Menuju konten utama

Perlukah YouTube dan Media Digital Lain Diawasi?

Hingga saat ini media digital baru memiliki laba tinggi, namun masih banyak yang tidak membayar pajak dan tidak diawasi seperti media konvensional.

Perlukah YouTube dan Media Digital Lain Diawasi?
Ilustrasi Youtube. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Barangkali dulu tak ada orang yang berpikir menjadikan YouTube sebagai lahan pencaharian mereka. Namun sekarang, profesi sebagai YouTuber mampu menggeser cita-cita 'usang' seperti pilot, polisi, bahkan dokter di kalangan milenial. Terkenal dan banyak uang, begitulah kira-kira citra yang terwujud dari YouTuber sebagai profesi.

Statistik yang ditunjukkan oleh laman We Are Social menyebut dalam setiap hari rata-rata terdapat satu juta pengguna internet baru. Jumlah tersebut setara dengan 11 pengguna baru setiap detik. Pada Januari 2019 ini, jumlah pengguna internet naik 9 persen, atau 366 juta orang dibanding Januari 2018. Sementara pengguna media sosial di dunia saat ini juga meningkat 9 persen, sebanyak 288 juta sejak 2018.

"Pengguna internet dunia rata-rata menghabiskan waktu online sebanyak 6 jam dan 42 menit setiap hari," tulis laporan tersebut.

Google masih mendominasi peringkat situs yang paling banyak dikunjungi di dunia, urutan selanjutnya diisi oleh YouTube, dan Facebook menempati posisi ketiga. Dari total waktu berselancar di dunia maya, pengguna internet dunia menghabiskan waktu sekitar 2 jam 16 menit untuk berinteraksi di media sosial. Khusus untuk penetrasi video daring, setiap bulan ditonton oleh 92 persen pengguna internet dunia.

Peluang inilah yang kemudian dilihat oleh sebagian orang sebagai potensi pendapatan yang belum banyak dimanfaatkan. Banyak orangbahkan selebritaskemudian membuat kanal YouTube pribadi sebagai proyek sampingan. Apa yang membuat orang berbondong-bondong beralih menjadi YouTuber?

"The money is there, bro. Gue lebih sudut pandang bisnisnya," ungkap Boy William, selebritas sekaligus YouTuber, saat ditanya dalam program Instagram TV milik Ernest Prakasa soal alasannya pindah ke YouTube.

Albertus Magnus Prestianta, Dosen Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, membuat kajian soal potensi pendapatan YouTuber. Ia menelusuri sebanyak 250 YouTuber dengan pengikut terbanyak di Indonesia, kemudian membuat estimasi pendapatan bulanan mereka. Data-data tersebut ia kumpulkan dengan bantuan NoxInfluencer, sebuah aplikasi yang menganalisis peringkat saluran YouTube.

Lima kreator teratas dipegang oleh saluran Atta Halilintar dengan 18 juta pengikut, Ricil Official 16 juta pengikut, GEN HALILINTAR 11,4 juta pengikut, Calon Sarjana 11 juta pengikut, dan Rans Entertaiment dengan 9,2 juta pengikut. Dengan jumlah pengikut YouTube terbanyak di Asia, dalam sebulan Atta dapat memperoleh potensi pendapatan dari YouTube sebanyak USD213 ribu atau setara Rp2,9 miliar.

"Pendapatan ini baru yang berasal dari estimasi pembayaran iklan [YouTube Adsense]. Masih ada potensi lain saat YouTuber menjadi bintang iklan," ungkap Albert kepada Tirto.

Pengawasan Media Digital

Dari sekian banyak video yang berhasil dibikin Atta, salah satu konten yang paling sering dilihat dan telah ditilik oleh 15 juta penonton adalah 'Prank Gembel Lamborghini.' Di video tersebut, Atta dengan dandanan 'gembel' membungkus Lamborghini milik temannya dengan plastik bening. Tak ada materi yang jelas dalam video tersebut, tentang, misalnya, mengapa ia harus berdandan ala gembel hanya untuk membungkus mobil.

Setelah temannya marah karena mendapati mobil terbungkus plastik, Atta juga tak melakukan aksi lain. Ia langsung keluar dari persembunyian dan meminta maaf karena telah melakukan prank (aksi menjahili orang lain), sesederhana itu. Namun dalam analisis Albert, setidaknya ada dua daya tarik dalam video tersebut: bombastis dan memiliki kedekatan.

Materi soal gembel dan Lamborghini yang dibawakan Atta sangat bertolak belakang, dan akhirnya membikin penonton penasaran. Kedua, sebelum konten YouTube Indonesia dibanjiri materi soal prank, YouTuber dari luar negeri sudah lebih dulu mengawalinya. Tapi, ketika konten serupa dilakukan di Indonesia, maka penonton memiliki unsur kedekatan, dibanding menikmati sajian serupa dari YouTuber luar.

Mirisnya, potensi ladang penghasilan YouTube yang menjanjikan akhirnya memanen konten-konten yang dianggap kurang atau malah tidak berfaedah. Awalnya, konten video YouTube jamak membahas kuliner, jalan-jalan, prakarya tangan, atau paling banter, melakukan prank. Tapi kini jenis konten di YouTube berkembang semakin luas. Ada yang terkenal karena bermain gim, mengulas produk kecantikan, hingga menggunjingkan orang lain.

Para kreator YouTube bersaing menampilkan materi berbeda hingga akhirnya mengesampingkan kontrol kualitas. Rey Utami dan suaminya, Pablo Benua misalnya, pernah menampilkan obrolan yang mengandung unsur pornografi dalam konten YouTube 'Mulut Sampah' pada bulan Juli 2019.

Setelahnya, di akhir bulan yang sama, Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo) memblokir beberapa video Kimi Hime karena dianggap vulgar. Kimi adalah YouTuber gaming yang kerap tampil dengan pakaian terbuka. Lalu baru-baru ini lembaga tersebut juga menyurati pihak YouTube Indonesia terkait lagu 'Bodo Amat' milik Young Lex, Kamis, 8 Agustus 2019.

Infografik kualitas Konten Media Digital

Infografik kualitas Konten Media Digital. tirto.id/Nadya

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)yang selama ini hanya memiliki kewenangan pengawasan penyiaran konvensional seperti televisi dan radiopun menyadari kondisi tersebut. Lewat pemimpinan barunya, Ketua KPI periode 2019-2022 Agung Suprio, hendak mengusulkan perluasan pengawasan ke konten media baru seperti Youtube, Netflix, Google TV, Facebook, Podcast, dan lainnyaseperti yang terlontar dalam pidato pelantikan yang kemudian dielaborasi oleh Tirto.

"Selama ini banyak tuntutan ke kami terhadap konten media baru karena terlalu vulgar, tidak sesuai karakter bangsa atau pancasila," ujar Agung saat diwawancarai Tirto.

Apalagi, Agung melanjutkan, pola penonton di media baru banyak dikonsumsi oleh generasi milenial hingga generasi Z. Ada dua cara yang akan ia tempuh untuk mengusahakan perluasan pengawasan. Pertama, menunggu revisi UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan kedua, melihat peluang payung hukum pengawasan dalam UU tersebut.

"Ini akan kita kaji aspek legalnya dengan praktisi hukum, bisakah digunakan untuk menjangkau penyiaran media baru," katanya. Sejauh ini, ia mengatakan telah berkoordinasi singkat dengan Komisi I DPR RI sewaktu acara pengukuhannya untuk membahas legalitas pengawasan media baru dalam revisi UU Penyiaran.

Bentuk pengawasan yang akan dijalankan KPI nantinya tidak akan jauh berbeda dengan lembaga penyiaran berlangganan (Pay TV). Mereka juga tetap berpegang pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Intinya pola pengawasan yang diterapkan akan serupa pola pengawasan di televisi dan radio.

Media-media baru yang akan diawasi KPI ini nantinya diminta membuat kantor perwakilan di Indonesia. Tujuannya, agar mudah melakukan pengawasan dan komunikasi dengan KPI, serta membayar pajak negara, seperti lembaga penyiaran konvensional.

Alasan terakhir adalah agar tidak ada kecemburuan antara media konvensional dan media baru, karena selama ini media baru memiliki laba besar, namun tidak membayar pajak dan tidak mendapat pengawasan seperti media konvensional.

Sementara itu, Sekretaris Jendral Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Henny Rusmiati justru lebih menekankan perlindungan konten media dilakukan oleh orang tua ketimbang lembaga tertentu seperti KPI. Meski sudah diberi pengawasan khusus dari lembaga tertentu, jika pengawasan dari orang tua tidak maksimal akan selalu ada celah bagi anak untuk melihat konten yang kendati mereka sukai, namun tidak sesuai dengan usia mereka.

"Jangan memberi celah bermain gadget sebagai kebutuhan. Banyak orang tua yang anak rewel sedikit kasih YouTube,” kata Henny.

Penting bagi orang tua memberi batasan 'screen time' kepada anak, apalagi bagi mereka yang masih berada di bangku sekolah dasar. Saat anak mengonsumsi sajian konten media, orang tua juga harus mendampingi, dan menjadi filter pertama terhadap konten mana yang layak ditonton. Yang terpenting, orang tua mampu berkomunikasi dengan baik, sehingga anak bisa terbuka untuk berdiskusi soal tontonan mereka.

"Apalagi anak remaja, sudah sangat sulit kita mengawasi setiap saat. Kuncinya beri kepercayaan dan tanamkan moralitas sejak kecil, maka dia akan bisa menyaring sendiri konten negatif dari media," ujar Henny.

Orang tua juga harus memperbarui ilmu mereka agar bisa mengimbangi pola pikir anak dan kemajuan teknologi. Perbanyak membaca buku soal pengasuhan anak dan remaja, jika perlu ikuti seminar-seminar pendidikan. Sebisa mungkin jalin komunikasi dengan guru dan psikolog di sekolah untuk mengetahui perkembangan anak di sekolah.

Terakhir, lanjut Rusmiati, teknik-teknik pembatasan konten media, seperti misalnya menerapkan YouTube Kids untuk anak. Dengan begitu, pengawasan konten media kepada anak akan lebih maksimal, ketimbang menunggu filter-filter dari lembaga tertentu yang belum pasti efektif ketika diterapkan.

Baca juga artikel terkait KPI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara