Menuju konten utama

Persimpangan Drag Queen dan Transgender di Tahun Politik

Transgender dari akronim LGBT lebih sering jadi korban persekusi sejak sentimen anti-LGBT makin panas di Indonesia.

Simbol LGBT. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Saat RuPaul berkata transpuan dilarang ikut Drag Race, sebuah kompetisi khusus para drag queen yang tayang di televisi dan bisa diakses streaming, ia diprotes habis-habisan. Alasan RuPaul, sang penggagas sekaligus pembawa acara, kompetisi itu cuma bisa diikuti para pria yang berdandan perempuan.

Drag kehilangan ketajaman dan elemen ironinya ketika bukan pria yang melakukannya. Sebab, pada intinya, drag adalah pernyataan sosial dan sikap ‘Persetan kau!—dengan P kapital—untuk budaya yang didominasi pria (patriarki). Jadi ia baru benar-benar punk rock bila pria yang melakukannya. Karena sejatinya drag adalah perlawanan terhadap budaya maskulinitas (yang beracun),” kata RuPaul kepada The Guardian.

RuPaul menyebut transisi pada transpuan baru dimulai ketika ada bagian tubuhnya yang diganti. Pernyataan menyinggung itu menerima kecaman dari para aktivis transgender, bahkan dari sejumlah alumnus Drag Race. Misalnya Carmen Carrera dan Gia Gunn, keduanya transpuan, yang menilai RuPaul alpa pada perjuangan transpuan atas diskriminasi yang diterima kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trangender).

Tak lama kemudian, lewat Twitter, RuPaul meminta maaf, "Aku paham dan menyesal atas luka yang saya sebabkan. Komunitas trans adalah pejuang gerakan LGBT yang kita bagi bersama. Kalian adalah guru saya.”

Ia menyadari bahwa persimpangan antara drag queen dan transgender tak pernah jauh.

Sejak Drag Race semakin populer dan direspons dunia hiburan arus utama, definisi drag terus berkembang. Singkatan dari dressed as a girl ini tak lagi diasosiasikan dengan transgender, sebagaimana pemahaman umum.

“Batasnya jelas, drag itu seni. Bukan identitas gender seperti trans,” kata Agnes, bukan nama sebenarnya, 27 tahun, seorang transpuan dan peneliti. Demi keamanan, ia minta nama aslinya disamarkan.

Disertasi Agnes, yang mengambil jurusan studi gender di salah satu kampus besar di Inggris, membahas soal drag.

Di Barat, kata Agnes, ada proses "normalisasi" yang dihadapi masyarakatnya sebelum teori tentang drag semaju sekarang. “Homoseksualitas di sana lebih dulu dibenturkan dengan nilai-nilai heteronormatif sebagai nilai mayoritas,” jelasnya.

Maksud Agnes, pergerakan membela hak minoritas gender membuktikan kelompok LGBT adalah bagian dari masyarakat dan mendapatkan hak setara jika diskriminasi dihapuskan. Diskusi tentang drag sebagai seni di Indonesia belum sepanjang dan terbuka seperti di ranah global.

“Itu yang tidak terjadi di sini,” ujar Agnes.

Temuan Tirto, Kementerian Kesehatan masih tak bisa membedakan interseks dan transgender, terutama terkait administrasi dan risiko kesehatannya. Bahkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) punya aturan diskriminatif yang melarang "muatan transgender" masuk TV.

“Narasi bahwa LGBT itu pilihan saja masih langgeng. Sehingga persekusi jadi setinggi sekarang,” kata Agnes.

Nasib Transgender di Tahun Politik

“Kalau punya pilihan, kenapa gue mesti milih jalan hidup yang berat? Kenapa gue memilih hidup untuk diintimidasi, dibenci, didiskriminasi? Ya sebenarnya karena gue enggak punya pilihan,” tambah Agnes.

“Gue cuma punya satu kali kesempatan hidup, dan gue mau jadi diri gue sendiri.”

Persekusi terhadap transpuan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Persekusi paling tinggi terjadi pada 2017. Sebanyak 715 waria jadi korban kekerasan. Artinya, lebih dari 2 waria mengalami kekerasan setiap hari. Bentuk kekerasan terhadap transpuan: disiram air pemadam kebakaran ketika sedang jalan di taman, ditelanjangi, dipukuli, sampai dibunuh.

Pada 2018, meski belum ada jumlah resmi, persekusi itu masih terjadi.

Pada Januari 2018 di Aceh Utara, enam salon tempat usaha waria digerebek dan ditutup paksa. November 2018 di Lampung, tiga waria ditangkap paksa lalu disiram air damkar, didokumentasikan dan disebarluaskan untuk dipermalukan; Di Padang, empat waria digunduli paksa, dipermalukan di publik; di Klender, Jakarta, tujuh waria diusir dari indekosnya.

Sementara di Bekasi, dua waria dipukuli, diintimidasi, dilecehkan, dan disiksa. Fenomena ini kemudian dicatat sebuah petisi yang menuntut keadilan pada kelompok transpuan.

Catatan Tirto, hampir setiap bulan pada 2018 muncul kasus diskriminasi terhadap LGBT.

Maret: penggerebekan pasangan gay di Palmerah, Jakarta Barat (Maret); April: dukungan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk mendesak pemerintah dan DPR menetapkan sanksi bagi LGBT; Juli: hukuman cambuk bagi pasangan Gay; Oktober: pembubaran sesi lomba pocky challenge di Magelang karena desakan ormas yang mencurigai unsur LGBT dan pembubaran Grand Final Mister dan Miss Gaya Dewata 2018 karena dianggap bernuansa LGBT.

“Polanya memang begitu,” kata Kanza Vina, aktivis transpuan di Sanggar Swara, lembaga nirlaba yang mengurusi advokasi dan pendidikan transgender.

“Ini makin dekat Pemilu Pilpres. Isu [anti-LGBT] ini selalu dipakai di tahun-tahun politik,” tambahnya.

Kanza menilai politik identitas masih jadi jualan kampanye andalan politikus Indonesia. Narasi-narasi bersentimen negatif dan menyudutkan LGBT atau minoritas lainnya bisa dipakai politikus untuk menjatuhkan rival.

“Misalnya, anggota partai mana bilang kalau partai lain dukung LGBT. Partai yang dituduh enggak bisa diam aja, apalagi bilang iya. Bisa-bisa kalah, kan,” kata Kanza.

Situasi ini makin panas karena sentimen kebencian yang disebar pemerintah nasional pada 2016 lalu, sudah menyebar ke daerah.

Pemkab Cianjur minta khotbah salat Jumat berisi imbauan mencegah LGBT, yang dianggap "penyakit dan perilaku menyimpang." Di Padang, Wali Kota Mahyeldi Ansharullah memimpin deklarasi "menolak LGBT” dalam rangkaian “Padang Bebas Maksiat”.

Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch, sudah memprediksi pola ini. “Sentimen itu memang awalnya muncul dari pusat (nasional). Lalu menyebar ke (pemerintahan) daerah. Sentimen pada agama minoritas yang terjadi di era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) juga begitu polanya,” kata Andreas.

Otonomi daerah, akhirnya bikin desakan untuk menyetop regulasi diskriminatif itu jadi lebih susah.

“Kalau dulu, kami bisa langsung menyurati pusat. Sekarang jadi lebih susah, karena muncul satu-satu di daerah,” tambahnya. Pada pada pertengahan tahun lalu, Human Rights Watch merilis laporan berjudul "Takut Tampil di Hadapan Publik dan Kini Kehilangan Privasi: Dampak Hak Asasi Manusia dan Kesehatan Masyarakat dari Kepanikan Moral Anti-LGBT”.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/12/28/lgbt-di-indonesia-2018--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik LGBT di Indonesia" /

Rentan ‘Menyerang’ Transgender

“Dari semua akronim itu, ‘T’ yang paling rentan dipersekusi,” kata Kanza, merujuk Transgender dalam akronim LGBT.

“Alasannya dua. Satu, karena penampilannya yang paling kelihatan berbeda. Kedua, karena mayoritas kita (kelompok transgender) itu dari kelas yang bawah banget: udah minoritas gender, pendidikannya biasanya rendah karena dari kecil udah diusir dari rumah dan putus sekolah."

"Jadi, cenderung lebih gampang dipersekusi karena enggak sadar hak-haknya,” ungkap Kanza.

Kanza punya pengalaman pahit. Saat baru masuk SMP, ia mengalami pelecehan seksual yang bikin Kanza ingin berhenti sekolah. Ayahnya mendukung ide itu karena malu dengan tingkah feminin Kanza. Singkat cerita, ia akhirnya kabur dari rumah karena tak sanggup terus-terusan menerima amarah sang ayah, yang menganggap orang seperti Kanza “tidak punya masa depan.”

Lepas dari akses pendidikan dan sokongan finansial keluarga, membuat Kanza remaja harus menghidupi diri sendiri. Ia bekerja membantu kawan di salon untuk bisa tidur dan makan gratis. Karena ingin hidup lebih baik, ia merantau ke Jakarta dengan modal Rp5 juta. Kanza sempat menjadi pekerja seks jalanan.

Hidupnya berubah saat mengikuti Transchool, sebuah program sekolah waria dari Swara. Di sana, Kanza yang saat SD selalu peringkat kelas, akhirnya kembali menemukan gairahnya lagi untuk sekolah.

Dari sana Kanza paham bahwa ada lingkaran setan yang langgeng menjerat hidup transpuan di negara transfobik seperti Indonesia.

“Selama ini orang-orang berpikir bahwa waria itu cuma bisa pekerjaan-pekerjaan domestik, kayak masak, nyalon. Belum lagi ada stigma bahwa waria itu sama dengan prostitute,” kata Kanza. “Seolah-olah kemampuan waria terbatas, padahal dibatasi.”

Dulu, “Ayah gue pernah nasihatin: orang-orang kayak gue enggak akan punya tempat di masyarakat. Tempatnya terbatas,” lanjutnya.

Kini ia paham waria punya hak yang sama sebagai warga negara. Waria perlu perlindungan, pendidikan, dan jaminan kenyamanan dari negara.

“Maka, pendidikan itu penting banget. Gue sadar, sekarang kalau gue punya privilese itu, gue lebih dekat dengan pendidikan daripada banyak teman-teman transpuan lain di luar sana,” kata transpuan penerima Penghargaan Suardi Tasrif dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ini.

Pendidikan adalah Tahap Terpenting

Kanza punya mimpi untuk melanjutkan pendidikan sampai gelar master. Kini ia berusaha memperoleh ijazah paket C demi mimpi tersebut.

“Gue nanti pengin ambil hukum,” katanya, berbinar. “Gue pengin buktiin, seenggaknya ke diri sendiri, transpuan bisa sukses kalau dikasih akses yang sama.”

Semangat mengejar pendidikan setinggi-tingginya ditunjukkan Yulianus Rettoblaut, Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia. Mami Yuli, sapaan akrabnya, menjadi transpuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar master pada 2015. Ia lulus dengan IPK 3,85 dari Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa. Bahkan kini ia menunggu sidang doktoral untuk jurusan sama.

“Aku selalu bilang ke teman-teman untuk terus mengejar pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu jalan, biar orang-orang bisa melihat kita juga bisa,” kata Mama Yuli di Rumah Singgah yang dibangunnya untuk transpuan jompo di Depok.

Ia sadar tak semua orang punya kemauan dan kesempatan itu. Ia sendiri lama hidup di jalanan karena terusir dari keluarga sendiri.

“Saya pernah diusir polisi, padahal mau lihat jenazah kawan sendiri yang jadi korban mutilasi, cuma karena saya waria,” ungkap Mami Yuli.

Momentum itu membuatnya tersadar bahwa waria memang dipandang sebagai kelas bawah. Ia bertekad mengubah nasib dan kembali ke gereja.

Di sana, ia mulai memupuk mimpi untuk sekolah lagi. “S-1 saya dibiayai gereja, mereka mendukung sekali saya untuk belajar,” kata transpuan asal Asmat, Papua ini.

“Saya yakin tak ada kata terlambat untuk belajar, asal kita mau berusaha,” tambahnya.

Agnes lebih beruntung karena tak sampai punya pengalaman terusir dari keluarga. Ibunya menerima Agnes dan menjalani proses transisi bersama-sama.

“Tentu tetap sulit. Nyokap juga pasti dapat tekanan dari teman-temannya, saudara. Tapi, gue ngerasa beruntung karena kehadiran keluarga bisa buat gue lebih kuat,” kata Agnes.

“Bukan berarti pengalaman transisi gue enggak berat, dan gue bersyukur banget bisa survive dari semua depresi dan anxiety gue. Tapi, gue sadar kalau gue punya privilese yang enggak dipunyai teman-teman trans lain: bahwa support keluarga itu penting.”

Senada Kanza dan Mami Yuli, Agnes sepakat bahwa pendidikan penting. Ia yakin trans punya kesempatan sukses yang sama jika hak-hak dasarnya dipenuhi.

“Gue aja yang baru transisi di semester IV (saat kuliah S-1), didiskriminasi jahat banget, apalagi ada temen trans yang udah transisi dan masuk sejak seleksi pertama. Gue bisa kebayang susahnya,” tambah Agnes.

Apalagi kultur pendidikan di Indonesia cukup aneh, menurut Agnes. “Di sini, murid enggak boleh bikin argumen. Dianggap enggak sopan. Berpikir kritis dianggap kurang ajar.”

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam