Menuju konten utama

Perlakuan Rasis Korporasi Cina di Kenya Coreng Wajah Beijing

Sejumlah karyawan Kenya di proyek infrastruktur Cina mengeluhkan rasisme dan perlakuan diskriminatif. Diprotes warganet di Cina daratan.

Perlakuan Rasis Korporasi Cina di Kenya Coreng Wajah Beijing
Pekerja Cina di antara pekerja kulit hitam. AP Photo/Rebecca Blackwell

tirto.id - Richard Ochieng, 26 tahun, barangkali tak pernah mengira bahwa ia bakal mendapat perlakuan rasis di negara dan tanah kelahirannya sendiri, Kenya. Ochieng bekerja di sebuah perusahaan kendaraan bermotor asal Cina di daerah Ruiru, pinggiran ibukota Nairobi, Kenya.

Satu hari, dalam sebuah perjalanan kunjungan bisnis, Ochieng dan bos barunya berusia sebaya dengannya itu melihat kawanan babon di pinggir jalan. Spontan bosnya itu menyeletuk, "Saudara-saudaramu" sambil mendesak Ochieng untuk membagikan pisang dengan kawanan primata tersebut.

Tak cuma sekali bos Ochieng melontarkan pernyataan berbau rasis.

Dilansir dari New York Times, Ochieng yang marah dan merasa dipermalukan memutuskan untuk merekam video ketika bosnya beraksi mengeluarkan kata-kata rasis. Sang bos menyebut bahwa Ochieng "seperti manusia kera" dan semua orang Kenya "seperti kawanan kera", termasuk Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta.

"Saya tak suka di sini, seperti monyet, saya tak suka berbicara dengan mereka, baunya busuk, miskin, dan bodoh, dan hitam. Saya tak suka mereka. Mengapa (kalian) tak seperti orang kulit putih, seperti orang Amerika?" racau sang bos yang belakangan diketahui bernama Liu Jiaqi.

Video itu langsung viral di kalangan warganet Kenya pada awal September. Beberapa jam setelah video tersebut viral, Liu ditangkap. Dilansir dari media lokal Daily Nation pihak imigrasi Kenya langsung mendeportasi Liu dan mencabut izin kerjanya atas dasar tindakan rasis. Beberapa warga Kenya mendesak agar Liu dituntut secara hukum dibanding langsung dideportasi.

Kedutaan Besar Cina untuk Kenya angkat bicara, mengeluarkan pernyataan resmi yang isinya mengutuk tindakan rasis yang dilakukan oleh warganya sambil mengatakan bahwa apa yang dilakukan Liu itu bersifat pribadi dan tidak mewakili pandangan mayoritas orang Cina.

Kedubes Cina juga mendesak bahwa setiap orang Cina yang bekerja di negara lain wajib mematuhi hukum setempat, serta tinggal dan bekerja secara legal, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat setempat.

Respons keras Kedubes Cina di Kenya tepat. Masalahnya, kejadian semacam ini tak hanya terjadi. Pada 2015 lalu, sebuah restoran kecil yang menyediakan masakan khas Cina di daerah Kilimani, Nairobi memberlakukan kebijakan operasional bahwa mereka tidak melayani orang kulit hitam selepas pukul 17.00. Aturan ini, tentunya, menyasar penduduk setempat.

Sontak perlakuan diskriminatif tersebut ramai diperbincangkan. Dua tagar #RacistRestaurant, #NoBlacks menjadi trending di sosmed. Gubernur Nairobi memilih menutup sementara restoran tersebut dengan alasan menyalahi izin usaha. Untuk meredam amarah publik, salah seorang senator Kenya, Mike Sonko mengunggah foto dirinya dengan seorang perempuan Cina serta mengingatkan warga Kenya untuk tidak membalas perlakuan rasis dengan tindakan rasis.

Kedubes Cina kala itu menegur pemilik restoran serta menegaskan bahwa restoran tersebut tidak punya hak untuk membatasi pengunjung atas dasar ras.

Puncak Gunung Es

Apa yang dialami Ochieng dan kejadian di restoran masakan Cina sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari seonggok masalah diskriminasi rasial di Afrika.

Awal 2018, pekerja Kenya di proyek kereta api nasional kerja sama Kenya-Cina, yang digarap China Road and Bridge Corporation, diduga mendapat perlakuan diskriminatif dan rasis dari para staf dan manajer Cina. Ketika itu, pemerintah memilih menepis dugaan tindakan rasis dalam proyek senilai 320 miliar Shilling Kenya tersebut.

Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada Juli 2018, laporan investigasi yang digarap jurnalis media lokal Standard Digital menguak lebih dalam dugaan praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh para pekerja Cina di lingkungan proyek kereta api yang menghubungkan Nairobi-Mombasa sepanjang 473 km itu.

Laporan itu menuturkan, para pekerja Cina tak pernah bergabung semeja dengan para pekerja Kenya. Pekerja Kenya tidak bisa segerbong dengan pekerja Cina dan diarahkan untuk naik ke gerbong barang. Para pekerja atau staf Cina bebas merokok dan bermain ponsel di dalam gerbong. Namun, pekerja setempat diancam dengan pemecatan jika melakukan hal yang sama. Para pekerja Kenya bahkan tidak diperkenankan memakai fasilitas toilet kereta.

Selain itu juga ditemukan kesenjangan upah berdasarkan ras, jam kerja yang panjang, ancaman dari atasan, sampai pelecehan.

Ketika tengah menyusun laporan investigasi ini, Standard Digital berusaha menghubungi otoritas terkait untuk mengonfirmasi temuan-temuan tersebut. Namun, pihak yang dihubungi menolak untuk berkomentar panjang lebar. Setelah laporan tersebut dibaca banyak orang, pihak sekretaris kabinet di Kementerian Tenaga Kerja membentuk tim untuk menyelidiki temuan-temuan Standard Digital. Sayangnya, juru bicara pemerintahan Eric Kiraithe malah menyalahkan para pekerja Kenya yang mengeluhkan tindakan rasis. Ia bahkan menuduh mereka sebagai pihak yang memperlambat proyek strategis nasional.

Di sisi lain, persepsi orang Cina atas orang kulit hitam Afrika memang memunculkan perdebatan. Ketika pertunjukkan drama komedi Imlek Februari lalu digelar di stasiun TV CCTV, tampil seorang aktris Asia dengan wajah hitam lengkap dengan bokong palsu ukuran jumbo. Beberapa kawanan hewan dan karakter monyet yang diperankan orang kulit hitam juga muncul di panggung.

Acara tersebut sebenarnya diselenggarakan untuk merayakan hubungan kerja sama antara Cina dan Afrika, serta menunjukkan betapa masyarakat Afrika mendapat manfaat dari investasi Cina.

Beberapa pengamat memandang acara tersebut sekadar komedi dan tidak bermaksud rasis kepada orang Afrika. Namun, sejumlah warga Cina di media sosial Weibo mengutuk program tersebut karena terkesan memanggungkan rasisme dan membuat malu bangsa Cina di muka internasional.

BBC menyebutkan, penduduk Cina tak punya pengalaman berinteraksi secara intens dengan orang kulit hitam dan kurang menyadari sejarah perbudakan dan rasisme di Eropa dan Amerika Serikat.

Hukum yang Tumpul

Sejak merdeka dari Inggris pada 1963 silam, Kenya punya aturan tegas yang termaktub dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang diskriminasi rasial terhadap karyawan atau calon karyawan.

UU Kohesi dan Integrasi Nasional Kenya melarang hasutan, penghinaan, kebencian, permusuhan, kekerasan atau diskriminasi terhadap orang, kelompok, atau komunitas atas dasar etnis dan ras. Mereka yang dinyatakan bersalah melanggar undang-undang dapat didenda atau dipenjara. Di tingkat internasional, Kenya turut menandatangani Konvensi Internasional melawan diskriminasi rasial.

Masalahnya, penegakan hukum tak selalu berjalan. Beberapa kasus diskriminasi rasial seperti yang terekam video dan diperbincangkan publik mungkin membuat otoritas pemerintahan bertindak cepat. Namun, penegakan hukum tumpul dalam beberapa kasus yang terjadi di lingkup yang lebih tertutup, misalnya di lingkungan kerja proyek infrastruktur Cina senilai miliaran dolar. Kenya gagal melindungi para warganya dari perlakuan rasis.

Kenya adalah satu dari sederet negara Afrika yang mendapat kucuran dana miliaran dolar dari Cina dalam lima tahun terakhir. Presiden Xi Jinping memang sedang giat-giatnya memberikan paket bantuan ke negara-negara berkembang dalam bentuk proyek pembangunan industri manufaktur, konstruksi, dan perhotelan.

Baru-baru ini, beban utang Kenya dilaporkan telah melampaui 5 triliun shilling mark (50 miliar dolar). Cina menempati negara pemberi pinjaman terbesar di Kenya dengan persentase 72 persen dari total utang luar negeri Kenya. Laporan ini memantik pertanyaan soal bagaimana hasil pembangunan infrastruktur Kenya nantinya mampu membayar kembali pinjaman uang dari Cina.

Infografik Rasisme di kenya

Bukan Hanya Perusahaan Cina

Diskriminasi rasial di Kenya punya sejarah panjang. Pelakunya tak hanya orang Cina, tapi juga sesama bangsa bekas jajahan: India. Akhir Juli 2018, jaringan supermarket tertua di Kenya, Chandarana Foodplus, yang didirikan oleh orang-orang keturunan India dikecam publik. Salah satu karyawan baru Chandarana bernama Rima Patel mengirimkan email bernada rasis kepada pelanggan yang menyebutkan bahwa pihak supermarket sedang fokus untuk menarik pelanggan kulit putih.

Pihak ritel sudah memberikan permohonan maaf kepada publik dan menyebutkan bahwa sang karyawan tidak begitu cakap berbahasa Inggris sehingga memunculkan kesalahpahaman.

Pada Agustus 2018, Kenyans melaporkan bahwa mantan Perdana Menteri Kenya Raila Odinga Junior mengeluh di akun Twitter-nya bahwa restoran Talisman di Nairobi hanya menyediakan tempat bermain untuk anak-anak kulit putih. Pengalaman yang dibagikan Odinga direspons warganet Kenya yang menceritakan kisah diskriminasi rasial serupa. Talisman memang dikenal sebagai salah satu restoran mewah di Kenya. Pengunjungnya tak jarang dari kalangan kulit putih.

Kenya bukan satu-satunya negara Afrika yang mengalami perlakuan rasis. Beberapa yang lainnya bahkan punya pengalaman rasisme yang lebih sistematis. Kali ini, pelakunya adalah perusahaan-perusahaan Eropa.

Dua tahun silam, Guardian melaporkan bahwa lima negara Afrika Barat sepakat mengakhiri impor BBM berkualitas rendah dari Eropa. NGO asal Swiss Public Eye mengungkap demi mendukung kebijakan rendah emisi, tingkat sulfur maksimal di Eropa adalah 10 ppm (parts per million) saja. Namun, BBM yang dipasok ke Afrika Barat oleh Trafigura (Belanda), Vitol (Swiss), dan British Petroleum (Inggris) mengandung sulfur dengan jumlah berkali-kali lipat (3.000 ppm).

Tak heran jika kota-kota besar seperti Lagos, Nigeria, jelaga tipis menyelimuti banyak kendaraan dan bangunan di pinggir jalan. Di Ghana, pada 2013 tercatat hampir 20.000 orang meninggal akibat polusi udara. Ketika kasus ini diungkap, Trafigura dan Vitol ngotot membela diri dengan mengatakan bahwa tidak ada yang ilegal dari praktik tersebut.

Namun, di balik fakta bahwa kebijakan itu berlangsung cukup lama adalah sebuah pesan kuat: orang Eropa berhak sehat, orang Afrika tidak.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf