Menuju konten utama

Permainan Broker dan Harga Tanah Selangit di Dekat Bandara NYIA

Tanah di bandara dan sekitarnya sudah jadi incaran para broker dan spekulan sejak lama. Warga terdampak lebih banyak jadi penonton.

Permainan Broker dan Harga Tanah Selangit di Dekat Bandara NYIA
Petugas gabungan melakukan pengamanan saat proses land clearing atau pembersihan lahan lokasi pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Yogyakarta, Kamis (28/6/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Sri Ambar Purwanti, pensiunan pegawai SMP 1 Temon, mendadak jadi sorotan media pada pengujung 2016. Ia menjadi miliarder setelah tanahnya mendapatkan ganti rugi dari Angkasa Pura I untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Totalnya Rp170 miliar.

Ambar adalah warga asli Temon, Kulon Progo. Rumahnya berdiri di tepi jalan raya Wates-Purworejo KM 40, sekitar 1 km dari proyek Bandara NYIA. Sejak kabar ia menerima ganti rugi miliaran itu, banyak orang datang kepada dia untuk menjual tanah. Jika menarik dan harganya cocok, Ambar akan membelinya.

Bisnis jual beli tanah tersebut sebenarnya sudah dilakoni Ambar jauh sebelum ada rencana proyek Bandara NYIA. Orang-orang di Temon mengenalnya sebagai "juragan tanah" sebab tanahnya ada di mana-mana. Warga kerap menyarankan orang yang ingin membeli atau menjual tanah di Temon untuk menemui Ambar.

Cerita Ambar bisa mendapatkan ganti rugi sebesar itu dimulai dari tahun 2001. Satu ketika kawannya yang bekerja di Angkasa Pura menyarankan Ambar membeli tanah di Palihan, Temon. "Katanya mau dibangun bandara, tapi saya enggak percaya," kata Ambar kepada Tirto pada 20 Agustus 2018.

Ambar baru yakin ada proyek bandara baru setelah kebanjiran pesanan pembeli tanah di daerah Palihan. Saat itu ada "beberapa orang dari Jakarta" mendatangi rumahnya dengan maksud membeli tanah di Palihan.

Pada 2001, ia pun membeli dua bidang tanah, masing-masing seluas 1.800 meter persegi, dengan harga saat itu Rp8.000 per meter persegi.

Saat kabar pembangunan bandara di Palihan mulai kencang, Ambar kembali membeli sejumlah tanah di Palihan dari mantan Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo. Luasnya sekitar 6 hektare. Tanah itu dibeli secara bertahap dari 2011 sampai 2013, dengan harga Rp180 ribu sampai Rp200 ribu.

"Itu sudah mahal," katanya.

Orang-Orang Jakarta

Selain membeli tanah untuk sendiri, Ambar menerima sejumlah pembelian tanah dari kenalannya dari Jakarta. Mereka membeli tanah melalui Ambar dan tak cuma memakai nama Ambar pada sertifikat tanah, tapi juga nama anaknya.

Dari permainan jual beli tanah inilah uang Rp170 miliar tak seluruhnya milik Ambar. Ia membaginya dengan pemilik tanah sebenarnya, sesuai luasan tanah dan ganti rugi yang diberikan oleh Angkasa Pura I, BUMN yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menjalankan proyek Bandara NYIA.

Ambar berkata "lupa" soal rincian luasan lahan dan berapa hektare yang dibeli oleh "orang-orang Jakarta" atas namanya. Namun, ia masih mengingat untuk sejumlah pembeli. Misalnya, kenalannya dari Jakarta yang bernama Andi Irawan mendapatkan ganti rugi Rp37 miliar, Hartanto Rp78 miliar, dan Ibu Totok Rp12 miliar.

"Kalau ibu Totok itu belinya sama seperti anak saya, belinya Rp900 ribu, terima ganti ruginya Rp12 miliar," kata perempuan berusia 65 tahun ini.

Semua uang ganti rugi tanah atas namanya itu kini sudah diberikan kepada pemilik sebenarnya.

Ekspansi orang-orang membeli tanah di Kulon Progo ini dibenarkan oleh Hasib Aqil, broker tanah di perusahaan Property Today. Sejak kabar pembangunan Bandara NYIA, "banyak orang dari Kulon Progo" mencari tanah di sana untuk "investasi."

"Banyak sekali ... Dalam beberapa tahun ke depan, harganya pasti sudah naik pesat," kata Hasib kepada Tirto pada 14 Agustus 2018.

Infografik HL Indepth Kulon Progo

Harga Tanah Menggila

Kenaikan harga tanah di sekitar Bandara Kulon Progo kini sudah menggila. Radius 5 kilometer dari Bandara, harga tanah sudah berkisar dari Rp800 ribu sampai Rp2 juta per meter persegi. Harga Rp800 ribu untuk tanah di perkampungan, sedangkan harga Rp2 juta terletak lahan-lahan dekat Jalan Wates. Harga semakin mahal bila lokasi semakin dekat dengan Kota Wates, ibu kota Kabupaten Kulon Progo.

Dan harga tanah itu sudah tidak sanggup lagi dijangkau oleh para petani yang menjadi korban gusuran bandara baru Yogyakarta.

Waluyo, misalnya, warga gusuran yang kini tinggal di kompleks relokasi Janten, berkata tidak lagi berharap bisa membeli tanah atau sawah sebagai pengganti tanahnya di sekitar bandara.

"Harganya sudah enggak masuk akal. Kalau mau beli sawah lagi ada yang masih murah, tapi jauh dari sini. Ini juga repot kalau sawah sama rumah jauh," kata Waluyo.

Sementara untuk radius antara 5 km sampai 10 km dari bandara, harga "tanah mentah" sudah sekitar Rp350 ribu sampai Rp500 ribu per meter persegi. "Tanah mentah" adalah istilah untuk lahan yang masih semak belukar dengan kontur tanah bergeombang. Biasanya "tanah mentah" harus dibersihkan dan diratakan, sebelum dijual lagi oleh para broker atau developer perumahan.

Hasib Aqil, broker tanah di Kulon Progo, mengatakan harga tanah yang naik itu pula yang membuat banyak orang kini tertarik untuk menjual tanah. Ia misalnya hampir setiap hari mendapatkan tawaran dari warga untuk membeli tanah.

"Tanggal 8 Agustus, aku beli tanah radius 8 km dari bandara, harganya Rp350 ribu. Luasnya sekitar dari 2.000 meter persegi. Langsung aku DP," kata Hasib sembari menunjukkan kuitansi pembayaran DP tanah.

Tanah itu nantinya akan dikaveling dan dipecah oleh Hasib. Dalam satu bidang tanah, biasanya dipecah dengan luasan 90 meter persegi hingga 120 meter persegi. Untuk lokasi perumahan, 30 persen luas tanah digunakan untuk fasilitas umum seperti masjid, jalan, dan selokan. Rata-rata Hasib menjual kembali tanah-tanah yang dipegangnya dengan harga Rp800 ribu per meter persegi.

"Sekarang ada beberapa hektare di Kulon Progo. Saya ini mungkin satu-satu yang berani main di sana, broker lain enggak berani, karena risikonya besar," katanya.

"Tapi saya yakin, 4 sampai 5 tahun dari sekarang, Kulon Progo bakal jadi tempat perumahan karena orang sudah tidak sanggup lagi beli tanah di Kota Yogya dan Sleman. Bantul sudah mentok. Gunungkidul kejauhan," terang Hasib menyebut perkara pola pembangunan di Yogyakarta yang semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir bahwa tren perumahan semakin menyisih ke pinggiran kota.

Kemana Warga Kulon Progo?

Kenaikan harga tanah di Kulon Progo tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan warga. Pada 2018 saja, upah minimum regional kabupaten ini hanya Rp1,4 juta. Dengan pendapatan UMR itu, sangat sulit untuk membeli tanah kaveling yang harganya sudah berkisar Rp800 ribu per meter persegi.

Ini yang membikin warga khawatir. Sulistyo, pemuda Temon berumur 23 tahun yang bekerja sebagai penambal ban, sudah mengetahui harga tanah makin mahal. Dengan penghasilannya yang kurang dari UMR, ia sama sekali tidak bermimpi untuk bisa membeli tanah di sekitar bandara.

"Kalau yang beli itu paling yang mau bikin usaha. Ruko-ruko. Kalau saya ya enggak mungkin beli tanahlah. Kalau mau punya rumah, [seorang] laki-laki harus cari. Malu juga kalau hanya minta warisan orangtua," katanya.

Ini juga yang membuat Agus Suyanto, warga yang tinggal di lahan relokasi Janten, gondok atas pembangunan bandara. Ia mendengar banyak janji manis dari Angkasa Pura I soal dampak pembangunan bandara yang akan berpengaruh positif pada ekonomi warga. Namun, nyatanya, belum dibangun saja, harga tanah sudah selangit.

"Kalau kami mau usaha, beli tanah di pinggir jalan saja sudah enggak bisa. Lha duitnya siapa? Tetaplah orang yang punya duit yang bisa (beli tanah)," ujar Agus.

Baca juga artikel terkait BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam