Menuju konten utama

Pernah Setuju Napi Korupsi Jadi Caleg, Kok Jokowi Serang Prabowo?

Baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama didukung oleh partai-partai politik yang mencalonkan eks napi korupsi jadi anggota legislatif.

Pernah Setuju Napi Korupsi Jadi Caleg, Kok Jokowi Serang Prabowo?
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma'ruf Amin (kiri) bersalaman dengan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) dan Sandiaga Uno (kanan) usai Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, menyerang lawannya, Prabowo Subianto, dalam debat perdana Pilpres 2019 yang diselenggarakan Kamis (17/1/2019) malam. Saat sesi pertanyaan antar kandidat, Jokowi melemparkan pertanyaan soal jumlah mantan napi korupsi yang menjadi calon anggota legislatif yang diusung oleh Gerindra.

Jokowi menyodorkan data Indonesian Coruption Watch (ICW) yang menyebutkan Gerindra sebagai salah satu partai penyumbang caleg mantan napi korupsi terbanyak. Jumlahnya 6. Sementara pada posisi pertama ada Golkar, jumlahnya 8.

"Menurut ICW, partai yang bapak pimpin, termasuk yang paling banyak mencalonkan mantan koruptor atau mantan napi korupsi. Yang saya tau, caleg itu yang tanda tangan ketua umumnya. Berarti pak Prabowo yang tanda tangan. Bagaimana bapak menjelaskan mengenai ini?" tanya Jokowi.

Prabowo terlihat kaget saat mendapat pertanyaan tersebut. Ia langsung bilang belum mendapat laporan tentang itu. Ia juga menganggap data ICW sangat subyektif.

"Kalau ada bukti laporkan ke kami," jawab Prabowo.

Melihat Prabowo salah mengartikan pertanyaannya, Jokowi merasa di atas angin. Jokowi menegaskan maksud pertanyaannya adalah mantan napi korupsi yang dicalonkan sebagai caleg.

Kendati demikian, Jokowi sebetulnya tak menolak bila ada mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri jadi anggota legislatif. Jokowi mempersilahkan mantan napi korupsi untuk daftar caleg. Hal itu ia ungkapkan pada Mei tahun lalu. Jokowi jadi tampak tak konsisten dengan ucapannya sendiri.

"Ya itu hak, ya. Itu konstitusi memberikan hak," ucap Jokowi usai acara Pengkajian Ramadhan yang digelar oleh PP Muhammadiyah di Uhamka, Ciracas, Jakarta Timur, Selasa (29/5/2018).

Meskipun cenderung tidak setuju jika larangan berpolitik bagi mantan narapidana korupsi diterapkan, namun Jokowi menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada KPU. Jokowi juga menyarankan agar diberi tanda 'mantan koruptor'.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai pertanyaan Jokowi itu menunjukkan dirinya inkonsisten dalam persoalan eks napi korupsi jadi caleg. Menurut Ujang, pertanyaan yang diajukan Jokowi memang sengaja ingin menguji komitmen Prabowo dalam memberantas korupsi.

Hal itu terlihat dari nada bicara Jokowi yang meninggi saat mengatakan Prabowo menandatangani pencalonan napi eks korupsi jadi caleg dari Partai Gerindra.

"Pertanyaan yang menjebak, sehingga lawan bicara menjadi grogi," ujar Ujang kepada reporter Tirto, Jumat (18/1/2019).

Menurutnya, Jokowi memang agak terjebak dalam persoalan ini. Meski cenderung tak setuju mantan koruptor menjadi caleg, tapi kapasitas Jokowi sebagai presiden membuatnya harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan.

"Sebagai presiden memang wajib hukumnya mendukung mantan napi untuk menjadi caleg. Karena itu sesuai dengan ketentuan UU. Justru salah jika Jokowi melarang mantan napi untuk menjadi caleg justru salah. Dan akan menyalahi UUD," ujar Ujang.

Tak Ada Urgensinya

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan pertanyaan Jokowi tak ada urgensinya. Menurut Zainal, baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama didukung oleh partai-partai politik yang mencalonkan eks napi korupsi jadi anggota legislatif.

"Bahwa itu fakta, iya. Tapi kalau mau dilihat terbanyak kan Golkar, dan Golkar pendukungnya Jokowi," ujar Zainal kepada reporter Tirto.

ICW sebelumnya merilis daftar 40 caleg mantan napi korupsi yang berlaga di Pemilu 2019. Daftar caleg eks napi koruptor itu dipublikasi di akun Twitter resmi ICW, @antikorupsi, pada Sabtu (5/1/2019). Ke-40 caleg mantan koruptor itu tercatat dari 11 partai politik dan DPD RI.

Merujuk data ICW tersebut, sebetulnya Gerindra ada di urutan ke-2 dengan enam mantan napi korupsi menjadi caleg pada Pemilu 2019. Posisi pertama diduduki Partai Golkar dan posisi ketiga diduduki Partai Hanura. Dua partai tersebut merupakan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019.

Menurut Zainal, baik pertanyaan dari Jokowi maupun jawaban yang disampaikan Prabowo sama-sama tak ada substansinya. Keduanya lebih banyak memberi gimik ketimbang menampilkan langkah konkret memecahkan masalah. Apalagi, Jokowi seharusnya berkaca pada dirinya sendiri, bahwa ia juga mempersilakan eks napi korupsi untuk menjadi caleg dengan dalih hak konstitusi.

"Jadi ya ini hanya gimik, riil dari mereka itu enggak keluar," ujarnya.

Prabowo Tak Paham Materi

Wakil Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, justru melihat pertanyaan Jokowi yang menggunakan data dari lembaganya ini merupakan strategi untuk menjebak Prabowo. Strategi tersebut pun berhasil membuat Prabowo kebingungan untuk menjawab.

Padahal bila menguasai materi, kata dia, Prabowo bisa membalikkan serangan tersebut dengan menyebutkan Golkar dan Hanura juga masuk tiga besar penyumbang napi eks koruptor jadi caleg.

"Harusnya bisa jadi amunisi balik untuk menyerang Jokowi. Karena pada praktiknya kubu 01 dan kubu 02 sama-sama didukung oleh partai-partai yang mencalonkan mantan napi koruptor," kata Agus kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Gilang Ramadhan