Menuju konten utama
RUU Kesehatan

Pernyataan Kemenkes soal Aturan Tembakau Bisa Picu Disinformasi

Pernyataan Kemenkes soal pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif di UU Kesehatan saat ini dinilai mengandung disinformasi.

Pernyataan Kemenkes soal Aturan Tembakau Bisa Picu Disinformasi
Petani memetik daun tembakau saat panen di persawahan Dusun Welar, Toroh, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (7/9/2020). Menurut petani, meskipun kualitas tembakau ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.

tirto.id - Pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif sudah ada dalam Undang-Undang Kesehatan yang saat ini berlaku dinilai sebagai bentuk disinformasi. Sebab, dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan bahwa minuman beralkohol, terlebih narkotika dan psikotropika dikelompokkan sebagai zat adiktif.

“Pertama, ada sesat pikir dari Kementerian Kesehatan melihat persoalan zat adiktif itu sendiri. Kedua, informasi yang disampaikan itu tidak benar dan menjadi kebohongan publik. Jelas zat adiktif itu tidak berarti sama dan tidak bisa disamakan dengan narkotika serta psikotropika,” terang Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, dalam pernyataannya, dikutip Selasa (25/4/2023).

Sebagai catatan, dalam UU 36/2009 pasal 113 ayat (2) tentang Pengamanan Zat Adiktif menyatakan: "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekitar. Di sini, minuman beralkohol tidak digolongkan sebagai zat adiktif."

Faktanya, minuman beralkohol hanya disebut satu kali, yaitu dalam pasal 160 ayat (2) dengan bunyi: "Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar."

Dalam draf RUU Kesehatan pasal 154 ayat (3) berbunyi: "zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya."

Trubus mengatakan disinformasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan ini memperjelas kesan adanya keterburu-buruan untuk segera mengesahkan RUU Kesehatan ini. Padahal, RUU ini masih memiliki banyak polemik, termasuk soal menyamakan produk tembakau dan minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika.

“Ada logical fallacy, sesat pikir dalam mengelompokkan tembakau dan alkohol dengan narkotika dan psikotropika. Jika sampai RUU Kesehatan disahkan dengan ketentuan tersebut, seluruh ekosistem pertembakauan akan terkena dampaknya,” sambung Trubus.

Ia juga menambahkan, ketersediaan lapangan kerja dan pendapatan negara dari industri hasil tembakau (IHT) juga akan hilang, sehingga akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sebelumnya, Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril menyatakan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan tidak memperlakukan tembakau sama dengan narkotika. Pernyataan itu merespons anggapan dari petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT) bahwa Pasal 154 Draf RUU Kesehatan soal zat adiktif menjadikan tembakau sejajar dengan narkotika.

“Pengelompokan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika di mana kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukuman pidananya,” kata Syahril dalam keterangan tertulis, Jumat (14/4/2023).

Syahril menyatakan pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Kesehatan yang saat ini berlaku.

"Tembakau, alkohol dan juga narkotika dan psikotropika dalam RUU hanya dikelompokkan ke dalam pasal zat adiktif atau unsur yang memiliki ketergantungan jika dikonsumsi,” sambung Syahril.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri