Menuju konten utama

Perppu Ciptaker ala Jokowi: Ugal-ugalan & Mengkudeta Konstitusi

YLBHI menilai Jokowi seharusnya menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.

Perppu Ciptaker ala Jokowi: Ugal-ugalan & Mengkudeta Konstitusi
Seorang buruh menggunakan kostum mengikuti aksi unjuk rasa di halaman Kantor Pemerintahan Kota Tangerang, Banten, Selasa (20/9/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Beleid ini diterbitkan guna menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Ciptaker yang sebelumnya diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah mengamanatkan pemerintah merevisi UU Ciptaker dengan mengakomodir berbagai ketentuan yang sudah diputuskan, bukan mengambil jalan pintas menggugurkan status inkonstitusional bersyarat melalui Perppu.

Langkah ini pun dikritik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. "Penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi Indonesia, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur, dalam keterangan tertulis, Jumat, 30 Desember 2022.

Isnur menilai Perppu tersebut semakin menunjukkan bahwa presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi.

Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini, lanjut Isnur, jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

YLBHI juga menilai penerbitan ini tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perppu yakni adanya hal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.

"Presiden seharusnya mengeluarkan Perppu pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan karena penolakan yang masif dari seluruh elemen masyarakat," kata Isnur. Namun saat itu presiden justru meminta masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja mengajukan judicial review.

Penerbitan Perppu Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal.

YLBHI meminta agar presiden melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yakni dengan memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja dengan syarat yang telah ditentukan, menarik Perppu tersebut, dan mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan HAM.

Sementara, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Perppu ini sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009 dan regulasi pengganti ini telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.

Airlangga mengaku Perppu diteken lantaran kebutuhan mendesak, misalnya di Tanah Air perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global seperti menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi.

"Kondisi krisis ini untuk negara berkembang menjadi sangat nyata, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraina-Rusia dan konflik lain juga belum selesai. Pemerintah (Indonesia) juga menghadapi, tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim," aku dia.

Baca juga artikel terkait PERPPU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky