Menuju konten utama

Pers Mahasiswa di Surabaya Dibubarkan Kampus karena Diskusi Papua

Teropong, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), dibubarkan birokrat kampus karena menggelar diskusi soal Papua.

Pers Mahasiswa di Surabaya Dibubarkan Kampus karena Diskusi Papua
Puluhan mahasiswa asal Papua menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/8/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kebebasan akademik di kampus kembali tercoreng. Diskusi publik yang dilaksanakan Teropong, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), dibubarkan paksa aparat, Rabu (9/10/2019) kemarin. Organisasi pun diberangus secara lisan oleh rektorat.

Diskusi berjudul "Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama" belum dimulai ketika satpam kampus mendatangi tempat acara. Kata satpam, penyelenggara acara ditunggu polisi yang sudah ada di depan kampus.

"Dua orang perwakilan LPM Teropong menemui Polsek Sukolilo. Mereka bertanya soal substansi pembahasan, pihak penyelenggara, elemen yang terlibat, dan izin diskusi," kata Pemimpin Redaksi LPM Teropong Fahmi Naufala Mumtaz kepada reporter Tirto, Kamis (10/10/2019) malam.

Polisi juga menekankan semestinya penyelenggara diskusi lapor ke mereka. Sepenuturan Naufal, saat itu polisi beralasan mereka bertanggung jawab terhadap keamanan Sukolilo. Dan diskusi ini adalah salah satu acara yang mesti mereka amankan.

Bentuk pengamanannya, kata Naufal, "mengamati dari jarak jauh dan memastikan substansi dan kesimpulan diskusi."

Penyelenggara diskusi tidak sepakat dengan berbagai alasan tersebut. Debat pun tak terhindarkan.

Salah satu poin debat adalah dasar hukum tindakan polisi. Naufal mengatakan, berdasarkan Pasal 10 ayat 4 UU Nomor 9 Tahun 1998, "pemberitahuan secara tertulis [...] tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan." Diskusi publik jelas termasuk ke dalam "kegiatan ilmiah" yang dimaksud pasal tersebut.

"Tapi sekitar pukul 18.30 WIB, pihak kemahasiswaan menelepon satpam dan pihak LPM Teropong, lalu menginstruksikan untuk membubarkan diskusi dengan dalih diskusi tersebut tidak berizin dan mengundang pihak luar kampus," kata Naufal.

Penyelenggara diskusi mengalah. Pukul 18.45, mereka memutuskan melangsungkan diskusi di luar kampus.

Naufal menegaskan apa yang terjadi pada malam itu adalah "upaya intimidasi" yang "tidak seharusnya terjadi." "Aparat seharusnya tidak mencampuri urusan akademik, termasuk diskusi ilmiah."

Reporter Tirto sudah menghubungi Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera sejak Kamis sore untuk meminta keterangan lebih lanjut. Namun hingga Jumat (11/10/2019) siang tak ada respons sama sekali dari yang bersangkutan. Pesan singkat pun hanya dibaca.

Pers Mahasiswa Dibubarkan

Masalah belum selesai. Awak LPM Teropong dipanggil pihak kampus keesokan harinya pukul 12.00. Mereka, ditemani Presiden Mahasiswa BEM PENS, bertemu di Ruang Sidang D3.

Pihak kampus yang hadir adalah Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan PENS Anang Budikarso dan Kepala Unit Minat Bakat dan Organisasi Mahasiswa PENS Novian Fajar Satria.

Mereka mendapat kabar yang mengagetkan: LPM Teropong tak boleh berkegiatan lagi di kampus. Mereka juga dibubarkan.

"Birokrat [kampus] menyalahkan kami. Pertama, kami [dianggap salah karena] mengadakan diskusi tanpa izin. Padahal sebelum-sebelumnya kami diskusi di kampus pun bisa tanpa izin karena posisi di ruang terbuka tanpa peminjaman ruangan. Pakai izin kalau di ruangan kelas," kata Naufal.

Alasan kedua, karena peserta diskusi banyak yang yang berasal dari luar kampus.

Soal ini, Naufal mengatakan panitia tak bisa mengontrolnya karena poster diskusi tersebar luas di dunia maya.

"Ketiga, karena salah satu audiens diskusi ada target operasinya polisi. Kehadiran TO di dalam diskusi dipermasalahkan kampus," katanya. Dia tahu informasi ini dari "intel".

Alasan keempat, layaknya pers mahasiswa yang sering berkonflik dengan birokrat kampus, misalnya LPM dari ISBI Bandung atau Persma USU, adalah LPM Teropong dianggap kerap memberitakan isu-isu yang sensitif.

Naufal mengatakan sanksi ini baru sebatas pernyataan lisan. "Surat resmi belum keluar. Surat edaran akan dikeluarkan [pihak kampus] dan disebar."

Reporter Tirto sudah menghubungi Anang dan Novian sejak Jumat pagi lewat telepon dan pesan singkat WhatsApp, namun yang merespons hanya Novian. Itu pun tak menjawab apa pun.

"Maaf saya tidak bersedia [berkomentar]," kata Novian, Jumat (11/10/2019).

Sementara Anang malah memblokir nomor reporter Tirto, ditandai dengan hilangnya profile picture yang bersangkutan.

Dianggap Berlebihan

Koordinator Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia, Herlambang P. Wiratraman, mengatakan baik pihak kampus atau polisi "sangat berlebihan" dalam menangani masalah ini.

"Prinsipnya otoritas keamanan dan kampus harus menghargai dan menghormati kebebasan akademik bagi semua sivitas akademika di kampus," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga tersebut kepada reporter Tirto, Kamis sore.

Herlambang juga menegaskan kalau saat ini Indonesia "tidak lagi ada di bawah Orde Baru" yang biasa membubarkan organisasi mahasiswa "yang sedang menggunakan daya kritisnya."

"Itu cara-cara otoritarian. Sangat melanggar prinsip HAM dan kebebasan akademik," Herlambang memungkasi.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino