Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Perjuangan Mahmoed Joenoes Mengawal Pendidikan Islam di Indonesia

Sepanjang hayat, Mahmoed Joenoes bergelut dalam dunia pendidikan Islam. Ia mendorong dimasukkannya pelajaran agama Islam dalam kurikulum nasional.

Mahmoed Joenoes. tirto.id/Nadya

tirto.id - Pada 1931, setelah lulus dari Universitas Al-Azhar dan Dar al-Um Univeritas Kairo, Mesir, Mahmoed Joenoes pulang ke Hindia Belanda. Ia tak lekas berleha-leha di kampung halamannya di Sungayang, kini masuk wilayah Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Ilmu yang ia dapatkan dari Mesir segera diamalkan dengan mendirikan sekolah al-Jami'ah Islamiyah di Sungayang, dan menjadi kepala sekolah Normal Islam School di Padang. Karena kekurangan tenaga pengajar, murid di al-Jami'ah Islamiyah terpaksa dipindahkan ke Normal Islam School.

Normal Islam School merupakan sekolah Islam modern yang sesuai dengan semangat pembaruan pendidikan Islam yang diusung Mahmoed. Para murid tak hanya diajari agama Islam, tapi juga mendapatkan ilmu pengetahuan umum seperti kesusastraan, ilmu kesehatan, matematika, fisika, biologi, ekonomi, sejarah, bahasa Inggris, bahasa Belanda, hingga olahraga.

Kelak, selain dikenal sebagai ulama kesohor di Minangkabau, ia juga menyandang julukan bapak pendidikan Islam Indonesia dan menjadi orang di balik masuknya pelajaran agama Islam pada kurikulum nasional.

Dibesarkan Ibu, Dididik Kakek

Mahmoed Joenoes lahir pada 10 Februari 1899 dari pasangan Yunus bin Incek dan Hafsah binti Imam Sami'un. Menurut Herry Mohammad dalam Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006), ayahnya adalah seorang imam. Sedangkan ibunya adalah anak dari Engku Gadang M. Thahir bin Ali, seorang alim dan pendiri surau.

Ketika masih balita, orang tua Mahmoed bercerai. Ia hanya dibesarkan oleh ibunya. Ayahnya sesekali menjenguk Mahmoed. Kakeknya mengajari Mahmoed membaca Alquran, salat, puasa, dan dasar-dasar agama Islam lainnya. Pendidikan umum ia dapat dari Sekolah Rakyat (SR) dan hanya bertahan sampai tahun keempat. Ia tak betah lantaran merasa gurunya mengulang-ulang pelajaran yang sama.

Saat Mahmoed berusia 11 tahun, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau, Muhammad Thaib Umar, mendirikan sekolah bernama Madras School pada 1910. Thaib Umar adalah orang yang memelopori penggunaan bahasa Indonesia dalam khotbah salat Jumat dan khotbah salat hari raya yang sebelumnya memakai bahasa Arab.

Ayah Mahmoed mendorongnya untuk masuk ke sekolah tersebut. Tiap pagi sampai siang, Mahmoed belajar nahu, saraf, bahasa Arab, dan matematika. Menjelang sore sampai malam, ia mengajar Alquran di surau milik kakeknya.

Mahmoed tumbuh sebagai seorang murid yang menonjol. Pada usia 16 tahun, ia sanggup mengajar beberapa kitab seperti al-Mahally, al-Fiyah ibn Aqil, dan Jama'al-Jawami. Ketika Thaib Umar jatuh sakit pada 1917, Mahmoed ditunjuk untuk memimpin Madras School.

Mengubah Pola Pengajaran

Mahmoed sebenarnya merasa gelisah dengan sistem pengajaran bahasa Arab di sekolah yang ia pimpin. Saat itu, pola pengajarannya adalah guru aktif membaca dan menjelaskan, sementara murid hanya mendengarkan dan mencatat. Model seperti ini menurutnya membuat daya kritis para murid tidak terangsang.

Baginya, penguasaan bahasa Arab tak hanya untuk memahami kitab-kitab berbahasa Arab, tetapi juga harus mampu dipakai untuk membaca, bercakap-cakap, dan menuliskannya kembali. Atas metode yang ia terapkan, Mahmoed dikenal sebagai peletak dasar pengajaran baru bahasa Arab.

Di Madras School, ia bereksperimen menerapkan buah pikirnya dengan mendorong para murid untuk memakai bahasa Arab dalam pergaulan sehari-hari. Hasilnya, dalam waktu lima tahun para murid telah mahir berbahasa Arab dan bahkan mampu menjadi guru untuk murid-murid lainnya.

Pada 1919, ia diutus untuk menghadiri rapat besar para ulama di seluruh Minangkabau mewakili Thaib Umar. Yudi Latief dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20 (2012) mencatat, rapat besar itu menyatukan seluruh surau kaum pembaru Islam dan membentuk sebuah jaringan luas madrasah yang sama-sama memiliki dasar ideologi reformis-modernis.

Rapat itu melahirkan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Mahmoed menjadi salah satu anggotanya. Normal Islam School yang kelak dipimpinnya adalah sekolah bentukan PGAI.

Di bidang media massa, Mahmoed pernah membuat majalah al-Basyir sejak Februari 1920. Ia juga terlibat dalam penerbitan media-media lainnya termasuk al-Munir, al-Manar, dan al-Bayan.

Fokus pada Bidang Pendidikan

Berbekal pendidikan dari Madras School, Mahmoed memutuskan melanjutkan pendidikan tinggi ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, pada 1924. Sebelum ke Kairo, Mahmoed terlebih dulu menunaikan ibadah haji di Makkah. Di Mesir, Mahmoed belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama Islam serta melanjutkan pendidikan tingginya lagi ke Dar al-Um Univeritas Kairo dan lulus pada 1929 dengan spesialisasi di bidang pendidikan.

Saat itu, di antara mahasiswa Hindia Belanda yang belajar di Kairo, muncul perpecahan pandangan dan pergerakan, yakni antara mereka yang terpapar gerakan politik nasional yang terjadi di Mesir, dan mereka yang hanya fokus menuntut ilmu.

Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (2005) menyebutkan, sedari mahasiswa, Mahmoed tak terkait dengan pergerakan politik. Perhatiannya fokus pada peningkatan mutu sekolah-sekolah agama modernis di Sumatra Barat.

Pemikiran dan tindakan Mahmoed yang lurus pada garis pendidikan banyak membuahkan karya-karya besar. Ketika penerjemahan Alquran di Indonesia mulai berkembang pada paruh pertama abad ke-20, Mahmoed Joenoes adalah salah satu mufasir penting di tanah Minang. Bersama dengan M.A. Bakri, Mahmoed menerbitkan Tafsir Al-Qur′an al-Karim pada 1954.

Infografik Al Ilmu Nuurun Mahmoed Joenoes

Infografik Al-Ilmu Nuurun Mahmoed Joenoes

Karya ini menjadi salah satu pionir tafsir Alquran berbahasa Indonesia dan banyak dipakai di pelbgai sekolah khususnya di pesantren. Selain karya tersebut, ia juga menulis sejumlah buku di pelbagai bidang ilmu yang meliputi bidang pendidikan, hukum Islam (fikih), tafsir, akhlak, ilmu jiwa, dan sejarah Islam.

Menurut Zulmardi dalam "Mahmud Yunus dan Pemikirannya dalam Pendidikan" (2009), Mahmoed membuat program pendidikan berjenjang yang dipraktikkan di semua sekolah yang ia dirikan seperti di Al-Jami’ah Al-Islamiyah, Normal Islam dan Kulliyatul Mua’allimin Al-Islamiyah. Pendidikan berjenjang dibagi menjadi tiga, yakni jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, yang masing-masing ditempuh dengan masa studi empat tahun.

Pelajaran Agama Islam dalam Kurikulum Nasional

Pada tahun 1943, Mahmoed adalah orang yang mengusulkan kepada pemerintah Jepang agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.

Setelah Indonesia merdeka, mata pelajaran agama Islam mulai diterapkan di seluruh Sumatra Barat mulai 1 April 1946. Dan pada 20 Januari 1951, Departemen Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia menetapkan mata pelajaran agama Islam menjadi bagian dari kurikulum resmi pendidikan nasional.

Tak hanya itu, Mahmoed juga mendirikan sekolah tinggi Islam Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 1957, sekaligus menjadi dekannya sampai 1960. ADIA adalah cikal Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta.

Puncak karier Mahmoed di perguruan tinggi adalah ketika ia diangkat menjadi rektor IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 20 November 1966 sampai pensiun pada 1970. Pada 16 Januari 1982 Mahmoed mengembuskan napasnya yang terakhir.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Irfan Teguh