130T2 dengan kode registrasi PK-JTO keluaran tahun 2015 milik perusahaan swasta.

Selain kasus helikopter, Firli juga pernah bermasalah secara etik sebelum menjadi komisioner. Saat masih menjadi Deputi Penindakan KPK, Firli bertemu dengan Tuanku Guru Bajang yang kala itu masih menjadi Gubernur NTB. Firli hadir tanpa ada surat tugas dari KPK. Firli juga pernah bertemu dengan seorang pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi saksi perkara korupsi dana perimbangan dengan tersangka pegawai Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo.

“Jika kemudian dugaan ini terbukti, maka Lili telah berhasil mengikuti rekan kerjanya, yakni Firli Bahuri karena secara bersamaan mereka dua kali melanggar kode etik ketika bekerja di KPK," kata Kurnia.

Kurnia pun menilai ada sejumlah pelanggaran yang dilakukan jika tindakan penerimaan gratifikasi fasilitas MotoGP benar. Pertama, penerima gratifikasi melanggar Pasal 12 B Undang-Undang 31 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup. Dalam aturan tersebut menyatakan bahwa penerima gratifikasi harus melapor ke KPK atau diproses secara hukum.

Kedua, tindakan penerimaan bisa dikategorikan sebagai suap jika pemberi dan Lili selaku penerima membangun kesepakatan untuk melakukan sesuatu. Kurnia mencontohkan Lili dan pemberi menyepakati pemberian fasilitas MotoGP jika kasus di KPK tidak ditangani. Hal tersebut, kata Kurnia melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor dengan hukuman 20 tahun penjara bahkan seumur hidup.

“Ketiga, penerimaan itu bisa dianggap sebagai pemerasan jika Lili melontarkan ancaman terhadap pihak pemberi dengan iming-iming pengurusan suatu perkara. Tindakan ini memenuhi unsur Pasal 12 huruf e UU Tipikor dengan ancaman 20 tahun penjara bahkan seumur hidup," tegas Kurnia.

Selain pelanggaran pidana, Lili tetap harus diganjar dengan pelanggaran etik, kata Kurnia. Ia dinilai melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf a dan b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 tahun 2020.

Oleh karena itu, Kurnia menyarankan sejumlah hal dalam kasus dugaan gratifikasi MotoGP Lili. Misalnya, Dewas KPK harus mengumpulkan segala bukti relevan tentang pelaporan tersebut mulai dari komunikasi, manifest penerbangan atau rekaman CCTV. Kemudian, Dewas juga harus segera memproses laporan tersebut lewat persidangan etik.

“Terakhir, jika Lili terbukti melanggar kode etik, maka ICW mendesak agar Dewan Pengawas segera meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK (Pasal 10 ayat (4) huruf b PerDewas 02/20). Bahkan, tatkala permintaan itu diabaikan, Dewan Pengawas mesti menyurati presiden agar segera memberhentikan Lili dengan alasan telah melakukan perbuatan tercela (Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 19/19)," kata Kurnia.

Selain itu, kata Kurnia, Deputi Penindakan KPK harus memproses hukum unsur pidana tindakan Lili. Ia mengingatkan, penindakan bukan ranah Dewas sehingga Dewas KPK dan Deputi Penindakan perlu bekerja sama mengusut unsur pidana perkara Lili.

“Di luar itu, dengan masifnya kritik masyarakat kepada Lili selama ini, sebaiknya ia mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK. Hal tersebut sejalan dengan mandat TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa," kata Kurnia.

Kurnia lantas mengingatkan bahwa ada dampak buruk jika kasus Lili terbukti benar. Publik berpotensi tidak percaya dengan KPK bia ia masih berstatus pimpinan KPK. Pekerjaan KPK juga semakin sulit karena berupaya mengampanyekan nilai integritas, tetapi diisi orang tidak berintegritas.

“Pertanyaan sederhananya, bagaimana masyarakat akan percaya kepada KPK, jika pada level pimpinannya saja dipenuhi dengan berbagai persoalan,” kata Kurnia.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN ETIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz