Menuju konten utama

Perlunya Revisi UU TNI untuk Pengawasan Supremasi Militer

Menurut peneliti LIPI perlu adanya kejelasan pada Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI agar supremasi militer agar tidak turut campur supremasi sipil.

Perlunya Revisi UU TNI untuk Pengawasan Supremasi Militer
Pasukan TNI jajaran Kodam Iskandar Muda melakukan geladi bersih parade dan defile di Lhokseumawe, Aceh, Rabu (4/10/2017). ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - Peneliti senior P2P-LIPI, Sri Yanuarti menilai bahwa perlu adanya kejelasan pada Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI agar supremasi militer agar tidak turut campur supremasi sipil. Menurutnya, selama ini supremasi sipil masih tidak berhasil seluruhnya karena seringkali militer memasuki ranah sipil.

Ihwal ini dikatakan oleh wanita yang kerap disapa Yanur ini di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Yanur menuturkan bahwa perlu ada kejelasan pada beberapa pasal dalam UU TNI 34/2004, yakni soal ‘kepentingan negara’ atau ‘kepentingan nasional’ yang tertuang dalam pasal tersebut.

Dalam pasal 2 huruf (c) misalnya tentang jati diri TNI dituliskan bahwa TNI bertugas demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. Dalam pasal 20 ayat (1), hal ini diperjelas kembali dengan menyebutkan bahwa penggunaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dilakukan untuk kepentingan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Yanur berpendapat bahwa ketidakjelasan ‘kepentingan negara/nasional’ tersebut bisa memberi celah bagi usaha OMSP militer untuk memasuki ranah sipil. “Apa yang disebut ancaman itu harus di-declare secara jelas, threat negara, keamanan negara, kepentingan nasional harus di-declare secara jelas, secara rigid, jadi tidak ada interpretasi,” tegas Yanur hari ini, Jumat (6/10/2017).

Menurut Yanur, apabila memang kepentingan nasional diartikan sebagai ‘tindakan yang sudah mengganggu kedaulatan negara’ maka tentu tidak masalah.

Sayangnya, hingga saat ini, hal itu belum jelas, sehingga TNI bisa saja memasuki ranah supremasi sipil – misalnya ikut dalam tindak pidana pencegahan terorisme, tanpa melalui koordinasi dengan Polri. Padahal seharusnya penggunaan tentara bisa dilakukan atas perintah Presiden, dan koordinasi dengan Polri agar menghindari konflik di lapangan.

“Apakah ini terjadi? Saya belum riset, tapi saya rasa tidak,” katanya lagi.

Sedangkan peneliti P2P-LIPI lainnya, Diandra Megaputri Mengko mengamini penilaian dari Yanur. Menurutnya, keterangan mengenai pasal 2 soal kepentingan nasional tidak pernah terdefinisi dengan baik. “Semua bisa menjadi ancaman, semua bisa jadi tidak ancaman,” katanya.

Lebih jauh, ia menilai bahwa sebenarnya keterlibatan TNI bisa dipahami secara lebih mudah dalam supremasi sipil. Apabila memang TNI tidak diperintahkan melalui supremasi sipil, yakni Presiden Joko Widodo, seharusnya TNI tidak perlu mengambil langkah untuk masuk dalam ranah sipil ataupun OMSP. Dalam RUU Tindak Pidana Terorisme yang sedang dikaji di DPR tentang perlunya keterlibatan TNI dalam tindak pidana terorisme contohnya, seharusnya TNI tidak perlu dipertimbangkan lagi.

“Sebenarnya tanpa adanya revisi Undang-undang (Tindak Pidana Terorisme) itu pun TNI sudah bisa terlibat, yaitu dengan keputusan politik negara. Kenapa makanya TNI merasa khawatir dan perlu legitimasi ulang? Seolah-olah TNI ingin terlibat secara konstan,” katanya bingung. “Kesannya seperti itu, bisa juga tidak.”

Baca juga artikel terkait SUPREMASI SIPIL atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri