Menuju konten utama
21 Februari 2005

Perpanjang Usia Perangkat Digital Cegah Petaka Limbah Elektronik

Memperpanjang usia perangkat digital adalah salah satu cara untuk mencegah petaka dari limbah elektronik.

Perpanjang Usia Perangkat Digital Cegah Petaka Limbah Elektronik
Header Mozaik Bahaya Limbah Elektronik. tirto.id/Quita

tirto.id - Dalam rentang masa hidup sekitar 79 tahun, satu orang di Amerika Serikat rata-rata menghabiskan sekitar 44 telepon genggam, 16 sampai 26 laptop, dan 17 desktop. Jika dijumlahkan untuk ketiga gawai yang paling sering berganti ini, seumur hidupnya satu orang Amerika Serikat menghasilkan 273 kg sampah elektronik. Ini belum termasuk barang-barang elektronik lainnya yang umurnya lebih lama seperti televisi, kulkas, AC, kipas angin, mesin cuci, microwave, dan lain-lain.

Kendati itu contoh di Amerika Serikat, tidak menutup kemungkinan orang Indonesia perkotaan juga mengumpulkan gawai sebanyak itu dalam seumur hidupnya, terlebih dengan kecenderungan memiliki lebih dari satu telepon genggam. Apalagi di masa pandemi, dengan sebagian besar aktivitas bekerja dan belajar dilakukan menggunakan perangkat elektronik (komputer, laptop, tablet, telepon genggam), belanja perangkat digital dipastikan meningkat.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, jumlah telepon genggam di Indonesia pada 2021 mencapai 345,3 juta, sementara jumlah penduduk hanya 271,35 juta jiwa. Dapat dipastikan bahwa rata-rata orang Indonesia memiliki lebih dari satu telepon genggam dalam sekali waktu.

Terdapat sejumlah alasan mengganti atau menambah gawai. Yang paling umum adalah karena rusak atau tidak dapat dipakai lagi sebab sudah "kuno". "Kuno" bisa jadi baru rilis beberapa tahun ke belakang, tetapi tuntutan perangkat lunak untuk selalu melakukan pembaruan menjadikan gawai elektronik sangat cepat ketinggalan zaman karena seolah gagal mendukung aktivitas. Ini membuat usia barang menjadi sangat pendek karena mengikuti tuntutan perusahaan perangkat lunak. Belum lagi perilaku konsumen yang membeli perangkat digital untuk memenuhi gaya hidup.

Kombinasi perusahaan yang memaksa pengguna untuk terus melakukan pembaruan sehingga sukses meyakinkan konsumen bahwa usia perangkat digital memang sependek itu, ditambah dengan perilaku konsumen bahwa menggunakan gawai keluaran terbaru merupakan bagian dari gaya hidup, maka jumlah perangkat digital di muka Bumi--dan sampahnya--kian mencemaskan.

Pada 2019, manusia menghasilkan 50 juta ton per tahun sampah perangkat elektronik dan digital (e-waste). Dengan tren pertumbuhan lebih tinggi dari limbah lainnya, kelak pada 2050 diperkirakan manusia akan menghasilkan 120 juta ton e-waste per tahun. Dari seluruh e-waste yang jumlahnya kian mengkhawatirkan, hanya 20 persen yang dapat didaur ulang, sementara 80 persen dibuang begitu saja di tempat pembuangan akhir.

Para pekerja di TPA terpapar langsung dengan bahan kimia beracun dan karsinogenik pada barang elektronik seperti merkuri, timbal, dan kadmium. Kandungan berbahaya ini masuk ke dalam tanah, sumber air, rantai makanan, dan akhirnya ke dalam tubuh manusia.

Kelak pada tahun 2028 Indonesia diprediksi menghasilkan sekitar 49 juta unit sampah barang elektronik atau setara 487.416 ton. Usia barang elektronik yang semakin pendek akan meningkatkan pertumbuhan e-waste dan menghasilkan e-waste total yang semakin besar di masa depan. (Sylfannie Santoso, et al., “Estimating the Amount of Electronic Waste in Indonesia: Balanced-Pupulation Model”, Sylfannie Santoso et al., 2019) IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

Sementara itu, kemampuan mendaur ulang e-waste sangat kecil dan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan populasi manusia dan konsumsinya terhadap perangkat digital, terlebih di masa pandemi. Rendahnya kesadaran manusia akan bahaya e-waste turut berkontribusi pada pengabaian penanganan limbah elektronik secara sungguh-sungguh. Kampanye pengurangan konsumsi barang elekronik sama sekali tidak terdengar, sementara iklan gawai terbaru riuh mengepung segala indera. Padahal tumpukan sampah sebagai sebab langsung kematian manusia belum lama dialami Indonesia.

Pada 21 Februari 2005, tepat hari ini 17 tahun lalu, 157 jiwa melayang dan dua kampung di sekitar TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, hilang dari peta karena tertimbun longsoran sampah. Ledakan gas metana dari gunungan sampah dan tingginya curah hujan khas bulan Februari menyebabkan longsor yang menggulung kampung. Tragedi itu kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Dalam rilis media 24 Januari 2019, PBB memperingatkan bahaya e-waste bagi kelangsungan kehidupan di Bumi. PBB menyerukan solusi kepada produsen untuk menciptakan produk elektronik yang lebih kuat dan tahan lama, program pembelian kembali dan pengembalian barang elektronik bekas, mengekstraksi mineral dan logam dari komponen barang elektronik, serta memperkenalkan sistem sewa barang elektronik.

Solusi-solusi tersebut membutuhkan teknologi tinggi untuk daur ulang dan kemauan politik, baik dari korporasi maupun pemerintah. Beberapa negara menggelontorkan jutaan dolar AS untuk membangun sistem pengolahan limbah e-waste. Kenapa memilih mengeluarkan jutaan dolar AS untuk mendaur ulang, alih-alih mencari alternatif yang memungkinkan penghematan besar sehingga dapat memperpanjang usia barang dan mengurangi laju penumpukan e-waste?

Infografik Mozaik Bahaya Limbah Elektronik

Infografik Mozaik Bahaya Limbah Elektronik. tirto.id/Quita

Pada 2003, Office of Government Commerce pemerintah Inggris merilis Open Source Software Trials in Government Trial Final Report. Dalam kesimpulannya, dibandingkan dengan sistem operasi komersial, sistem operasi Open Source membutuhkan sumber daya (memori, prosesor, kecepatan media simpan) lebih rendah untuk kinerja yang sama.

Sistem operasi Open Source seperti Linux memberikan kebebasan dalam berbagai hal kepada pengguna, termasuk kebebasan melakukan pembaruan pada perangkat lunaknya. Pembaruan pada sistem operasi Open Source pun tidak berpengaruh terhadap kebutuhan sumber daya sehingga tidak membuat sistem lebih berat.

Dengan demikian, komputer yang menggunakan sistem operasi Open Source memiliki usia penggunaan yang jauh lebih panjang. Hal ini berdampak sangat besar terhadap biaya untuk belanja perangkat lunak maupun perangkat keras. Artinya, penambahan jumlah e-waste bisa jauh dikurangi. (UK Office of Government Commerce, Open Source Software Trials in Government Trial Final Report, 2003, hlm. 15).

Dalam laporan tersebut juga disebutkan kota dan negara lain yang sudah menggunakan sistem operasi Open Source. Misalnya, kota Munich di Jerman dan Barcelona di Spanyol telah bermigrasi ke sistem operasi berbasis Linux. Ministry of Equipment Prancis dan Departemen Teknologi & Informasi India juga telah menerapkan sistem operasi Open Source di perkantoran dan lembaga pendidikan. Republik Rakyat China ketika laporan tersebut ditulis sedang merencanakan akan menerapkan sistem operasi Open Source secara nasional. China pada saat ini menggunakan sistem operasi berbasis Linux yang ia kembangkan sendiri. (UK Office of Government Commerce, Open Source Software Trials in Government Trial Final Report, 2003, hlm. 8-9).

Di Indonesia, penggunaan sistem operasi Open Source belum populer. Padahal dengan fungsi sama dan lebih efisien biaya karena tidak perlu membayar lisensi, mestinya menjadi pertimbangan utama. Pada 2008, Walikota Pekalongan, Jawa Tengah, memutuskan untuk bermigrasi ke sistem operasi Open Source untuk seluruh jajaran pemerintahan. Karena tidak perlu membayar lisensi, APBD yang berhasil dihemat mencapai Rp12 miliar.

Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional yang berlangsung setiap 21 Februari selayaknya tidak hanya mengenang dua kampung tergulung bukit sampah, tetapi juga upaya-upaya untuk mencegah hal semacam itu terjadi lagi. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperpanjang usia perangkat digital yang digunakan sehari-hari sehingga mencegah laju tumpukan e-waste.

Baca juga artikel terkait LIMBAH ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi