Menuju konten utama
Innocentius Syamsul

"Permintaan RUU Permusikan Datang dari Anang Hermansyah"

Innocentius Syamsul, penanggung jawab naskah akademik RUU Permusikan, mengatakan pasal-pasal bermasalah sangat mungkin dihapus.

Inosentius Samsul. FOTO/Dok. dpr.go.id

tirto.id - Rancangan Undang-Undang Permusikan ramai dibicarakan sejak awal pekan ini, setelah Konferensi Musik Indonesia (KMI) bertemu dengan anggota dewan, Senin (28/1/2019). Visi RUU permusikan, seperti dikatakan Glenn Fredly selaku penggagas KMI, adalah agar tata kelola industri musik bisa lebih baik dan pada akhirnya memberikan manfaat kepada penggiat musik, juga ke masyarakat selaku konsumen.

Seperti aturan lain yang dibahas legislatif, RUU Permusikan juga diawali dari sebuah naskah akademik. Dan sejak dari naskah akademik inilah aturan sudah bermasalah. Berdasarkan naskah akademik yang diterima Tirto, di sana tertulis bahwa mereka yang memproduksi karya musik yang mengandung unsur kekerasan, perjudian, provokasi, SARA, hingga pengaruh negatif budaya asing dapat dijatuhkan sanksi.

Redaksional itu kemudian disalin-tempel (copy-paste) dalam Pasal 5 draf RUU Permusikan.

Orang yang paling bertanggung jawab terhadap naskah akademik ini adalah Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul. Dia juga bertindak selaku penanggung jawab naskah akademik RUU Permusikan.

Tirto mewawancarai Inosentius Samsul di ruang kerjanya, Kamis (31/1/2019) lalu. Dia mengatakan kalau RUU ini diusulkan Anang Hermansyah, musisi yang juga politikus dari Komisi X DPR. Berikut wawancara lengkapnya.

Bagaimana sejarah RUU ini hingga sampai ke tahap program legislasi nasional (prolegnas) pada 2017?

Badan Keahlian menyusun naskah akademik berdasarkan permintaan. Permintaan itu datang dari Anang Hermansyah, Komisi X. Menurut mekanisme, siapa pun boleh minta [naskah akademik] ke sini. Fraksi boleh, individu boleh, komisi juga boleh.

Lalu, dalam prosesnya, kami sudah menghasilkan dan mempresentasikannya, kemudian [naskah akademik] dikembalikan ke yang menugaskan.

Yang saya dengar, sekarang, RUU itu masuk ke prolegnas. Kalau sudah masuk dalam prolegnas itu, artinya sudah ada perdebatan politik. Prolegnas juga keputusan politik. Hal-hal yang sifatnya politis ini tentu ada pro dan kontra.

Tapi saya selaku Badan Keahlian, perancang UU, menganggap pekerjaan itu [membuat naskah akademik] tidak ngarang dan berbasis akademis dan riset.

Sekarang soal substansi. Kalau substansi ini, kami punya standarnya. Kami membentuk tim. Tim ini ada perancang, ada peneliti, bahkan dalam kasus ini, ada juga pakar-pakar di dalamnya. Prof. Agus Sardjono misalnya.

Di samping pakar, musisi juga kami datangi. Misalnya Glenn Fredly. Bahwa tidak semua terwakili itu soal lain, terkendala waktu dan tenaga. Suara dari musisi sudah ada.

Lalu yang diprotes Pasal 5 dan Pasal 32. Pemikiran yang perlu itu lebih kuat dari yang tidak perlu.

Soal ada ketentuan hak cipta yang ada di UU lain, itu kan terlalu luas sifatnya. Harapan kami, jika sudah ada UU Hak Cipta, dan ada lagi di UU Permusikan, jadi akan lebih kuat. Kenapa UU Permusikan diperlukan pengaturan hak cipta, karena kalau hanya mengandalkan UU Hak Cipta, ya enggak akan jalan. Itu dikeluhkan musisi juga.

Kami coba dengan mengambil substansi dari hak cipta tersebut lalu dicantumkan lagi di RUU Permusikan. Tidak bertentangan, ya, justru memperkuat. Bagaimana norma hak cipta yang umum itu kami bangun lembaga dan sistem, pendukungnya, khusus di bidang permusikan. Makanya ada yang baru itu sistem informasi. Sistem informasi itu biar orang-orang tahu hak cipta itu seperti apa. Kan hak cipta berantakan sekarang.

Respons Anang sendiri ketika menerima draf RUU bagaimana? Menerima atau menolak?

Belum. Belum ada diskusi. Jadi begini, RUU itu sudah kami kirim, tapi belum ada diskusi lanjutan. Karena ini kan masih proses awal. Anggota DPR juga belum diskusi. Dan bagi kami itu biasa, dinamika harus ada. Kalau enggak didiskusikan itu, ada RUU yang lewat begitu saja tiba-tiba jadi. Kalau ada diskusi kan enak. Saya senang kalau ada seperti ini. Biarlah para musisi itu komentar, kami pun kesulitan, kekurangan perspektif. Biar makin banyak orang makin banyak perspektif.

Pak Anang juga bilang biar ada diskusi dengan musisi. Kami kan selama ini urus banyak RUU. Sibuklah, itulah, inilah. Kalau sudah begini, ayo, kasih masukan. Itu saja sih sisi positifnya.

Cholil Mahmud mengatakan aturan itu tumpang tindih dengan aturan lain, dan yang asli dari RUU Permusikan hanya sanksi dan soal sertifikasi saja.

Enggak, itu sudah kami hindari. Karena seperti yang saya bilang tadi, walau sudah ada [aturan lain], kami ingin yang ada di UU itu diperkuat, khusus untuk musik seperti apa, sih? Kira-kira bagaimana caranya agar hak cipta itu bisa diterapkan dengan baik di musik. Kami bangun lagi sistemnya di sini. Tidak bertentangan, lho.

Bagaimana dengan protes orang-orang soal Pasal 5? (Penyanyi Iksan Skuter bilang aturan ini "berbau fasisme")

Orang kalau lihat larangan itu sudah alergi saja. Sebenarnya larangan itu sangat normatif. Lihat dulu isinya. Jangan judulnya.

Konten porno, menghina agama, kan, ada semua [di UU yang lain]. Artinya tidak ada menciptakan suatu perbuatan baru [yang dianggap melawan hukum], tidak.... Semua ada, cuma kami kumpulkan jadi satu.

Artinya RUU ini untuk semacam mendokumentasikan atau membuat khusus bidang permusikan itu. Sistematisasi, distrukturisasi dengan baik.

Tapi kan yang dikeluhkan musisi itu proses mencipta musik enggak bisa distrukturisasi atau disistematisasi?

Tapi tetap saja ada sistemnya. Ya misalnya, boleh enggak orang membuat musik kontennya porno? Boleh enggak? Kan ditegaskan di Pasal 5.

Jadi gini, ini bukan final draf. Nanti coba dilihat konten pasalnya ada enggak yang aneh-aneh. Yang aneh-aneh ya kita coret saja. Enggak ada masalah. Tapi kalau misalnya pornografi, tak bertentangan dengan prinsip-prinsip kenegaraan dan lambang negara, masa enggak boleh? Ini hanya penegasan saja.

Pasal 5 juga dianggap pasal karet karena tak ada batasan-batasan yang tak jelas. Misalnya poin provokatif, itu mana yang disebut provokatif dan mana yang tidak? Sama juga seperti budaya barat, misalnya. Ini seperti UU ITE saja.

Itu bisa didiskusikan. Jadi begini, memang itu juga pernah muncul dalam diskusi kami. Karena ada yang mengkritik, 'lah memangnya musik itu asli [dari budaya] kita?' Ada juga debat seperti itu.

Tapi begini, ya, maksud saya gini, ini proses yang baik. Bagi saya, RUU ini dapat tanggapan saya malah senang. Secara pribadi, artinya ada proses politik di DPR yang diperhatikan masyarakat. Jadinya masyarakat menyimak.

Dan yang kedua, mana yang memang represif, kemudian yang bisa mengkriminalisasi berlebihan, yang pengertiannya bias, bisa kami hilangkan, tak masalah. Hal-hal seperti itu enggak masalah dihapus. Silakan saja. Saya juga akan datang ke diskusi tanggal 4 nanti (diskusi para musisi -ed), biar kita bisa diskusi.

Dalam tim kami pun sudah dengar keluhan Pasal 5 itu, nanti kami kaji dan revisi lagi.

Lalu soal uji kompetensi di Pasal 32?

Konsep uji kompetensi ini hanya seperti profesi-profesi lain. Jadi karena ketika diakui, ada organisasi, maka itu ada hak dan kewajiban. Karena kompetensi ini terkait dengan keikutsertaan dalam suatu organisasi, jadi organisasi itu juga akan memberikan perlindungan terhadap anggota-anggotanya. Ketika ada hak untuk dilindungi maka ada juga kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Kira-kira itu prinsipnya.

Tapi jika para musisi menganggap itu tidak perlu, ya tidak apa-apa, nanti kita buang.

Musisi yang sudah punya nama, masa iya butuh uji kompetensi? Iwan Fals kalau enggak lulus uji kompetensi enggak cocok disebut musisi, dong?

Tentunya kan yang menguji bukan orang luar. Kan itu orang mereka sendiri. Nanti jika sudah diadakan. Itu self-regulations, self-institution.

Uji kompetensi diselenggarakan badan khusus?

Ada badannya. Tapi itu ya mereka sendiri. Belum tahu di bawah mana. Mungkin sifatnya independen saja.

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Mild report
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino