Menuju konten utama

Perkosaan Anak oleh Pejabat Papua: Manipulasi & Perulangan

Sebelum diperkosa, korban dan teman-temannya dipaksa meminum minuman beralkohol serta diintimidasi.

Perkosaan Anak oleh Pejabat Papua: Manipulasi & Perulangan
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Paulus Matuan menelepon Rahel (16 tahun, bukan nama sebenarnya) pada 14 April 2021, sekira pukul 19. Ia mengajak siswi kelas XI itu untuk melancong ke Ibu Kota, sesumbar mau mengajak gadis itu berpelesir di kota metropolitan. Rahel pun mengajak sepupunya, Maria (17 tahun, bukan nama sebenarnya). Kedua gadis yang bersekolah di tempat yang sama itu menerima ajakan Paulus lantaran masih kerabat.

Mereka izin ke wali kelas dengan alasan urusan keluarga dan orang tua sakit. Dalih-dalih itu dibuat oleh Paulus. Pukul 13.00, esok hari, Rahel dan Maria dijemput di depan sekolah oleh Paulus. Dalam perjalanan menuju Bandara Sentani, Paulus bertanya mengapa Rahel tak mengenakan jaket bertudung. Gadis itu tak punya pakaian yang dimaksud. Maka mereka mampir ke Pasar Youtefa untuk membeli jaket. Dia juga menebus celana panjang agar dipakai kedua keponakannya, tentu tak lupa masker.

Rampung belanja, mereka melanjutkan perjalanan ke bandara. Di tengah perjalanan, ibu Maria meneleponnya. Lelaki eks Anggota DPRD Kabupaten Jayawijaya periode 2009-2014 itu langsung bertanya siapa yang menghubungi Maria, kemudian melarang bocah itu untuk menerima sambungan telepon dari siapapun atau sebaliknya.

Mereka menjejak bandara sekira pukul 14.30. Paulus menyuruh kedua anak itu masuk ke area tunggu, sementara dia hendak menemui John Asso, pamannya, yang datang dari Wamena. John pun akan ikut ke Jakarta. John tiba, mereka berempat melanjutkan perjalanan udara. Di pesawat, Paulus duduk bersebelahan dengan Rahel, John dengan Maria.

Tiba di Jakarta pukul 20.00, keempatnya menuju Hotel Novotel Jakarta Mangga Dua Square menggunakan mobil rental. Di lobi hotel, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Papua Girius One Yoman dan Vincen Yigibalom, keponakan Girius, menunggu kedatangan mereka.

Keenam orang itu berbincang beberapa jam. Pukul 23.00, Rahel dan Maria diajak mencari makan di sekitar penginapan. Sekitar 90 menit kemudian mereka kembali ke hotel dan diberikan kunci kamar masing-masing. Ruang tidur mereka berada di satu lantai, bersebelahan. Girius pun sempat memberikan mereka uang tunai Rp10 juta per orang.

Pada 16 April, pukul 9 pagi, Girius mengajak Rahel dan Maria bersiap untuk berangkat. Mereka diajak bertemu dengan Gubernur Papua Lukas Enembe. Namun, hanya Girius yang bertatap muka dengan petinggi Provinsi Papua itu, sementara mereka menunggu dua jam di mobil. Jenuh melanda, mereka minta si sopir, Maximus Itlay, mengantarkan mereka kembali ke hotel. Petang datang, Paulus menghubungi salah satu dari gadis itu dan meminta keduanya kembali ke lokasi pertemuan.

Sebelum bertemu dengan gubernur, Paulus mewanti-wanti Rahel dan Maria tak menyebutkan marga asli dan mengaku sebagai anaknya. Mereka bertemu di kafe bilangan Jakarta Selatan, pukul 19.00. Pada acara tersebut, bir disuguhkan dan mereka dipaksa untuk meneguk minuman beralkohol. Bahkan Rahel diduga dipaksa oleh Girius untuk menakar minuman Lukas. Rahel yang takut, terpaksa menuruti permintaan lelaki itu.

“Dalam pembicaraan itu mereka (Rahel dan Maria) sempat dengar ada wacana bentuk peraturan daerah yang mengatur tentang satu laki-laki Papua bisa kawin dengan 12 perempuan,” kata BL, kakak Rahel, ketika dihubungi Tirto, Selasa (21/9/2021). Ia dan Rahel merupakan kakak-adik beda ibu--pihak redaksi memutuskan menyamarkan identitas kakak korban demi menyembunyikan identitas korban.

Kedua anak itu juga sempat diajak untuk menemani Lukas berobat ke Singapura. Pukul 22.00 pertemuan rampung. Paulus dan Girius membawa Rahel dan Maria ke sebuah bar yang masih berada di Jakarta Selatan. Di situ mereka dipaksa lagi untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Kedua anak itu menolak, tapi paksaan tak lenyap. Akhirnya mereka terpaksa menenggak sembari menangis, kedua lelaki itu masih meminta mereka berdansa dan turut bernyanyi. Girius sempat memeluk Rahel ketika bergoyang, meski anak itu menangis dan menolak paksa.

Menurut kesaksian Maria, di tempat hiburan tersebut ada dua perempuan yang sudah diminta untuk menemani Paulus cs. Sekira pukul 24.00, Girius dan Vincen angkat kaki, Rahel dan Maria masih bersama Paulus dan Maximus. Pukul 2.30, 17 April, mereka kembali ke penginapan. Dua gadis itu berpisah dan menempati kamar masing-masing dalam keadaan mabuk dan letih.

“Paginya, adik bungsu saya (Rahel), kaget. Saat itu dia ada di ruangan si Kepala Dinas. Menurut pengakuan adik, Kepala Dinas sempat memaksa berhubungan (intim),” jelas BL. Karena merasa diintimidasi, penolakan itu sia-sia. Girius tak menghentikan aksinya, lantas ia menuju ke kamar Maria. Kala itu Maria berada di toilet, ia merasa telah mengunci pintu.

Maria terkejut ketika melongok, ada Girius di ruangannya sambil memegang botol miras. Maria menolak, ia kabur menuju kamar Rahel. Lantas mereka bergegas ke lobi hotel, keributan antara keduanya dan Girius tak terelakkan. Petugas keamanan melerai mereka. Karena tak ingin makin runyam, Girius enggan memperpanjang perkara.

Sekitar pukul 11.00, John mengajak Rahel dan Maria makan dan berbelanja. Usai makan, mereka menuju ke area bermain biliar selama tiga jam berikutnya. Lagi, mereka dipaksa meminum alkohol, tapi menolak dan kembali menangis. Maximus merasa kasihan, ia memberikan Rahel dan Maria minuman soda. Ketika itu pula Paulus meminta mereka balik ke hotel.

Tak lama berselang, Paulus menelepon anak itu agar segera siap-siap ke bandara. Malam harinya, Rahel dan Maria kembali ke Jayapura, mereka dibelikan tiket untuk kembali ke tanah kelahiran. Alasan kepulangan lantaran dua anak itu dianggap keras kepala dan malas menuruti permintaan.

Percobaan Perkosaan Berulang di Papua

Pukul 20.00, salah satu hari di bulan Juni, Paulus menghubungi Rahel dengan alasan ingin memberikan uang. Kala itu Rahel tak lagi menempati asrama, --tanpa sepengetahuan keluarga, ia menyewa indekos sepulang dari Jakarta--, ia diminta menunggu di jalan raya depan sekolahnya. Rahel mengajak Amelia dan Katrina (keduanya bukan nama sebenarnya) untuk menemaninya, karena tahu watak kerabatnya itu.

Di depan sekolah, telah ada dua mobil hitam menunggu mereka. Paulus memaksa mereka menaiki mobil. Ada Girius di sana. Kemudian ketiga perempuan itu diajak mengitari Perumnas III, Buper, Taman Budaya Expo, hingga ke Sentani. Lagi-lagi, Paulus memaksa mereka menenggak miras. Di dalam perjalanan para pria ‘menjodohkan’ diri masing-masing dengan Rahel cs. Paulus berkata kepada Katrina, “kamu ini adalah anak saya. Apa yang saya bicara, kamu harus dengar.”

BL menirukan penuturan Rahel soal “perjodohan” itu. “Kamu harus dengar, ya. Karena orang tua kalian tidak mungkin kasih uang seperti ini” dan “kalian perempuan dengan marga-marga ini di kampung, punya saya. Orang tuamu sudah serahkan ke saya.” Mereka hendak menuju ke Stadion Lukas Enembe, namun urung dan kemudian menuju ke Hotel Grand Abe Jayapura. Lantas para pria menyewa sebuah kamar untuk dipergunakan bersama.

Di dalam kamar, Paulus kembali memaksa. Bahkan ia mengklaim Katrina adalah istrinya, maka wajib bagi si perempuan untuk menurutinya. “Diintimidasi dengan dimaki, diancam hingga menangis. Perempuan ini sempat diangkat ke pahanya,” ujar BL.

Sedangkan Girius memeluk Rahel dan terus-menerus memaksa mengakui dan menerimanya sebagai suami. Ia pun menyentuh dan meraba area dada Rahel. Pukul 22, Rahel muntah karena tak kuat lagi menampung miras paksaan; ia pingsan di kamar mandi. Amelia dan Katrina bercepat-cepat menolongnya, lalu membaringkannya di kasur.

Sekitar pukul 00.30, Paulus cs mengusir Amelia dan Katrina keluar kamar karena dianggap enggan menuruti kemauan mereka. “Si om seret mereka dari luar kamar, tendang dari luar lift hingga masuk ke dalam lift. Lalu minta mereka menunggu di luar hotel,” tutur BL.

Keduanya mencemaskan keadaan Rahel, namun Paulus meyakinkan mereka bahwa Rahel akan mereka urus. Meski mereka mencoba untuk masuk kembali guna menyelamatkan Rahel, namun Paulus cs tak mengizinkan. Akibatnya, Amelia dan Katrina menunggu hingga subuh.

Sementara di kamar, Rahel diduga diperkosa oleh Girius. Lelaki itu mengintimidasi korban. Pukul 4 pagi, Paulus cs angkat kaki dari hotel. Amelia dan Katrina mengira Rahel pun ikut keluar, ternyata tidak. “Setelah diperkosa, ia ditinggalkan oleh para pelaku. Jam 7, dia keluar sendiri. Dia cari taksi, lalu pulang.”

Wali Korban Diancam Balik

Pada 25 Agustus, BL sebagai wali korban, melaporkan kasus dugaan perkosaan anak ke Polda Papua. Setelah menerima pengaduan, kepolisian menganjurkan kepada BL untuk membuat surat pengaduan secara tertulis. Maka esok harinya, Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum wali korban, memberikan surat yang diminta.

Empat hari kemudian, LBH Papua mendampingi korban untuk memberikan keterangan kepada penyidik Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita Polda Papua. Usai pemeriksaan, polisi menerbitkan Surat Perintah Tugas Nomor: Sp.Gas/476/VIII/Res.1.24/2021/Ditreskrimum tertanggal 31 Agustus 2021 dan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sp.Lidik/477/VIII/Res.1.24/2021/Ditreskrimum tertanggal 31 Agustus 2021.

Masalah makin rumit kala Paulus mengajak dua kakak lelaki dan ibu kandung Rahel mendukung dirinya dan mendesak penghentian perkara. Awalnya, si ibu mengaku tak tahu soal dugaan pemerkosaan terhadap anaknya. Namun, saat kasus ini dilaporkan ke polisi, si ibu tegas memihak Paulus. Kakak kandung Rahel pun memaksa agar sang adik ikut dirinya, tidak lagi tinggal di Jayapura.

BL sempat menampar saudara tirinya itu. “Mereka jadikan itu laporan polisi,” sambung dia. Pada 7 September, BL mendapat surat panggilan dari Polsek Heram untuk diperiksa sebagai terlapor atas dugaan tindak pidana penganiayaan. Pada hari itu juga ia dijemput untuk diperiksa di markas kepolisian. Saat pertemuan berlangsung antara terlapor dan pelapor yang ditangani oleh Kapolsek Heram, pihak Paulus akan mencabut laporan dugaan penganiayaan jika BL membatalkan laporan dugaan pemerkosaan di Polda Papua.

Ketika pemeriksaan di Polsek Heram, ada massa pendukung Paulus cs yang mendesak pelaporan dugaan pemerkosaan dihentikan. Jika BL enggan menuruti permintaan maka massa akan menyerangnya. “Kapolsek dan anggota biarkan itu, padahal kami korban.”

Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, menyatakan lantaran merasa tertekan, BL menandatangani surat yang dibuat oleh Polsek Heram untuk mengakhiri kasus dugaan penganiayaan dengan syarat wali korban mencabut pengaduannya. Kapolsek Heram pun mengalihkan kasus dugaan penganiayaan ke Polresta Jayapura.

Emanuel meminta agar publik mengawasi perkara dugaan perkosaan ini. “Kami mengajak seluruh masyarakat umum untuk bersama mengawal penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh penyidik Kanit I Subdit IV Renakta Polda Papua,” ucap Emanuel, Senin (20/9).

Pihak LBH Papua juga meminta jaminan pemenuhan hak bagi korban, seperti menyediakan rumah aman. Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal mengatakan penyidik telah memeriksa saksi perkara dugaan perkosaan anak. "Sudah delapan orang diperiksa saat ini, masih penyelidikan," kata dia, Senin (13/9).

Sementara itu, beredar kabar bahwa Paulus Matuan adalah kader Partai Amanat Nasional, kemudian menyeberang ke Partai Gerakan Indonesia Raya. BL pun mengirimkan gambar kepada reporter Tirto, Paulus Matuan merupakan calon legislatif DPR Papua Dapil VI (Jayawijaya, Nduga, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah), nomor urut 1. Di kiri atas ada logo Partai Gerindra. Dia berkompetisi dalam Pemilu 2019, di gambar itu tertulis “Coblos Nomor 1” serta “Mohon Doa & Dukungan”.

Kendati demikian, Yan Permenas Mandenas, anggota DPR periode 2019-2024 fraksi Partai Gerindra, membantah Paulus merupakan kader partai berlogo kepala Burung Garuda itu. “Bukan,” ujar dia ketika dikonfirmasi Tirto, Selasa. Begitu juga dengan Eddy Soeparno, Sekretaris Jenderal PAN, ketika dimintai penegasan. “Dia (Paulus) kader partai lain sejak tujuh tahun yang lalu.”

Pemulihan Korban jadi Prioritas

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jayapura Nur Aida Duwila menyatakan pihaknya dan Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Papua (LP3AP) menekankan kepada pemulihan psikososial. Karena tak jarang korban perkosaan, selain mendapat trauma dan kelelahan batin, juga mendapat intimidasi, terutama dari pelaku. Untuk kasus ini, Nur Aida bilang, korban bahkan meminta agar proses hukum ini dihentikan karena takut ibu dan pamannya dibunuh di samping batinnya yang juga lelah.

Meski telah dua kali didampingi oleh psikolog, keinginan korban tak berubah. “Dia ingin tenang, ingin selesai. Tanpa dia berpikir efek ke depan baginya,” kata Nona, panggilan Nur Aida, kepada Tirto, Selasa. Nona mengkhawatirkan, di masa depan bisa saja muncul stigmatisasi terhadap para korban. Nona lantas menghubungi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Papua untuk berkoordinasi dengan kepala sekolah dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar para korban tak dirundung oleh publik.

Nona menginginkan masyarakat dan aparat penegak hukum bisa memisahkan perkara hukum dan perkara adat. Kepolisian wajib mengusut tuntas perkara secara profesional. “Selama ini yang terjadi, jika pelaku adalah, maaf, ‘orang gunung’, penyelesaiannya selalu secara adat. Akhirnya tidak ada efek jera bagi pelaku,” tandas Nona.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri