Menuju konten utama
25 November 2016

Persahabatan Kuba dengan Indonesia di Tengah Perang Dingin

Kuba yang direbut lewat revolusi adalah sahabat Indonesia di masa Bung Karno. Bagi Fidel Castro, Sukarno adalah gurunya.

Persahabatan Kuba dengan Indonesia di Tengah Perang Dingin
Ilustrasi Mozaik Fidel Castro. tirto.id/Tino

tirto.id - Saat Fidel Castro memasuki gedung Kongres di Havana sebagai pemimpin Kuba setelah 3 tahun bergerilya, Gedung Putih sedang diisi oleh Presiden Eisenhower, dan Kremlin dipimpin Nikita Khrushchev. Di Indonesia, yang berkuasa adalah Paduka Jang Mulia Presiden Sukarno. Tahunnya 1959.

Setelah memimpin Revolusi Kuba yang menumbangkan diktator kesayangan AS Fulgencio Batista di awal 1959, Fidel Castro dan kamerad-kameradnya membangun Kuba. Dengan kepemimpinan Castro, negara ini menjadi tawon. Meski kecil, ia pernah membuat Amerika Serikat tersengat saat meminta Uni Soviet membangun pangkalan misil jarak jauh di Kuba pada 1962.

Misil atau rudal yang dipasang Soviet di Kuba itu mampu menjangkau dan meledakkan daratan AS yang jaraknya kurang dari 200 km. Namun, pangkalan misil itu akhirnya dibongkar. Krisis misil Kuba pun kelar. Rupanya, setahun sebelumnya, Kuba sukses mengadang tentara oposisi sokongan AS dalam operasi Teluk Babi.

Dalam konteks Perang Dingin, Sukarno berada dalam kolom yang—kurang lebih—sama dengan Castro. Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro menghormati Indonesia. Kepoloporan pemerintahan Sukarno dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung menjadikan Indonesia sebagai tujuan penting kunjungan-kunjungan delegasi Kuba yang dipimpin Che Guevara pada Juli hingga Agustus 1959 ke-14 negara-negara Asia dan Afrika.

Che yang berasal dari Argentina juga merupakan tokoh penting Revolusi Kuba bersama Fidel maupun Raul Castro. Foto-foto kunjungan Che Guevara ke Indonesia di tahun 1959, di mana Che mengunjungi Candi Borobudur, kini sudah banyak beredar di internet.

Dalam pertemuannya dengan Sukarno yang lebih tua secara usia dan pengalaman, Che mendapat wejangan: “bagi saya, Che...bagi saya sebuah perubahan sejarah itu tidak boleh setengah-setengah, ia harus menjebol, ia harus memporak porandakan, dari situasi porak poranda itu kita bangun yang baru, bangunan masyarakat yang modern, terhormat dan memanusiakan manusia.”

Tahun depannya, setelah kunjungan Che, Sukarno yang lebih tua dan lebih besar negaranya, tak ragu mengunjungi sahabat kecil bermental raksasa itu. Sukarno yang kelahiran tahun 1901, lebih tua 27 tahun dari Che Guevara yang kelahiran tahun 1928. Dibanding Fidel Castro, si Bung juga 25 tahun lebih tua. Sukarno ke Kuba pada 13 Mei 1960. Meski terlihat sangar, Kuba menyimpan kekhawatiran dalam panasnya Perang Dingin saat itu.

Dalam kunjungan tersebut, seperti ditulis buku Soekarno Poenja Tjerita, warga Kuba berdiri di sepanjang jalan yang dilewati Sukarno. Mereka bersorak: “Viva President Sukarno.”

Dengan mimpinya menjadikan Kuba sebagai negara berdikari, Fidel Castro berkata kepada Sukarno: “kami merasa kami harus mandiri, tidak bergantung kepada negara lain seperti negara Tuan, Indonesia.” Tapi kita tahu, Perang Dingin tak menyediakan banyak pilihan bagi dunia. Amerika Serikat menjadi ancaman terbesar. Maka, jika dilihat dari berbagai segi, termasuk kedekatan ideologi, wajar jika kemudian Havana bersekutu dengan Kremlin.

"Tuan Sukarno, negara ini memiliki semangat tersendiri dalam mewujudkan perubahan, kami berdiri di sini sendirian dikelilingi negara-negara perkebunan tinggalan Spanyol dan Portugal, kami juga berdekatan dengan rajanya apitalis dunia Amerika Serikat, tiap waktu kami berjaga agar jangan sampai rudal Amerika menimpa kota kami,” ujar Castro kepada Sukarno. Itulah kenapa Kuba pernah meminta Uni Soviet menempatkan misil atau rudalnya. Lumayan untuk menakuti adidaya bernama Amerika Serikat.

Sukarno, yang juga pernah dikerjai AS dalam PRRI/Permesta, akhirnya memberi wejangan kepada Castro juga terkait bagaimana harusnya negara sosialis itu: “Yang Mulia Castro, sebuah negara pertama-tama harus mandiri. Itu persyaratan terbesar sebuah revolusi. Ia tidak boleh bergantung kepada siapa-siapa.”

Menurut Sukarno, seperti disepakati kaum sosialis lain, sebuah negara haruslah mandiri dan mampu berdikari. Indonesia dan Kuba punya ancaman yang sama dan punya potensi sebagai bekas daerah perkebunan negara-negara Eropa.

“Jadi apa yang harus dilakukan Kuba?” tanya Fidel Castro, seolah dirinya adalah murid yang butuh petunjuk gurunya.

Infografik Mozaik Fidel Castro

Infografik Mozaik Fidel Castro. tirto.id/Tino

“Yang harus dilakukan adalah pertama-tama Yang Mulia harus menganalisa kekuatan modal yang mulia, apa yang bisa dijadikan alat untuk mandiri, lalu gunakan modal itu 100 persen untuk kesejahteraan umum. Bagi saya kesejahteraan umum itu sumber kebahagiaan rakyat, negara tidak boleh menjadi tempat bagi penggarong atas nama kapital, atas nama komoditi,” jawab Sukarno.

Dalam pertemuan berkesannya dengan Fidel, Sukarno menghadiahi Fidel Castro sebilah keris dan peci. Bahkan foto Fidel Castro memegang sebilah keris dari Indonesia pun kini telah beredar luas. Ia begitu girang menerima peci pemberian Sukarno.

Setelah kunjungan Sukarno, Castro mengeluarkan Undang-Undang Kesejahteraan Umum di mana rumah sakit, sekolah, dan sarana publik dibangun. Kuba dikenal sebagai negara yang memedulikan kesehatan dan pendidikan, dengan cara menggratiskannya.

Bahkan, dalam film dokumenter Sicko (2007) yang dibuat Michael More, warga AS yang tak bisa diobati dengan baik di negaranya, banyak yang berobat ke Kuba, setelah berjuang dengan kapal kecil ke Kuba melewati Guantanamo.

Jauh setelah Sukarno meninggal, ketika berusia 80 tahun, Fidel Castro tak melupakan Sukarno yang pernah jadi guru bagi Kuba. Pada 2008, Kuba merilis dua perangko bergambar Sukarno. Satu bersama Che Guevara, dan satu lagi tentu bersama Fidel Castro.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 November 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN INDONESIA KUBA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi