Menuju konten utama

Pertamina yang Masih Terseok Membangun Brand Global

Pertamina mampu mencetak rekor laba di tengah jatuhnya harga minyak. Namun, bukan berarti Pertamina kini sudah bersiap bertempur di pasar global. Banyak hal yang masih harus dibenahi Pertamina, terutama soal kekuatan brand.

Pertamina yang Masih Terseok Membangun Brand Global
Rio Haryanto berada mobil MRT05 sebelum tes di sirkuit Catalunya, Spanyol, Rabu (24/2). Antara foto/reuters/sergio pere/pras/16

tirto.id - Pertamina berhasil mencetak laba sebesar $3,14 miliar (unaudited) pada tahun 2016. Ini merupakan laba terbesar sejak era reformasi dan mengalahkan laba terbesar sebelumnya di tahun 2013 yang tercatat sebesar $3,07 miliar. Hal yang menarik dari capaian laba Pertamina 2016 adalah diraih saat harga minyak dunia masih rendah pada kisaran $50 per barel, dibandingkan laba tahun 2013 yang dicapai saat harga minyak dunia berada di atas $ 100 per barel.

Dengan capaian tersebut, maka pada 2016, untuk pertama kalinya Pertamina menduduki peringkat 3 dunia perusahaan migas yang memiliki keuntungan terbesar di bawah Shell dan Total S.A.

Meski demikian, capaian Pertamina itu masih jauh dari visinya untuk menjadi “World Class Energy Company”. Yang masih harus dilakukan saat ini adalah membangun reputasi Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia. Ini penting mengingat saat ini, brand Pertamina masih kalah jauh, bahkan oleh sesama BUMN.

Menurut brand paling berharga di Indonesia tahun 2016 versi Statista, Telkom berada di posisi puncak dengan nilai brand $2,62 miliar. Disusul Sampoerna di posisi kedua dengan nilai brand $2,066 miliar. Selebihnya, BUMN yang masuk dalam 10 besar hanya Mandiri ($1,834 miliar), BRI ($1,587 miliar), BNI ($822 juta), dan Garuda Indonesia ($632 juta).

Bandingkan dengan Petronas yang merupakan brand paling berharga di Malaysia. Menurut Statista, Petronas merupakan brand paling berharga di Malaysia dengan nilai brand mencapai $10,02 miliar.

Pentingnya Membangun Brand

Membangun brand merupakan hal yang sangat penting bagi Pertamina. Apalagi, BUMN ini sedang gencar membangun megaproyek Pertamina meliputi kilang baru di Tuban dan Bontang, upgrade kilang di Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Dumai. Proyek-proyek tersebut kelak akan menjadikan Pertamina sebagai salah satu perusahaan yang memiliki kilang minyak terbesar di dunia dengan kapasitas 2 juta barel.

Output dari kilang yang selain produk BBM, ada juga pelumas, aspal dan lainnya. Tentu saja produk tersebut tidak hanya akan dijual di dalam negeri, tetapi juga pasar internasional. Tanpa brand yang kuat, akan sulit bagi Pertamina untuk bisa menembus pasar global.

Membangun reputasi dunia sangat penting, karena seiring dengan selesainya seluruh mega proyek pada tahun 2024, Pertamina akan kelebihan solar yang tidak semua terserap di dalam negeri. Begitu pula produksi base lube oil sebagah bahan baku minyak pelumas akan melimpah. Pasar ekspor tentu menjadi tujuan dari pemasarannya.

Produk BBM Pertamina pada tahun 2024 yang semuanya sudah berstandar Euro 5 mestinya tidak akan sulit mendapatkan pasar di negara maju, termasuk Australia dan Selandia Baru yang diprediksi membutuhkan BBM jenis solar dalam jumlah besar. Tanpa brand yang kuat, akan sulit bagi Pertamina untuk mengambil pangsa pasar global yang sudah dikuasai pemain kelas dunia.

Infografik Sejarah Pertamina

Pertamina sebenarnya sudah merintis proses membangun brand global dengan menggandeng perusahaan otomotif papan atas Lamborghini sebagai partner strategis, dan pengujian produk Pertamax Turbo untuk pasar Eropa. Langkah lainnya adalah menjadi sponsor Rio Haryanto saat bertanding di balapan kelas dunia.

Banyak yang menilai upaya Pertamina mendanai Rio Haryanto sebagai langkah membuang uang. Padahal, jika dibandingkan dengan Petronas misalnya, jelas dana sponsor tersebut masih kalah jauh. “Sebenarnya kalau dibandingkan Petronas yang (mengeluarkan sponsorship) hingga Rp567 miliar, memang ini kecil sekali,” ucap Dwi Soetjipto ketika menjabat sebagai Dirut Pertamina, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (22/2/2016) sebagaimana dikutip dari Antara.

Upaya membangun brand bagi BUMN-BUMN sendiri memang kerapkali tidak berjalan mulus. Ini dikarenakan penilaian kinerja BUMN, masih mengedepankan pada sisi laba perusahaan. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi hal yang kurang menguntungkan untuk aspek jangka panjang. BUMN akan pelit untuk belanja investasi, apalagi yang bersifat corporate image atau menaikkan customer awareness, karena keduanya bersifat intangible.

Brand adalah sesuatu yang harus dibangun dalam jangka waktu tertentu. Pertamina masih memiliki waktu selama 7 tahun sebelum akhirnya harus benar-benar bertempur di pasar global menjual produknya. Brand yang kuat harus dibangun karena akan menjadi tulang punggung Pertamina ke depan seiring melimpahnya produk hilir Pertamina.

Keberanian membangun merek global yang dilakukan Petronas mungkin bisa dicontoh. Pada 2015, Petronas mengalami penurunan laba hingga 56 persen menjadi 1,4 miliar dolar. Namun, Petronas pada tahun 2016 masih berani menjadi salah satu sponsor utama Tim Mclaren Mercedes sebesar Rp567 miliar atau setara dengan 30 juta euro setiap tahunnya sejak tahun 2010. Petronas bahkan hengkang dari mensponsori tim gurem Sauber ke tim juara dunia Mclaren Mercedes.

Petronas membenamkan investasi yang tidak kecil untuk membangun reputasinya. Padahal, lini bisnis Petronas tidak hanya bertumpu di sektor hilir, melainkan hulu yang lebih mengedepankan business to business (b to b). Ini berbeda dengan Pertamina yang ingin memperkuat lini hilir. Maka berkebalikan dengan Petronas, investasi brand di Pertamina menjadi jauh lebih dibutuhkan.

Manajemen baru Pertamina harus memiliki roadmap yang jelas untuk meningkatkan brand Pertamina. Memperhatika pola bisnis global yang lebih mengutamakan penguasaan pasar dan distribusi, maka prediksi kesuksesan Pertamina dimasa depan, dapat dilihat dari seberapa besar upaya investasi reputasi internasional yang dilakukan Pertamina.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Arief Hermawan

tirto.id - Marketing
Reporter: Arief Hermawan
Penulis: Arief Hermawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti