Menuju konten utama
28 Maret 2010

Permesta, Serangan Umum 1 Maret, dan Ventje Sumual

Rakyat semesta.
Lepaskan diri dari
cengkram Jakarta.

Permesta, Serangan Umum 1 Maret, dan Ventje Sumual
Ilustrasi Ventje Sumual. tirto.id/Gery

tirto.id - Herman Nicolas Ventje Sumual adalah ikon Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Orang pasti akan ingat padanya jika berbicara soal gerakan itu. Dia lah yang merumuskan Proklamasi Permesta pada 2 Maret 1957 di Makassar. Bagi orang-orang di Sulawesi Utara, Permesta cukup populer hingga sekarang.

Permesta sebenarnya sebuah reaksi terhadap sentralisasi pemerintah pusat di Jakarta. Mereka dianggap pejuang otonomi daerah. Tak heran jika di masa kini, Permesta menjadi kebanggaan tersendiri. Karel Supit, tokoh PKI Sulawesi Utara, suatu kali pernah berseloroh pada kawan-kawannya di Jakarta, “Disini (di Sulawesi Utara), bahkan rumput pun Permesta.”

“Segala peralihan dan penyesuaian dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dalam arti tidak, ulangi tidak, melepaskan diri dari Republik Indonesia,” kata Proklamasi Permesta yang dibacakan Ventje Sumual pada 2 Maret 1957.

Kala itu, Sumual adalah Panglima Tentara & Teritorium VII (Wirabuana) dengan NRP 15958. Daerah teritorialnya sangat luas. Seluruh Sulawesi ditambah daerah-daerah lain di Indonesia bagian timur. Demi Permesta, ia pernah hidup bergerilya hingga 1961. Itu adalah masa gerilya kedua baginya. Gerilya pertamanya adalah di masa Revolusi Indonesia.

Berhubung apa yang dilakukan Sumual dan kawan-kawan melawan penguasa di Jakarta pimpinan Sukarno—seperti dilakukan juga oleh perwira di Sumatera dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)—maka CIA pun tertarik. Barbara Silas Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1989) menyebut, Amerika Serikat yang anti komunis sekaligus anti Sukarno diam-diam menawarkan bantuan pada Sumual dan kawan-kawan. Tawaran menggiurkan itu tak dilewatkan (hlm. 118-119).

"Ketika kami sedang makan di sebuah restoran di Singapura, beberapa orang Barat berpakaian santai mendekati kami. Mereka mengatakan bahwa mereka mengetahui kami sedang melawan Sukarno, sebab itu mereka bersedia memberi bantuan senjata. Ketika itu kami memang sedang berusaha membeli senjata. Dalam keadaan yang kami hadapi itu, ajakan dari mana pun yang bersedia menjual atau memberi senjata, kami terima,” aku Sumual seperti ditulis R.Z. Leirissa dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1991: 193). Tak heran jika Permesta punya armada udara berupa pesawat tempur dalam Angkatan Udara Revolusioner (AUREV).

Bangga Ikut Permesta

Banyak tokoh Sulawesi terlibat Permesta. Namun tak semua sampai bergerilya di hutan seperti Sumual. Jenderal M. Jusuf salah satunya. Sumual bangga soal ini. Ia mengaku, dalam autobiografinya yang berjudul Memoar (2011), “sewaktu Jenderal M. Jusuf meninggal dunia, dalam pemberitaan media massa selalu dimasukkan data dia sebagai penandatangan Piagam Permesta dalam curicullum vitae-nya […] Rupanya bagi pers sekarang, Permesta sangat penting” (hlm. 549).

Di masa Orde Lama, Ventje Sumual dan orang-orang Permesta lainnya agak dikucilkan. Tapi di era Orde Baru, banyak orang menghormatinya. Alamsyah Ratuprawiranegara dulunya enggan ikut berdarah-darah bersama Permesta, bahkan ikut menentang. Ajaibnya, belakangan Alamsyah yang sudah jenderal dan jadi Menteri Agama di era Orde Baru itu mengatakan sesuatu pada Ventje. “Pak Ventje, perjuangan kita dulu itu adalah Orde Baru yang belum terlembaga, sekarang Orde Baru sudah terlembagakan.”

Sebetulnya nama Ventje Sumual tak hanya melekat dengan Permesta. Namanya juga terkait dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 kota Yogyakarta. Dalam autobiografinya, Sumual mengaku, sore 12 Februari 1949, dia menerima surat dari Letnan Kolonel R. Soedarto. Sumual diminta datang ke Desa Sumaken, Kulon Progo. Di desa itu, Sumual bertemu Letnan Kolonel Soeharto (hlm. 88-90).

Kala itu pangkatnya adalah mayor. Sumual mengaku, dalam pertemuan itu dia bilang ke Soeharto, “Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukan serangan umum, tapi semuanya pada malam hari. Bagaimana kalau kita lakukan siang hari, supaya dapat diberitakan di koran-koran. Berita di koran-koran selama ini hanya menguntungkan Belanda.” Soeharto, menurut pengakuan Sumual, bilang, “Itu baik. Serang pada waktu siang […] Baiklah nanti kita pikirkan cara-caranya. Harinya akan saya tentukan.”

Setelah pertemuan itu, direncanakan serangan pada 1 Maret 1949. Sumual ikut serta, dengan memimpin pasukan dari arah barat. Soeharto menemukan Sumual sedang berada di sisi barat Yogyakarta. “Yang ada di sana waktu itu Mayor Ventje Sumual. Maka saya tunjuk dia menjadi pemimpin di sektor barat dengan tugas menghimpun, mengonsolidasikan semua pasukan bersenjata di daerahnya,” aku Soeharto dalam Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 58). Soeharto tak menyebut nama Sumual soal dari mana ide rencana serangan dalam autobiografinya itu.

“Kami SWK 103A diserahkan menghantam Markas Brigade Harimau, Markas Batalyon 1-15RI di Benteng Vredeburg, Hotel Merdeka yang menjadi sarang para perwira Belanda, dan sebagian pasukan menyerbu pos-pos Belanda yang ada di sepanjang jalan Malioboro,“ aku Sumual. Setelah pasukan di bawah komando Sumual menyerbu daerah itu, pasukan Belanda melarikan diri ke arah Kotabaru.

Selepas Konferensi Meja Bundar, Sumual ditugaskan ke Sulawesi. Sebagai perwira yang dikenal pintar, Sumual akhirnya menjadi orang nomor satu di kalangan TNI di Indonesia timur.

Infografik Mozaik Ventje Sumual

"Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi"

Sumual adalah anak seorang guru bernama Willem Sumual. Ibunya adalah Emma Mogot. Ia lahir pada 11 Juni 1923 di Romboken, Sulawesi Utara. Sumual pernah sekolah pelayaran Jepang di Makassar dan bekerja di kapal. Ia kabur ke Jakarta setelah memukul seorang serdadu Jepang.

Sumual dekat dengan pemuda-pemuda dalam Asrama Indonesia Merdeka. Menjelang Proklamasi, dia bergabung dalam kelompok preman Senen. Dia terlibat pengamanan perumusan teks proklamasi. Di masa Revolusi, dia ikut dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Di laskar itu, dia pernah jadi perwira penghubung, tapi belakangan sebagai perwira penting di satuan TNI mantan KRIS.

Setelah turun gunung di tahun 1961 dan menghentikan gerilya melawan pemerintah Soekarno—yang dalam buku sejarah indonesiasentris disebut "Kembali Ke Pangkuan Ibu Pertiwi"—dia sempat masuk bui. Di dalam penjara, dia bertemu banyak tahanan politik yang menjadi musuh Soekarno. Salah satunya Christian Robert Steven Soumokil yang dipanggilnya Pak Cik. Sumual tahu betapa sedihnya nasib Soumokil yang grasinya ditolak.

Setelah keluar dari penjara, Sumual mengaku diajak Ali Moertopo dalam rangka memperbaiki hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Filipina dan tak pernah kembali ke dunia militer. Ia, yang kawin lagi dengan Hetty Warouw itu, terjun ke dunia usaha.

“Bersama Welly Pesik, Daan Mogot, dan Jan Walandouw, kami bikin perusahaan perkapalan. Namanya Suwal-Pesmo Jaya Lines. Itu singkatan dari nama-nama kami [...] Biasa disingkat S&P Jaya Lines," ujar Sumual.

"Kami akan mengutamakan pengembangan transportasi Indonesia bagian timur, agar pembangunan daerah-daerah di timur dapat mengejar ketertinggalan,” tambahnya.

Pada 1970-an, dia adalah Direktur Utama Kelompok Usaha PT Konsultasi Pembangunan di Jakarta. Sebelum meninggal dunia pada 28 Maret 2010, tepat hari ini 8 tahun lalu, dia aktif di berbagai lembaga seperti Organisasi Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta sebagai Bendahara Umum dan Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (GABSI) Pusat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan