Menuju konten utama

Permenkes Radiologi Rawan Bebani Sistem Kesehatan di Masa Pandemi

Terawan ngebut bikin aturan yang menguntungkan spesialisasinya. Dikritik karena berisiko menambah beban baru pada sistem kesehatan di masa pandemi.

Permenkes Radiologi Rawan Bebani Sistem Kesehatan di Masa Pandemi
Ilustrasi Radiologi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Dok, saya mau kontrol kehamilan, sudah masuk trimester dua nih,” ujar seorang ibu kepada dokter kandungannya.

Wah maaf bu, sekarang USG harus ke radiolog dulu, nanti baru balik lagi ke saya untuk konsultasi.”

Percakapan imajiner tersebut sangat mungkin terjadi akibat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 24/2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik yang terbit pada 21 September 2020. Permenkes baru ini membuat pelayanan radiologi hanya bisa dilakukan oleh dokter spesialis radiologi (radiolog) saja.

Seturut Permenkes No. 24/2020, definisi pelayanan radiologi klinik adalah, “pelayanan medik yang menggunakan semua modalitas yang menggunakan sumber radiasi pengion dan non pengion untuk diagnosis dan/atau terapi dengan panduan imejing.” Ringkasnya, pemeriksaan atau terapi yang menggunakan radiasi untuk melihat bagian dalam tubuh. Instrumen radiologi yang paling banyak dikenal awam adalah ultra sonografi (USG), CT-scan, atau X-ray (rontgen).

Sebelum ini, pelayanan radiologi itu bisa dikerjakan oleh dokter umum atau dokter spesialis lain. Sebagai misal, masyarakat umum lazim menggunakan pelayanan radiologi ketika melakukan kontrol kehamilan bersama dokter kandungan. Contoh lain yang biasa dilakukan di masa pandemi ini adalah rontgen thorax bersama spesialis penyakit dalam (SpPD) untuk melihat keadaan paru-paru pasien.

Dokter umum pun bisa. Di daerah terpencil yang spesialisnya tak ada, diagnosis dari dokter umum sangat penting untuk menyiapkan rujukan terencana,” ungkap Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) Pudjo Hartono dalam diskusi terbatas bersama Tirto dan beberapa media lain pada 7 Oktober 2020.

Namun, kini hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Pasal 11 Permenkes No. 24/2020 menyebutkan bahwa dokter di luar spesialis radiologi hanya dapat melakukan pelayanan radiologi termasuk USG apabila telah mendapatkan sertifikat dari kolegium spesialis radiologi. Setelah mendapatkan sertifikat pun harus disupervisi “oleh dokter spesialis radiologi”. Karenanya, Permenkes ini dikhawatirkan akan mengganggu layanan kesehatan.

Kekhawatiran itu beralasan jika menilik statistik. Pasalnya, jumlah radiolog di Indonesia saat ini hanya sekitar 1.578 orang, sementara jumlah rumah sakit di seluruh Indonesia per 2018 mencapai 2.820. Jadi, jumlah radiolog yang nisbi terbatas itu mustahil bisa menggantikan peran layanan 25.000 dokter spesialis dari 15 bidang medis dan juga dokter umum.

Oleh karena itu, di tengah situasi penanganan pandemi yang masih compang camping seperti sekarang, Permenkes ini justru berpotensi akan menambah beban baru pada sistem kesehatan Indonesia.

Jika pasal itu diterapkan, maka dokter jantung tak lagi bisa memberikan penilaian pembuluh darah jantung bagi pasien penyempitan pembuluh darah. Pun demikian dokter mata juga tidak bisa langsung melakukan diagnosis pada kasus tertentu yang berisiko membuat pasien gawat darurat mata terancam buta.

Dokter anastesi mungkin masih bisa meniadakan USG buat memandu prosedur invasif seperti melakukan blok saraf, memasang selang cuci darah, kateter vena central. Tapi, risikonya terhadap pasien jadi naik berkali-kali lipat.

Ekses lainnya adalah membuat alur pemeriksaan menjadi lebih panjang yang berdampak pasien berisiko tak mendapat diagnosis secara efektif serta tepat waktu. Sudah begitu, ongkos berobat pun jadi lebih berat. Di masa mendatang, bukan tak mungkin angka kesakitan dan kematian pasien—termasuk kematian ibu dan anak—di Indonesia akan meningkat.

Privilese Spesialis Radiologi

Medio Mei-Juni 2020, ketika perhatian semua orang terpusat pada penanganan pagebluk COVID-19, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) mendengar kabar bahwa Kementerian Kesehatan tengah menggodog rancangan Permenkes Radiologi Klinik. Ketika itu MKKI langsung melayangkan protes karena itu tidak mendesak. Lagi pula para dokter sedang berkonsentrasi pada penanganan pandemi.

MKKI lantas melayangkan permohonan penundaan pembahasan rancangan Permenkes itu kepada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Kemenkes pada Juni lalu.

Seiring waktu bergulir, kolegium dokter tak pernah mendapat balasan dan ajakan dengar pendapat mengenai rancangan Permenkes ini. Hingga akhirnya, pada 22 September kemarin, Permenkes No. 24/2020 diterbitkan secara resmi oleh Terawan. Saat itu pula MKKI mendapat undangan sosialisasi. Padahal, peraturan itu belum dibahas secara memadai.

Kita (MKKI) memilih tidak hadir. Undangan sosialisasi itu tidak tepat, seolah Permenkes ini sudah sesuai standar, padahal kami menolak,” kata Ketua MKKI David S. Perdanakusuma kepada Tirto.

PB IDI bersama 34 kolegium dokter spesialis puluhan perhimpunan dokter lantas melayangkan surat penolakan dan meminta Permenkes No. 24/2020 segera dicabut. Surat penolakan itu lantas disampaikan kepada Menkes Terawan pada 5 Oktober 2020. Salah satu poin pertimbangan penolakan itu adalah fakta bahwa Terawan merupakan dokter spesialis radiologi.

Terawan pun diketahui menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) untuk periode 2018-2022. Terawan terpilih dalam Kongres Nasional (KONAS) PDSRI XIII 2018 di Hotel The Stone, Bali, pada 15 Desember 2018. Maka tak heran jika penerbitan Permenkes itu dinilai sebagai upaya memberi privilese kepada sejawat dokter spesialis radiologi.

PB IDI dan kolegium dokter dalam suratnya kepada Menkes menyebut aturan itu, “dapat dipastikan akan menciptakan suasana tidak nyaman dan melemahnya kerja sama antar teman sejawat profesi dokter yang selama ini telah berjalan dengan baik yang pada akhirnya akan mengganggu kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas."

Pendapat senada juga diutarakan David yang ikut menandatanganinya. "Terbitnya Permenkes ini memang berpotensi gesekan antar-sejawat dokter. Padahal dalam situasi pandemi harus saling support. Karena kita tidak tahu pandemi ini sampai kapan, seluruh komunitas kesehatan harus saling support, termasuk support penuh pemerintah dan masyarakat," ujar David.

Terlepas dari surat para dokter itu, Permenkes Radiologi Klinik juga rawan dimuati kepentingan pribadi Terawan. Pasal 10 Permenkes ini menyebut adanya tambahan modalitas alat radiologi di klinik utama yaitu alat radiologi Digital Subtraction Angiography (DSA), gama kamera, dan modalitas energi pengion dan nonpengion untuk diagnosis dan terapi.

Selama ini, DSA digunakan untuk mendeteksi pembuluh darah yang tersumbat lewat penyemprotan cairan kontras. Yang boleh menggunakan alat ini adalah neurolog, bukan radiolog. Itu pun hanya sebagai alat diagnosis, bukan terapi.

Sebagai pengingat, Terawan pernah menggunakan alat dan teknik DSA ini untuk terapi “cuci otak”-nya yang kontroversial. Terawan mendakunya sebagai metode Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF). Padahal, metode IAHF miliknya sama saja seperti teknik DSA.

Infografik Permenkes Radiologi

Infografik Permenkes Radiologi. tirto.id/Quita

Radiolog dan Kompetensinya

Permenkes Radiologi Klinik mensyaratkan penyesuaian aturan paling lambat dua tahun sejak diundangkan. Jadi, fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memiliki dokter spesialis radiologi harus menyesuaikan diri. Para dokternya diminta ikut sertifikasi dari kolegium radiologi agar bisa menggunakan alat radiologi.

Tapi, seturut penjelasan David, bidang radiologi klinik belum memiliki kolegium, meski ada cabang keilmuan radiologi. Suatu cabang keilmuan harus melewati mekanisme forum untuk bisa disahkan dan dibentuk kolegiumnya. Jadi, seharusnya tidak cukup sekadar melalui pembahasan selama tiga bulan dan penetapan melalui Permenkes.

Standar pendidikan itu dibuat kolegium, kemudian keluar standar kompetensi ke konsil, baru disahkan lembaga negara,” papar David.

Aturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik kedokteran telah menjamin kompetensi penggunaan alat radiologi oleh spesialis maupun dokter umum. Tiap-tiap pendidikan spesialis mempelajari detail penggunaan alat radiologi pada bidang keilmuannya.

Ilmu kedokteran berawal dari satu kesatuan. Irisan yang terjadi 30:70 persen, misal pendidikan obgyn (kandungan) 30 persennya beririsan dengan radiologi,” jelas David.

Masalahnya, radiolog belum tentu menguasai irisan semua spesialisasi dalam penegakan diagnosis. Jika dipaksakan berjalan maka setidaknya 8.935 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) akan terdampak akibat perubahan standar pendidikan kedokteran saat ini.

Pendidikan radiologi harus memasukkan pelayanan klinik yang meliputi diagnosis dan terapi pada semua disiplin ilmu kedokteran. Itu pun dengan catatan bahwa kompetensi setiap bidang ditentukan oleh masing-masing kolegium dan KKI, bukan oleh peraturan menteri.

Baca juga artikel terkait RADIOLOGI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi