Menuju konten utama

Pertanyaan-Pertanyaan Mengharukan Abad Ini

Hidup dengan cara berpikir yang berasal dari dua puluh atau lima belas abad lalu nicaya memunculkan banyak sekali pertanyaan ajaib.

Pertanyaan-Pertanyaan Mengharukan Abad Ini
AS Laksana

tirto.id - Pada Februari 2017, Suster Lucia Caram dari Katalunya mengaku mendapatkan ancaman mati dari orang-orang Katolik karena menyebut Bunda Maria bukan perempuan yang tetap perawan sampai akhir hayatnya. Biarawati Ordo Dominikan itu mengucapkannya dalam acara televisi Spanyol "Chester in Love" yang waktu itu membahas seks dan iman.

“Saya pikir Maria melakukan hubungan suami-istri dengan Yusuf,” katanya, dilaporkan oleh The Guardian. “Mereka adalah pasangan normal dan melakukan hubungan seks adalah hal yang lumrah.... Menurut saya Maria mencintai Yusuf. Saya tidak akan terkejut jika ia melakukan hubungan seks dengan suaminya.”

Caram berasal dari Argentina, memiliki akun Twitter dengan 183.000 lebih pengikut, dan melibatkan diri dalam keriuhan politik: ia mendukung kemerdekaan Katalan. Uskup kota Vic, Katalan menanggapi pernyataannya dengan mengingatkan umat bahwa keperawanan Maria adalah doktrin keimanan Katolik Roma yang sudah diterima sejak awal mula gereja.

Orang-orang Katolik yang marah segera membuat petisi online agar Caram dikeluarkan dari ordonya. Mereka marah meski Alkitab memuat tuturan yang memungkinkan Suster Caram menyatakan itu. Ada sejumlah ayat yang menyebutkan Yesus memiliki 4 saudara lelaki, yaitu Yakobus, Yusuf (Yoses), Simon, dan Yudas, dan 2 saudara perempuan yang tidak pernah disebutkan nama-namanya. Yakobus, Simon, dan Yudas di sini bukanlah Yakobus, Simon, dan Yudas murid-murid Yesus; mereka hanya memiliki kesamaan nama.

Jadi, Suster Caram mendapatkan tekanan bukan karena menyalahi Alkitab. Ia hanya bertentangan dengan ajaran gerejanya, Katolik Roma, yang menetapkan Maria perawan selamanya dan yang disebut saudara-saudara Yesus adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelumnya, bukan anak-anak Maria. Namun tidak ada juga pernyataan atau cerita di dalam Alkitab yang mengindikasikan Yusuf sudah pernah menikah dan mempunyai enam anak sebelum menikahi Maria.

Mereka pergi berdua meninggalkan Nazareth untuk mencatatkan diri dalam sensus di Betlehem; Maria sedang mengandung waktu itu. Di Betlehem “ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan." (Lukas 2:7)

Iman tampaknya selalu mengandung urusan pelik yang memicu masalah-masalah berulang di tengah pergaulan manusia—berupa amuk dan kemarahan. Iman bersifat selesai, imun dari perubahan, dan tak menghendaki pendapat berbeda, sehingga membuat manusia tidak luwes dan kehilangan jawaban untuk persoalan hari ini. Sementara hidup memperbarui diri terus-menerus dan setiap saat akan muncul pemikiran-pemikiran baru.

Saya pernah iseng bertanya kepada istri saya apakah ia berharap saya masuk surga atau neraka kelak. “Jika saya masuk surga, saya akan dinikahkan dengan bidadari, minimal dua, semuanya cantik dan berusia sebaya, bisa sampai 72 jika saya mati syahid, dan mungkin menjadi 73 jika kau juga masuk surga,” kata saya.

Orang-orang Islam yang baik mengimani surga semacam itu. Istri saya diam saja, mungkin lebih senang saya masuk neraka. Ia pasti tidak pernah menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu, sama seperti saya tidak menduga akan menemukan pertanyaan mengejutkan pada sebuah tulisan. Dalam rumusan yang saya sederhanakan, pertanyaan itu kira-kira berbunyi seperti ini: Kenapa saya diwajibkan menjalani hidup hari ini dengan mengikuti, secara persis, cara hidup dan pemikiran orang-orang abad ketujuh?

Hidup berubah, ilmu pengetahuan berkembang, dan pemahaman manusia terhadap kehidupan membaik dibandingkan lima belas abad lalu. Pada masa itu, hak asasi manusia belum dipikirkan, perbudakan masih merupakan praktik yang bermoral dan majikan dihalalkan menyetubuhi budak perempuan, orang belum tahu bentuk bumi seperti apa, langit masih dianggap sebagai lempeng tujuh lapis dan orang takjub kenapa tidak rubuh meski tak disangga. Banyak hal di masa lalu dijelaskan dengan takhayul karena pengetahuan untuk menjelaskannya belum dimiliki.

Tentu ada sifat-sifat dasar manusia yang relatif tidak berubah, di antaranya manusia menginginkan keadilan, hidup bahagia, mengembangkan pengetahuan, dan mendapatkan rasa aman dalam kehidupan sosial. Etika memastikan kita berperilaku dengan tepat untuk memenuhi semua keinginan tersebut. Prinsip-prinsipnya stabil dari waktu ke waktu; ia mencakup apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak.

Secara intuitif manusia merumuskan kode etik pergaulan antarsesama dalam satu aturan emas yang sama untuk semua masa: perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan. Yesus menyampaikan itu. Beberapa abad sebelumnya Konfusius, Budha, dan Hindu, melalui Mahabharata, juga menyampaikan pernyataan yang serupa.

Waktu tidak mengubah aturan emas itu. Yang bisa berubah adalah standar moralitas; ia terikat konteks dan perkembangan pemikiran manusia. Menikahi anak kecil umur sembilan tahun untuk waktu sekarang mungkin akan dipandang tidak bermoral, dan mungkin bukan kelaziman juga pada seribu lima ratus tahun lalu, sebab tidak ada cerita lain kecuali yang dilakukan Nabi Muhammad. Demikian juga menikahi janda dari anak angkat. Meski Muhammad adalah teladan sepanjang masa bagi umat Islam, tetapi saya ragu hari ini ada yang berminat meneladani dua hal tersebut.

Yang masih lazim dilakukan oleh sebagian orang Islam adalah beristri hingga empat, dan itu pasti membutuhkan teknik penundukan yang canggih, sebab tidak setiap perempuan Islam yang taat, yang hidup hari ini, sudi dimadu suaminya yang juga Islam taat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka membuat istri pertama ikhlas dimadu dan tampak bahagia.

Gaya hidup beristri empat dan beranak 13 atau 17 atau 27 (konon Tuhan menyukai angka ganjil), atau mengancam mati biarawati yang berbeda pendapat mengenai keperawanan seseorang yang hidup dua ribu tahun lalu, saya yakin adalah akibat langsung dari menjalani hidup hari ini dengan meneladani cara berpikir dari masa dua puluh atau lima belas abad lalu.

Akibat-akibat langsung lain adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan mengharukan yang bisa kita jumpai hari ini. Anda bisa menemukannya di internet, banyak sekali, sebanyak bintang-bintang yang bertaburan di langit. Misalnya pertanyaan ini:

“Bisakah di masa sekarang kita memiliki budak? Misalnya dengan jalan membelinya atau karena orang kafir kalah perang lalu mereka kita jadikan budak. Benarkah budak wanita yang kita miliki boleh disetubuhi tanpa harus dinikahi terlebih dahulu?”

Kita tidak pernah mendengar Tuhan meralat hukum-hukum tentang perbudakan yang ada di dalam Alquran. Tuhan sudah pasti tidak akan bicara lagi melalui perwakilan baru sebab Muhammad adalah nabi terakhir dan ia sudah lama meninggal.

Artinya, Tuhan tidak akan meralat. Jika Anda lelaki muslim yang baik dan memutuskan memiliki budak perempuan dan menyetubuhi budak itu, Anda tidak menyalahi hukum Tuhan karena Anda tidak menyalahi Alquran. Hanya saja akan ada orang, mungkin sesama muslim, yang menganggap Anda tidak tersentuh peradaban.

Selanjutnya, di rumah saya banyak cecak; bolehkah saya membunuh cecak? Apa hukumnya membunuh cecak?

Artikel yang menjawab pertanyaan tentang cecak itu panjang sekali, dengan kesimpulan bahwa membunuh cecak adalah mendapatkan pahala. “Kita memang diharuskan membunuh cecak karena cecak bisa menjadi media sihir,” tutur si penjawab. Kita juga diharuskan membunuh cecak karena binatang ini memiliki sifat jelek; ia musuh Ibrahim. Sementara binatang-binatang melata lainnya berusaha memadamkan api yang membakar Ibrahim, cecak malah meniup-niupnya agar membesar.

Mudah-mudahan anak-anak saya tidak membaca artikel semacam itu dan mengekalkan permusuhan antara cecak dan Nabi Ibrahim. Lebih baik mereka membaca artikel yang menjelaskan fakta-fakta ilmiah tentang binatang itu sehingga bisa membuat keputusan yang lebih masuk akal apakah harus membunuhnya atau membiarkannya merayapi dinding rumah. Tidak perlu mereka membaca bahan yang menakuti-nakuti pikiran dan membuat mereka dihantui kecemasan tiap malam: jangan-jangan kami berubah menjadi bandot atau marmut pada saat bangun tidur, berkat sihir yang ditujukan kepada kami melalui hewan perayap dinding itu.

Dari kalangan blogger Kristen, muncul perbincangan yang tidak kalah serunya. Sambil mengutip ayat dalam Perjanjian Lama, “Tuhan akan menghajar engkau dengan kegilaan, kebutaan dan kehilangan akal,” (Ulangan 28:28) seseorang menyatakan pendapat bahwa Tuhan memilih Hitler untuk mewakili-Nya menimpakan azab kepada bangsa Yahudi yang senang menentang dan berpaling.

Orang lain menanggapi: “Saya kira Hitler adalah orang yang dipilih setan, tetapi disetujui Tuhan, untuk menghukum Yahudi… ingatlah kisah Ayub.” Pendapat terakhir terdengar agak masuk akal, tetapi sebetulnya sama saja, atau mungkin lebih tidak masuk akal, sebab itu berarti setan dan Tuhan bekerjasama untuk menyengsarakan Yahudi.

Pandangan tersebut, yang muncul dari kepala manusia hari ini, tidak bergeser seinci pun dari pandangan para imam abad keempat atau 1.700 tahun lalu yang mengajarkan bahwa “status orang Yahudi secara kolektif adalah dikutuk Allah untuk selama-lamanya, sama dengan pohon ara yang tidak berbuah akibat kutukan Yesus” (Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 2004).

Pandangan itu mengeras menjadi sikap anti-Semit ketika orang-orang Kristen berkuasa secara politik di Eropa dan melanggengkan stigma bahwa mereka adalah kaum “pembunuh Allah”—merujuk cerita Alkitab tentang pengkhianatan Yudas, pengadilan Yesus, dan penyalibannya.

Di luar urusan politik yang berkembang rumit hingga sekarang, dalam beberapa hal orang-orang Yahudi sebetulnya menjadi korban mitologinya sendiri, yang mulanya ditujukan untuk kaumnya sendiri, guna mengajarkan bahwa Yahweh akan meninggikan mereka jika patuh, menolong saat mereka tertindas, dan menghancurkan jika mereka ingkar. Sedikit mengingatkan: Yahweh yang mahaesa ini pun hasil evolusi pemikiran di kalangan mereka. Para ilmuwan menemukan bukti arkeologis bahwa Yahweh semula memiliki pasangan bernama Asyera, dewi kesuburan, tetapi Bunda Asyera kemudian tersingkir oleh pengaruh monoteisme bangsa Mesir.

Kepercayaan-kepercayaan yang lahir kemudian, dan membangun fondasi teologisnya pada cerita-cerita Yahudi, memperlakukan semua cerita pengajaran itu sebagai kebenaran faktual. Karakter-karakter buruk di dalam cerita-cerita itu pun dijadikan dasar untuk menancapkan stigma terhadap watak buruk bangsa Yahudi. Kitab suci umat Islam tidak mengindikasikan bahwa mereka adalah bangsa pembunuh Tuhan, tetapi pembunuh para nabi, dan banyak sekali cemooh di dalamnya terhadap orang Yahudi.

Itu urusan mereka, dengan iman masing-masing yang meyakini diri paling benar. Bagi saya, urusan Kristen dengan Yahudi, atau Yahudi dengan Kristen dan Islam, atau Kristen dengan Yahudi dan Islam, atau Yahudi dan Kristen dengan Islam, atau Yahudi dengan Islam, tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah kita sendiri, penduduk negeri kepulauan yang senang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Anda bisa menebak isi kepala mereka dengan rumus sederhana: pikirkan pertanyaan yang musykil ditanyakan, baik orang dewasa maupun kanak-kanak, ketikkan di Google, dan Google akan membawa Anda ke percakapan di kalangan orang-orang beragama.

Dengan rumus itu, saya menemukan ratusan pertanyaan dan akan saya tunjukkan sepuluh saja di bawah ini:

1. Bagaimana cara cebok yang benar menurut ajaran Kristen? (Pertanyaan ini dijawab: Yesus tentu saja buang air di tempat tersembunyi dan tidak pernah menunjukkan di depan umum bagaimana ia cebok.)

2. Bagaimana cara cebok yang benar menurut ajaran Islam? (Jawabannya panjang sekali.)

3. Saya pernah membaca bahwa pezina tidak akan menikahi bidadari di surga, apakah laki-laki pezina yang sudah bertaubat masih punya kesempatan untuk menikahi bidadari di surga?

4. Bagaimana hukumnya seorang suami yang gemar kentut di depan istrinya?

5. Apakah pamer kopi di grup itu dibolehkan?

6. Mohon dibahas hukum makan dengan dua tangan. Apakah dibolehkan?

7. Bolehkah kita memukul anak?

8. Bolehkah kita memukul anak yatim?

9. Tanya sedikit yang saat ini lagi rame, Tadz, benarkah ada khasiat kencing unta, dan bagaimana sebenarnya hukum meminum air kencing unta?

10. Saya ini, kan, punya kepribadian dan kepribadian itu pemberian Allah. Bolehkah kita mengubah kepribadian kita yang diciptakan oleh Allah?

Saya pikir masalah besarnya adalah: hidup hari ini dengan obsesi menepat-nepatkan diri dengan kehidupan dua puluh atau lima belas abad lalu, lengkap dengan segala takhayul yang berkembang pada masa-masa itu. Cara hidup macam itu seperti berjalan ke depan dengan muka terus-menerus menghadap ke belakang. Ia berpotensi melahirkan cara hidup yang anakronistis, menghalangi diri dari kemungkinan menggunakan akal, tidak tahu cara cebok, ingin meminum kencing unta, tidak mampu mempertimbangkan apakah boleh memukul anak sendiri atau anak yatim, dan memaksa semua orang untuk seperti itu juga.

Mungkin mereka perlu diingatkan bahwa kitab suci memberi hukuman mengerikan untuk orang yang menoleh ke belakang. Mereka perlu tahu bahwa istri Luth, karena berbuat seperti itu, dikutuk menjadi tiang garam—entah apa yang dimaksud dengan tiang garam ini.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.