Menuju konten utama

Perkara Janggal Salim Membeli Aetra dalam Bisnis Air Jakarta

Nilai akuisisi plus utang Aetra yang diambil alih Moya Indonesia, pengelola baru air bersih di wilayah timur Jakarta, sekitar Rp3,26 triliun.

Perkara Janggal Salim Membeli Aetra dalam Bisnis Air Jakarta
Pedagang air bersih eceran mengisi jeriken air untuk dijual kepada warga di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Apa yang terjadi pada enam bulan setelah putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Koalisi untuk menyetop kebijakan swastanisasi air minum di Jakarta? Bagaimana pada rentang itu, dari Putusan MA yang dibuat pada April 2017 sampai diumumkan ke publik pada Oktober 2017, terjadi proses akuisisi terhadap Acuatico alias PT Aetra Air Jakarta?

Kami merunutkan bagaimana proses akuisisi itu bermula, dan apa tanggapan direksi Moya Holdings Asia dan Acuatico terhadap putusan MA tersebut. Mengapa bisnis air bersih Jakarta menggiurkan?

Perubahan kepemilikan konsorsium swasta ini menambah silang sengkarut pengelolaan air bersih di pusat kekuasaan dan bisnis Indonesia. Meski begitu, ia tak mengubah paras umum privatisasi air: bisnis tirta membutuhkan kekuatan modal dan politik yang besar.

Dalam proses akuisisi Acuatico, kita menjumpai nama Moya Holdings Asia, perusahaan air minum yang terdaftar di pasar saham Singapura, yang di belakangnya dikendalikan oleh Salim Group.

Moya sudah mengincar Acuatico enam bulan sebelum akuisisi terjadi. Surat kepada pemegang saham, yang dirilis Bursa Efek Singapura pada 23 Agustus 2017, mengungkapkan Moya Holdings sudah meminta lembaga akuntan PricewaterhouseCoopers (PwC) melakukan due diligence terhadap Acuatico per Desember 2016.

Proses uji tuntas itu untuk menaksir berapa biaya yang mesti dikeluarkan saat membeli seluruh saham Acuatico. Hasilnya, nilai ekuitas Acuatico serta anak perusahaannya berkisar Rp1,19 triliun hingga Rp1,445 triliun.

Angka itu tak jauh dari nilai riil yang muncul saat Moya mengakuisisi 100 persen saham Acuatico pada 8 Juni 2017 sebesar Rp1,24 triliun, yang dirumuskan di bawah tanggung jawab Simon A. Melhem, Direktur Eksekutif Moya Holdings Asia Ltd.

Dalam dokumen itu, Moya Indonesia Holdings Pte. Ltd., anak perusahaan Moya Holdings Asia, yang berposisi sebagai pembeli juga mengalihkan utang Acuatico menjadi tanggungannya dalam proses akuisisi tersebut. Utang ini sebesar 152,31 juta dolar AS atau setara Rp2,02 triliun (dengan kurs BI saat itu Rp13.292). Artinya, total nilai akuisisi dan utang Acuatico yang dibayar Moya sekitar Rp3,26 triliun.

Kami menjumpai Direktur Acuatico, Ivy Santoso, di Plaza Indonesia, pada Kamis, 3 Mei 2018. Ivy diangkat menjadi direktur per 9 Juni 2017, atau sehari setelah akuisisi dilakukan. Ia berkata terlibat penuh saat proses take over tersebut.

“Kita memang akuisisi saham dan utang. Dan itu lazim. Angka sekitar 150 juta (dolar AS) untuk ukuran segitu (Aetra), ya okelah cukup besar,” katanya, merujuk Aetra Jakarta adalah salah satu perusahaan pengelola air terbesar di Indonesia.

Pinjaman itu, kata Ivy, diperuntukkan proses bangun-guna-serah atau lazim dikenal sebagai BOT (build-operate-transfer) oleh PT Aetra Tangerang dan perluasan jaringan perpipaan PT Aetra Jakarta. Namun, kata dia, komposisi utang terbesar ada di Jakarta.

Pertanyaannya, dari mana utang Acuatico berhulu? Jika merujuk due diligence PricewaterhouseCoopers, nilai utang Acuatico per 31 Desember 2016 sebesar Rp732 miliar. Rinciannya: Aetra Jakarta Rp491 miliar dan Aetra Tangerang Rp241 miliar.

Rosan Roeslani, pemilik Grup Recapital, perusahaan yang sebelumnya menguasai Acuatico, enggan menjawab musabab utang ini. “Ya tanya saja ke sana (Moya Indonesia). Saya enggak tahu,” katanya pada 26 April lalu.

Sedangkan Muhammad Selim, Direktur PT Aetra Jakarta, membantah nilai utang tersebut, “Kami ada utang tapi tidak sebesar sampai triliunan.”

Direktur Amrta Institute, Nila Ardhianie, menyebut perbedaan angka hasil audit PwC dan laporan keuangan lantaran audit PwC hanya mencantumkan nilai riil pinjaman, bukan fasilitas pinjaman. Artinya, fasilitas pinjaman yang diberikan PT Sarana Multi Infrastruktur dan Bank ICBC tidak dimasukkan.

Sementara menanggapi klaim Ivy, Nila menyebut utang yang dipakai sebagai investasi perluasan jaringan perpipaan amat tidak logis. “(Perluasan) jaringan dibebankan pada tarif pelanggan,” ucapnya.

Salim Memakai Moya untuk Menguasai Aetra

Proses Moya Holdings Asia mengambil alih Acuatico ibarat ikan bandeng memangsa ikan paus. Pada 2016, laba bersih Acuatico sebesar Rp330,76 miliar. Sementara laba bersih Moya pada 2016 sebesar Rp41,19 miliar. Artinya, laba bersih Acuatico 8 kali lipat lebih besar dibandingkan Moya.

Ivy Santoso menjawab hal ini tidak perlu dipersoalkan. Setiap entitas berbeda-beda, ujarnya. Jadi, saat Moya mengakuisisi Acuatico, pengelolaan air dimiliki Moya cukup kecil, hanya sebagian Tangerang dan Bekasi.

"Mereka juga hanya mengandalkan WTP (Water Treatmen Plan/Instalasi Pengolahan Air) yang masih proses pembangunan tahap awal dan belum mendapatkan profit banyak,” tambah Ivy.

Akuisisi jorjoran Moya tak lepas dari investasi konglomerat sekelas Anthony Salim, di mana Salim Group menjadi pemegang saham mayoritas Moya.

Kiprah Moya dimulai pada 2009 saat seorang Amerika keturunan Lebanon, Simon Melhem, bekerja sama dengan investor Bahrain dan Arab Saudi membangun bisnis pengembangan air. Awalnya di Timur Tengah, kemudian melebar ke Asia Tenggara.

Pada 18 Agustus 2011 dan 20 Februari 2012, mereka mendapatkan konsesi dari pemerintah Kabupaten Bekasi dan Kota Tangerang untuk membangun instalasi air bersih. Namun, proyek ini mandek karena kekurangan dana.

Namun, semua berubah saat Salim Group masuk lewat anak perusahaan mereka, Tamaris Infrastructure Pte. Ltd., yang menyuntikan dana Rp831 miliar. Pada 2016, Salim Group membeli 61,8 persen saham Moya Holdings Asia, menjadikannya pemilik saham mayoritas.

INFOGRAFIK PENJUALAN SAHAM AETRA

Mengapa Salim Group Nekat membeli Acuatico?

Kebijakan Moya membeli Acuatico cukup nekat. Sebab saat itu anak perusahaan Acuatico, PT Aetra Jakarta, dalam status sengketa. Aetra Jakarta adalah entitas terpenting bagi Moya dan Acuatico. Hampir 92 pendapatan Acuatico dari Aetra Jakarta, pemegang konsesi pengelolaan air bersih di wilayah timur Jakarta.

Irwan Atmadja Dinata, Direktur Pelaksana Moya Holdings Asia dan Direktur Utama PT Moya Indonesia, bercerita bagaimana Anthony Salim meminta mengakuisisi Aetra. Ambisi Salim itu murni atas nama nasionalis semata, ujar Irwan, yang kami temui di kawasan Sudirman, Selasa kemarin (8/5).

Ia mengisahkan semula banyak perusahaan lain yang ingin mengambil alih Aetra. Proses tender ini dilakukan oleh Bank Credit Suisse. Ada sekitar sembilan perusahaan yang ikut tender, dan setelah disaring muncul empat perusahaan.

Selain Moya, tiga perusahaan lain adalah korporasi yang dimiliki baron air dari Cina, yaitu Yunnan Water, Beijing Enterprises Water Group Limited, dan CITIC Envirotech Ltd.

Ketimbang Air Jakarta dikuasai oleh maskapai asing, Antony Salim berpesan kepada Irwan: “Udah deh, lu fight aja.” Irwan memberi tahu bahwa kontrak Aetra akan berakhir pada 2023.

Jika tak diperpanjang, Salim Group akan rugi besar. Uang pengambilalihan Acuatico sebesar Rp3,26 triliun bisa tidak ada jaminan bakal kembali.

“Beliau hanya jawab, 'Ya enggak apa-apa, deh. Yang penting enggak diambil asing,” ujar Irwan menirukan Anthony.

Namun, pengelolaan air bersih Jakarta sudah lama jadi sorotan. Pada 2012, mekanisme konsorsium swasta-pemerintah dalam bisnis air Jakarta digugat oleh koalisi organisasi nirlaba yang mengecam privatisasi air. Penggugat mengajukan alasan bahwa swastanisasi air melanggar hak publik atas air yang dijamin pasal 33 dalam Konstitusi Indonesia.

Pada 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Koalisi dan meminta PAM Jaya, perusahaan daerah air minum Jakarta, memutus kontrak privatisasi tersebut. Tetapi pemerintah dan swasta mengajukan banding dan dimenangkan di Pengadilan Tinggi Jakarta.

Namun, para penggugat mengajukan kasasi. Pada 9 Oktober 2017, Mahkamah Agung mengumumkan putusan memenangkan Koalisi dengan nomor 31 K/Pdt/2017, yang diteken pada 10 April.

Dari April hingga Oktober 2017, ada jeda enam bulan sebelum putusan MA dirilis ke publik.

Pada fase inilah PT Recapital selaku pemilik Acuatico, salah satu perusahaan yang dimiliki Sandiaga Uno (kini Wakil Gubernur Jakarta), melepas seluruh saham kepada Moya Asia Holdings. Proses pelepasan saham terjadi tiga bulan setelah MA memenangkan gugatan Koalisi atau Juni 2017. Pertanyaan, apakah pemilik Moya tahu soal hasil putusan MA?

Irwan Dinata mengaku tidak tahu soal putusan MA yang dibuat pada April 2017. Ia menyebut, pada proses due diligence, pihak Aetra tak memberitahukannya. Irwan berkata pihak Moya baru menerima dokumen putusan MA pada November 2017.

Dalam surat kepada pemilik saham ketika membeli Acuatico tertanggal 23 Agustus 2017, Moya memang memaparkan kasus hukum yang melilit Aetra Jakarta pada sub-bab khusus, yang menyebut gugatan di MA masih dalam proses. Karena itulah akuisisi bisa dilakukan sebab secara hukum status Aetra masih didasari hasil kemenangan di PTUN.

Pernyataan direksi Acuatico dan Moya menyiratkan mereka optimistis Aetra akan beroperasi hingga durasi kontrak berakhir pada 2023. Mereka yakin kekalahan di MA tak akan mengubah apa pun.

“Kami, kan, ada perhitungannya. Kami tidak beli putus. Karena kontrak akan berhenti pada 2023,” kata Ivy Santoso dari Acuatico.

Hal sama dikatakan Irwan Dinata, “Kalau sampai kalah, kami tetap yakin kontrak enggak mungkin diputus, paling sial (berhenti) sampai 2023.”

Pertanyaan lain: Apakah pembelian Rp3,26 triliun atas Acuatico akan kembali dengan cepat, toh durasi kontrak tersisa saat ini tinggal 5 tahun saja?

“Secara hitung-hitungan cukup, kok. Ada hitungannya. Kami sudah menghitung beberapa skenario,” kata Ivy.

“Memang enggak ada kepastian. Tapi, di hitungan kertas, bisa. Tapi namanya forecast bisa meleset, bisa tidak,” ucap Irwan.

Pernyataan Ivy dipandang tidak logis oleh Nila Ardhianie dari Amrta Institute.

“Dalam lima tahun terakhir rata-rata laba Aetra Jakarta per tahun Rp190 miliar. Dilihat dari sini sulit untuk dapat mengembalikan investasi yang sebesar Rp3,2 triliun itu,” kata Nila.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana & Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Bisnis
Reporter: Mawa Kresna, Hendra Friana, Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Penulis: Hendra Friana & Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam