Menuju konten utama

Pernikahan Beda Usia di Sulsel & Lemahnya Perlindungan Kepada Anak

Menurut Direktur ICJR pernikahan bawah umur bisa dilakukan sepanjang mendapat restu orang tua dan izin pengadilan. Celah ini yang dikhawatirkan dimanfaatkan pelaku pedofilia.

Pernikahan Beda Usia di Sulsel & Lemahnya Perlindungan Kepada Anak
Sejumlah pengurus Fatayat NU membentangkan payung-payung bertuliskan Stop Perkawinan Anak saat hari bebas kendaraan bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (23/7). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Pernikahan antara S, perempuan berusia 13 tahun yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP dengan lelaki berusia 41 tahun bernama Rustam Ashary di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan jadi sorotan media dan perbincangan masyarakat.

Salah satu isu yang dipercakapkan adalah apakah S mau menikahi pria yang berselisih umur hingga 28 tahun lebih tua darinya didasari tekanan atau kesukarelaan. Selain itu usia S juga belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU Perkawinan.

Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. KPAI ingin menyelidiki motif pernikahan apakah atas landasan suka sama suka atau ada dorongan lain seperti desakan masalah ekonomi, utang, dan sebagainya.

“Jika memang ditemukan adanya paksaan, eksploitasi, dan sebagainya, ya yang akan bicara tentunya adalah hukum pidana,” kata Maryati kepada reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019).

Maryati mengatakan pernikahan anak bawah umur 16 tahun melanggar hukum. Ini sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan DPR merevisi Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait batas minimal usia perkawinan, berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

MK berdalil usia 16 tahun bagi perempuan untuk menikah melanggar ketentuan UUD 1945 dan tidak bersifat mengikat.

Maryati mengatakan pernikahan antara S dengan Rustam mestinya tidak terjadi jika pihak-pihak yang terlibat menyadari pentingnya perlindungan anak. “Dalam hal ini juga, ada campur tangan dengan orang tua, ada campur tangan unsur pemerintahan, penyelenggara perkawinan, yang semuanya punya turut andil dalam terjadinya perkawinan anak yang cukup janggal, dengan memuluskan, dan dengan dalih mereka atas perkenalan alamiah itu,” ujar Maryati.

Seharusnya orang tua berperan mencegah pernikahan anak. Melihat permasalahan ini Maryati menilai edukasi soal perkawinan anak memang perlu lebih digalakan di sejumlah wilayah. “Berikutnya, anak ini tentu perlu diperhatikan pendidikannya karena masih SMP. Kita khawatir, karena sudah terselenggara perkawinannya, penting baginya untuk tetap melanjutkan pendidikannya,” kata Maryati.

KPAI, kata Maryati, juga tengah menyusun materi untuk bertemu pihak sekolah, dan memastikan agar anak tersebut bisa untuk tetap melanjutkan pendidikannya.

Celah Hukum

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menegaskan pernikahan S dengan Rustam bisa berujung pidana jika terbukti melanggar peraturan. “Jika dia tidak menikah secara resmi, bisa dia dikenakan hukum pidana pemerkosaan terhadap anak,” kata Anggara kepada reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019)

Anggara menjelaskan bahwa pada dasarnya, pernikahan hanya boleh dilangsungkan pada usia dewasa, yakni 21 tahun. Namun pada undang-undang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pengecualian untuk menikah bagi perempuan berusia 16 hingga 21 tahun, serta laki-laki berusia 19 hingga 21 tahun, dengan syarat mendapatkan izin dari orang tua.

Namun, kata Anggara, di bawah batas usia tersebut bisa tetap menikah, dengan syarat mendapatkan izin dari pengadilan, atau yang disebut dengan dispensasi. “Nah yang kita khawatirkan dispensasi ini disalahgunakan oleh kelompok pedophil,” ujarnya.

Terlebih, kata Anggara, hingga saat ini memang belum ada hukum yang mengatur soal dispensasi perkawinan. “Yang jadi masalah bukan hanya perlu merevisi batas usia dini perkawinan, tapi juga mengatur soal dispensasi. Nah itu seharusnya di pemerintah, mengeluarkan peraturan pemerintah. Kalau dispensasi, itu syaratnya bagaimana sih?” jelas Anggara.

Kekosongan peraturan tersebut, ungkap Anggara, yang sering dijadikan celah untuk melangsungkan perkawinan anak secara legal. Tak hanya kekhawatiran soal pedofil yang muncul, tetapi juga eksploitasi anak secara seksual, hingga perkawinan anak yang dilangsungkan akibat masalah ekonomi atau keluarga yang terbelit hutang.

“Jadi situasi-situasi itu harus dicegah oleh hukum,” tegasnya.

Anggara juga menyampaikan hal yang langsung berdampak kepada anak setelah melangsungkan perkawinan adalah dicabutnya hak-haknya sebagai anak. “Ya, secara hukum kan, ketika ia menikah, ia dianggap sebagai dewasa. Jadi ia kehilangan hak-haknya sebagai anak. Mulai dari perlindungan di pengadilan sebagai anak, pemilu, dan sebagainya,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PERKAWINAN ANAK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Jay Akbar