Menuju konten utama

Perlukah Aksi Massa untuk Kawal Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2019?

Kepolisian melarang aksi massa di depan Gedung MK hingga pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019 dengan alasan keamanan.

Perlukah Aksi Massa untuk Kawal Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2019?
Petugas kepolisian berada di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Selebaran ajakan kegiatan Halal Bihalal Akbar 212 yang rencananya digelar di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, beredar di media sosial. Dalam selebaran itu tertulis kegiatan terdiri dari berzikir, berdoa, serta bersalawat, dan bakal dilaksanakan mulai 24 Juni hingga pembacaan putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2019, Kamis, 27 Juni mendatang.

Juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212, Novel Bamukmin mengklaim aksi ini bukan untuk kepentingan politik, melainkan untuk membela agama dalam rangka menegakkan keadilan.

"Seruan bela agama menegakkan keadilan. Tidak terkait urusan politik praktis," kata Novel kepada reporter Tirto, Senin (24/6/2019).

Menurut Novel aksi ini bukan bentuk dukungan kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebagai pemohon dalam sengketa hasil Pilpres 2019 di MK. Novel mengingatkan tokoh politik atau petinggi partai politik untuk tak hadir mengikuti kegiatan tersebut, dan meminta peserta aksi tidak menggunakan atribut partai serta atribut pendukung Prabowo-Sandiaga.

"Yang hadir harus lepaskan urusan partainya dan saya hadir bukan atas nama BPN [Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga] tapi atas nama PA 212," ujarnya.

Novel mengatakan aksi ini merupakan lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya, yakni Aksi Bela Islam 212, 411 dan aksi-aksi lainnya. Ia pun menjamin aksi kali ini berlangsung tertib dan damai. "Kami bela agama untuk tegaknya keadilan sampai keadilan tegas dan kezaliman bisa sirna dari negara ini," tutur Novel.

Dianggap Tidak Ada Kerjaan

Peneliti senior dari LIPI, Syamsuddin Haris menilai tak perlu ada aksi massa menjelang putusan sengketa Pilpres 2019, apapun tema aksinya. Menurut dia, orang-orang yang menggelar aksi ini adalah orang-orang yang enggak ada kerjaan.

"Saya kira orang-orang enggak ada kerjaan saja, enggak usah diurusin. Mengaku boleh saja bela agama, tapi agama siapa? Islam yang mana? Pertanyaannya, kan, itu," kata Syamsuddin kepada reporter Tirto, Senin (24/6/2019).

Paslon Prabowo-Sandiaga pun, kata dia, sudah mengimbau pendukungnya tak berbondong-bondong ke MK dengan alasan keamanan. Ia mengatakan seluruh unsur masyarakat harus percaya kepada hakim konstitusi, apalagi sejak awal, Ketua MK Anwar Usman memastikan seluruh hakim konstitusi netral, independen dan tak bisa diintervensi siapapun.

"Kalau enggak percaya KPU, enggak percaya MK, ya, bikin pemilu sendiri, bikin KPU sendiri, bikin MK sendiri, umumkan kemenangan sendiri," pungkasnya.

Imbauan Tak Berbondong-bondong ke MK

Menanggapi rencana kegiatan Halal Bihalal Akbar 212, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), Dahnil Anzar Simanjuntak mengimbau pendukung Prabowo-Sandiaga tak berbondong-bondong ke MK. Meski begitu, ia tak bisa melarang jika ada kelompok masyarakat yang tetap menggelar aksi di depan Gedung MK.

"Kalau ada mobilisasi massa itu di luar instruksi kami. Tapi kami tak punya kuasa melarang hak konstitusi warga," kata Dahnil di Media Center Prabowo-Sandiaga, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Dahnil mengklaim Prabowo-Sandiaga telah meminta pendukungnya untuk menerima dan menghormati apapun putusan MK terkait sengketa hasil Pilpres 2019.

"Seperti kata Pak Prabowo, apapun hasilnya kami menghormati keputusan konstitusional, masyarakat sudah tahu mana yang legitimate, mana yang tidak legitimate," jelas Dahnil.

Sementara itu, kepolisian juga melarang aksi massa di depan Gedung MK hingga pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019. Ini disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono saat merespons pertanyaan soal kegiatan Halal Bihalal Aksi 212.

"Bahwa aksi di jalan protokol depan kantor MK oleh pihak mana pun dilarang,” kata Argo, Ahad (23/6/2019).

Larangan itu diterapkan dengan tujuan menghindari aksi kerusuhan seperti pada 21-22 Mei di depan Gedung Bawaslu RI. Menurut Argo, kerusuhan tersebut juga berawal dari aksi penyampaian pendapat yang berlangsung damai.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Gilang Ramadhan