Menuju konten utama

Persoalan di Balik Ambisi Luhut Melanjutkan Ekspor Benih Lobster

Luhut mau melanjutkan ekspor benih lobster Edhy Prabowo, padahal menurut aktivis kebijakan ini bermasalah.

Persoalan di Balik Ambisi Luhut Melanjutkan Ekspor Benih Lobster
Mantan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

tirto.id - Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK karena diduga terlibat korupsi izin ekspor benih lobster. Meski begitu, ternyata peristiwa ini tak membuat kebijakan tersebut bakal benar-benar dihentikan. Tersiar kabar program akan kembali dilanjutkan setelah Edhy digantikan Menteri Ad Interim Luhut Binsar Panjaitan.

“Kemarin, pesan Pak Menko, kalau memang bagus tetap saja jalan, jangan takut kalau memang benar,” ujar Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi dalam keterangan tertulis, Senin (30/11/2020).

Menurut Jodi, Luhut berkesimpulan ekspor benih lobster tidak bermasalah selagi dijalankan sesuai prosedur dan tetap dibarengi upaya pembudidayaan. Luhut yakin kebijakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat.

“Selama eksekusinya tidak ada permainan korupsi atau kolusi, ya. Tapi tunggu saja hasil evalusi,” ujar Jodi. Saat ini ekspor dihentikan sementara sampai waktu yang tidak ditentukan lewat Surat Edaran Plt. Dirjen Perikanan Tangkap Nomor B.22891/DJPT/Pl.130/XI/2020.

Edhy membuka keran ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia pada Mei lalu. Pada era menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, kebijakan ini dilarang.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai pemerintah menunjukkan watak ambisiusnya jika membuka kembali ekspor benih lobster. “Kalau Lord (Luhut) yang ngomong susah, ya,” sindir Susan kepada reporter Tirto, Senin (30/11/2020).

Persoalan menteri menjadi tersangka korupsi seakan tidak penting bagi mereka yang lebih mengutamakan keberlangsungan kebijakan bermasalah ini, katanya. “Tapi narasi yang dibangun semua orang harus happy dengan aturan ini. Perlu dipertanyakan: siapa yang paling untung, nelayan atau eksportir?” katanya.

Susan mengatakan Permen-KP 12/2020 jelas tidak bisa menjamin keberlangsungan lobster meskipun dalam pasal 5 ayat 1 huruf c poin 2 disebutkan bahwa eksportir berhak beroperasi jika sudah melepasliarkan 2 persen lobster hasil pembudidayaan mereka sendiri. “Tapi pada kenyataannya tidak seperti itu dan tidak dijalankan oleh para eksportir,” ungkap Susan.

Pantauan Kiara di Lombok, misalnya, menemukan eksportir sengaja membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) untuk diklaim sebagai keberhasilan budidaya. Perusahaan juga diduga membeli lobster dari pembudidaya untuk dilepasliarkan dan diklaim sebagai keberhasilan panen.

Menurut Kiara, praktik ini merugikan nelayan karena mereka ditinggal begitu izin ekspor perusahaan sudah aman.

Belum lagi dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang mengacu PP 75/2015. Ia bilang tarif ekspor benih lobster hanya Rp 250 per 1.000 ekor. “PNBP tidak lebih dari sebungkus rokok,” ujar Susan. Dalam penghitungan Kiara, jika total ekspor benih mencapai 1.890.049, maka hanya akan menghasilkan Rp 472.512 dan artinya negara sebenarnya merugi.

Menurut Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnu’ah, Indonesia harus mengakhiri ekspor benih lobster dan berusaha membudidayakannya hingga dewasa secara mandiri lewat kekuatan masyarakat bahari. Ia meyakini Indonesia bisa menjadi aktor utama berkat sumber daya perikanan yang melimpah. Pemerintah hanya perlu mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat sesuai mandat UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

“Sudah saatnya nelayan dan perempuan nelayan berpartisipasi menjadi aktor utama arah pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujar Masnu’ah dalam keterangan tertulis yang dikutip Tirto, Senin.

Menurutnya, selama kepemimpinan Edhy Prabowo, dunia perikanan Indonesia mengalami kemunduran. Selain lewat kebijakan ekspor benih lobster, juga berkat penggunaan cantrang, impor garam, dan upaya melegalkan alat tangkap destruktif-ekspolitatif. Edhy juga dinilai membuat nelayan bertanya-tanya soal kelanjutan nasib mereka karena serba tertutupnya arah kebijakan KKP.

Oleh karena itu menurutnya alih-alih melanjutkan kebijakan yang merugikan itu, KKP sebaiknya segera mengubah arah kebijakan dengan mengutamakan keberlangsungan ekologi pesisir dan pulau-pulau kecil dan memenuhi hak-hak nelayan tradisional.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim juga mengatakan hal serupa. Ia mendesak pemerintah agar fokus membudidayakan benih lobster di dalam negeri, sebab dengan begitu akan memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat, bahkan dalam jangka panjang.

“Kami sejak awal menghendaki KKP memprioritaskan pemanfaatan benur untuk usaha pembesaran di dalam negeri, bukan ekspor,” ujar Halim, Senin. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi regulasi secara komprehensif mengenai pengaturan pemanfaatan lobster sekaligus memperkuat kerja sama antara Ditjen Perikanan Tangkap dengan Ditjen Perikanan Budidaya dan nelayan pembudidaya lobter.

Selain itu, ia juga mendesak kebijakan-kebijakan Edhy Prabowo yang kontroversial diberhentikan total.

Baca juga artikel terkait EKSPOR BENIH LOBSTER atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Bisnis
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino