Menuju konten utama

Perlukah Pajak Korban Bencana di Sulawesi Tengah Diputihkan?

Komisi XI DPR menyarankan pemerintah agar warga korban bencana alam yang rumahnya hancur tidak diberi penundaan bayar pajak, tapi juga dibebaskan dari kewajiban bayar pajak.

Perlukah Pajak Korban Bencana di Sulawesi Tengah Diputihkan?
Sebuah kursi berada diantara bangunan yang ambruk dampak gempa dan tsunami di kawasan Pantai Taipa, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/18

tirto.id - Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), khususnya wilayah Palu dan Donggala dihantam tsunami dan gempa bumi, Jumat (28/9/2018). Aktivitas perekonomian menjadi lumpuh. Untuk memperingan para korban, pemerintah berencana memberikan kelonggaran pembayaran pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menjelaskan, pihaknya berencana tidak akan memberikan sanksi bagi warga korban bencana di Sulteng yang menunggak pajak. Pelonggaran pembayaran itu berlaku hanya untuk tiga bulan waktu penunggakan.

Estimasi waktu tiga bulan tanpa denda itu karena diperkirakan, pada bulan keempat kondisi perekonomian di Sulteng telah pulih. "Tapi sebenarnya ini masih lagi didiskusikan," kata Hestu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (2/10/2018).

Kebijakan pelonggaran pembayaran pajak tersebut, bukan pertama kalinya dikeluarkan pemerintah. Sebelumnya menurut Hestu, kelonggaran pajak diberikan kepada korban gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

"Saya kira mau sama seperti Lombok kemarin. Tapi sedang dipersiapkan," tuturnya.

Bencana alam mengakibatkan ribuan rumah di Sulteng luluh lantak. Sebagian besar pertokoan masih belum bisa beraktivitas seperti semula. Belum lagi sebagian besar pengungsi menganggap pembagian bantuan logistik belum merata.

Dalam kondisi tersebut, kata Hestu, penarikan pajak akan sulit dilakukan.

"Jadi kebijakan ini agar mereka tidak memikirkan [pajak] itu. Kami beri kelonggaran dua hingga tiga bulan. Sehingga dirasa dua tiga bulan itu mereka kondisinya sudah lebih baik," tuturnya.

Hestu menjelaskan penarikan pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), merupakan kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda). Jika nantinya kebijakan pelonggaran penarikan pajak diterbitkan oleh pusat, Pemda harus segera menyelarkan diri dan melaksanakannya.

"Itu kan ada PBB, pajak hotel, restoran, gitu-gitu kan terkait dengan daerah. Saya kira daerah perlu mengintegrasikan ini. Lebih bagus lagi kalau di pusat ini menjadi momentum untuk menerbitkan semacam PP terkait dengan perlakuan pajak yang berhubungan bencana alam," terangnya.

Peluang Bebaskan Pajak Korban Bencana Alam

Anggota Komisi XI DPR RI Johnny G. Plate mendukung rencana pemerintah untuk melonggarkan penarikan pajak bagi korban bencana di Sulteng. Dia bahkan menyarankan warga yang rumah dan usahanya hancur karena bencana, tidak perlu dibebankan pajak alias diputihkan.

"Bayar pajak itu kan orang punya kemampuan lebih. Kalau orang hancur-hancuran gini kok disuruh bayar pajak, orang dia rugi kok ini," ujar Johnny kepada reporter Tirto.

Karena itu lah, kata Johhny, persoalan itu nantinya harus dipikirkan lebih jauh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Kalau aturan pajak ya ikut aturan pajak. kalau orang lagi rugi enggak boleh bayar pajak. Tapi jangan diasumsikan mereka semuanya harus ditanggapi (pajaknya) sekarang. jangan. Sekarang yang penting tanggap darurat," imbuhnya

Politikus Partai Nasdem tersebut mengingatkan, perekonomian warga belum tentu pulih setelah tenggang tiga bulan tanpa denda pajak. Jika dalam rentang tiga bulan banyak warga yang masih susah membayar pajak, menurut Johhny kebijakan itu, “Harus diperpanjang lagi," ujarnya.

Meski ada keringanan tak membayar denda, dia berharap kebijakan itu menyasar ke orang yang tepat. Menurutnya jangan sampai ada warga yang berpura-pura sebagai korban hanya untuk mendapatkan keringanan itu. Begitu juga sebaliknya, mereka yang terbukti sebagai korban jangan sampai tak mendapatkan efek positif dari kebijakan itu.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo sependapat dengan Johhny. Menurutnya kebijakan itu harus dirumuskan secara kompeherensif. Menurutnya tenggat waktu kelonggaran pembayaran pajak harus dipertimbangkan ulang.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana