Menuju konten utama
22 April 1529

Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis

Titah sang raja.
Belah dunia jadi
milik berdua.

Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis
Ilustrasi kapal Portugis dan peta dunia abad ke-16. tirto.id/Gery

tirto.id - Sejak ditandatanganinya Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529, tepat hari ini 489 tahun lampau, Spanyol harus segera hengkang dari Kepulauan Maluku dan fokus menjalankan kegiatannya di Filipina. Berkat kesepakatan ini pula, Portugis sepenuhnya “berhak” atas monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Namun, Perjanjian Zaragoza tidak cuma mencakup dua kepulauan di Asia Tenggara tersebut. Lebih dari itu. Kesepakatan yang termaktub dalam perjanjian ini pada intinya adalah membagi luar Eropa menjadi dua, untuk Spanyol dan Portugis, sebelum nantinya bangsa-bangsa Barat lainnya juga turut berebut wilayah-wilayah di berbagai belahan bumi yang sebenarnya bukan milik mereka.

Membagi Bumi Menjadi Dua

Perjanjian Zaragoza (ditulis juga Saragosa atau Saragossa) merupakan tindak lanjut dari perundingan sebelumnya, yakni Perjanjian Tordesillas yang digelar tanggal 7 Juni 1494 di Valladolid, Spanyol, atau tidak lama setelah Christopher Colombus menemukan Benua Amerika pada 1492.

Dalam konteks Nusantara, R. Moh Ali melalui buku Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (2005) memaparkan, Perjanjian Tordesillas disepakati ketika Kerajaan Majapahit berada di ambang keruntuhan, yakni pada era Girindrawardhana (hlm. 184). Girindrawardhana alias Bhre Kertabumi atau yang sering disebut Brawijaya V (1474-1519) adalah raja Majapahit yang terakhir.

Paus Aleksander VI bahkan memegang peranan penting dalam Perjanjian Tordesillas. Pemimpin besar Vatikan inilah yang menentukan batas wilayah untuk Spanyol dan Portugis karena kedua kerajaan itu merupakan negara penganut Katolik yang taat.

Menurut Encyclopedia of World Trade (2015), Paus menentukan garis demarkasi (pemisah) sekitar 300 di sekitar Kepulauan Tanjung Verde, di Samudra Atlantik Utara, tepatnya pesisir barat Afrika. Spanyol memperoleh hak kepemilikan atas wilayah di sebelah barat garis, sementara Portugis di sebelah timurnya.

Lantas, mengapa hanya Spanyol dan Portugal yang berhak mendapatkan hak eksklusif atas wilayah dunia di luar Eropa dengan Perjanjian Tordesillas itu?

Alasan pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Spanyol dan Portugis adalah kerajaan Katolik terbesar saat itu. Yang kedua adalah karena Spanyol dan Portugis mempelopori penjelajahan samudera dengan mengirimkan pelaut-pelaut terbaiknya untuk menjelajah dunia baru setelah runtuhnya Bizantium (Romawi Timur) dan penguasaan Turki Ottoman atas Konstantinopel pada 1453.

Para penjelajah Eropa pertama memang berasal dari Spanyol atau Portugal. Dari Spanyol, misalnya, ada Christopher Columbus, Amerigo Vespucci, hingga Ferdinand Magellan. Sementara Portugis menugaskan Bartholomeus Diaz, Vasco da Gama, Alfonso de Albuquerque, dan seterusnya. Para pengelana perdana ini beredar pada medio abad ke-15 M.

Adapun penjelajah dari bangsa-bangsa Eropa lainnya baru muncul setelah Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza. Sebutlah Sir Francis Drake dari Inggris (1577), Abel Tasman dari Belanda (1642), atau Samuel de Champlain dari Perancis (1609). Nantinya, bangsa-bangsa inilah yang justru menguasai dunia dengan kolonialisme dan imperialismenya seiring melemahnya Spanyol dan Portugis.

Berebut Surga Rempah-rempah

Perjanjian Tordesillas ternyata belum cukup memuaskan lantaran terjadinya beberapa sebab yang luput dari kesepakatan. Salah satunya adalah kehadiran Spanyol di Kepulauan Maluku yang sejatinya merupakan “milik” Portugis.

Maluku, kepulauan di Nusantara bagian timur yang terkenal akan sumber daya rempah-rempah yang sangat laku di Eropa, memang telah diklaim oleh Portugis yang tiba pada awal November 1512, kemudian disusul kedatangan armada laut Spanyol yang berlabuh beberapa hari berselang.

Kehadiran Spanyol di Kepulauan Maluku membuat Portugis berang. Dituliskan oleh Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), Portugis menyadari bahwa mereka harus segera memperkuat posisi di kepulauan rempah-rempah itu (hlm. 106).

Kebetulan, pada saat yang sama, Kesultanan Ternate dan Tidore yang merupakan dua kerajaan Islam terbesar di Kepulauan Maluku sedang berseteru. Portugis memanfaatkan situasi ini dengan mendukung Ternate. Penguasa Ternate saat itu, Sultan Bayanullah, berjanji akan menyerahkan monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Portugis.

Di sisi lain, tidak ada pilihan lagi bagi Spanyol kecuali berpihak kepada Kesultanan Tidore. Maka, pecahlah perang berkepanjangan di tanah Maluku, yang melibatkan dua kesultanan serumpun dengan dibantu oleh dua kelompok asing yang sebenarnya juga bertetangga di Andalusia sana.

Perseteruan antara Spanyol dan Portugis di Kepulauan Maluku berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya, kedua belah pihak menyepakati untuk berunding pada 22 April 1529, yakni Perjanjian Zaragoza, masing-masing diwakili oleh rajanya. Spanyol oleh Charles V, sedangkan Portugis oleh John III (H. Delpar, The Discoverers: an Encyclopedia of Explorers and Exploration, 1980: 329).

Secara garis besar, isi Perjanjian Zaragoza tetap membagi wilayah dunia di luar Eropa untuk Spanyol dan Portugis. Dari Meksiko ke arah barat hingga Kepulauan Filipina menjadi milik Spanyol. Sementara Portugis mendapatkan wilayah dari Brasil ke timur sampai Kepulauan Maluku.

Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Zaragoza, maka Spanyol harus segera meninggalkan Kepulauan Maluku dan kembali fokus di Filipina. Sedangkan Portugis diperkenankan tetap melakukan aktivitasnya di Kepulauan Maluku, termasuk memonopoli perdagangan rempah-rempah (Joko Darmawan, Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara, 2017:17).

infografik mozaik perjanjian zaragoza

Pasca-Perjanjian Zaragoza

Portugis sebenarnya tidak gratis untuk mendapatkan kembali Kepulauan Maluku. Raja John III harus membayar sejumlah uang kepada Raja Spanyol, Charles V, yakni sebesar 350.000 dukat, mata uang keluaran Kekaisaran Romawi yang berlaku untuk transaksi internasional pada masa itu.

Spanyol ternyata tidak sepenuhnya rela melepaskan Maluku kepada Portugis. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-rempah (2016) mengungkapkan, armada laut Spanyol masih tetap datang ke Maluku secara diam-diam, baik yang bertolak langsung dari negara asalnya maupun kapal-kapal yang berangkat dari Meksiko dengan menyeberangi Samudera Pasifik (hlm. 166).

Namun, cengkeraman Portugis di Maluku sudah terlanjur kuat. Portugis punya pengaruh besar dalam urusan internal kerajaan-kerajaan lokal di kepulauan itu, terutama Kesultanan Ternate dan Tidore.

Bahkan, Portugis pada akhirnya menjadi pihak yang paling menentukan siapa raja yang berhak bertakhta di kerajaan-kerajaan pribumi itu. Mereka dengan seenaknya menyingkirkan pemimpin rakyat yang tidak kooperatif atau dianggap membangkang, Sedangkan Spanyol hanya bisa mencuri-curi kesempatan untuk mengais rempah-rempah dari Kepulauan Maluku.

Kekuasaan Portugis di Maluku berakhir ketika Ternate dipimpin oleh Sultan Baabullah. Sultan berjuluk “Sang Penakluk” ini merangkul seluruh kerajaan di Kepulauan Maluku, juga dari Makassar, Jawa, bahkan Melayu (Sumatera). Dengan kekuatan besar berupa 2.000 kapal tempur dan lebih dari 120.000 prajurit, Portugis berhasil diusir pada 1575.

Selanjutnya, Kepulauan Maluku jatuh ke tangan Belanda yang datang pada 1605. Belanda kemudian bahkan menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara dan kondisi ini berlangsung hingga 17 Agustus 1945, kendati Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh sejak 27 Desember 1949.

Jika Portugis gagal mempertahankan Kepulauan Maluku, kedudukan Spanyol di Filipina justru semakin mantap usai Perjanjian Zaragoza. Kerajaan Spanyol menjadikan Filipina sebagai koloninya selama ratusan tahun. Kemudian, sejak 1821, Filipina ditetapkan menjadi salah satu provinsi Spanyol meskipun sempat direcoki Inggris pada 1762.

Filipina benar-benar lepas dari pendudukan Spanyol pada 1898 namun segera diakusisi oleh Amerika Serikat. Amerika baru mengakui kemerdekaan Filipina pada 4 Juli 1946 seiring berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Kehadiran bangsa-bangsa Barat generasi baru era imperialisme, termasuk Belanda, Perancis, Inggris, bahkan Amerika Serikat, memungkasi kedigdayaan dua penguasa dunia, Spanyol dan Portugis, yang salah satunya ditetapkan melalui Perjanjian Zaragoza.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan