Menuju konten utama

Perjalanan Panjang Siti Mazuma Bela Perempuan Korban Kekerasan

Meski pendampingan korban perlu energi dan kekuatan mental, tapi Zuma dapat suntikan semangat dari resiliensi korban.

Perjalanan Panjang Siti Mazuma Bela Perempuan Korban Kekerasan
Siti Mazuma, Direktur LBH APIK Jakarta. foto/Dok. Siti Mazuma

tirto.id - Siti Mazuma sudah 11 tahun mengabdikan dirinya sebagai pembela perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan. Sejumlah kasus sudah ia tangani. Getir yang dialami selama menjalankan kerja advokasi tak menyurutkan semangatnya untuk memperjuangkan hak para korban kekerasan.

“Banyak hal yang juga menguatkan saya bahwa berjuang bersama mereka [perempuan penyintas kekerasan] itu sesuatu yang memberikan banyak energi baik,” kata Siti Mazuma yang saat ini menjabat sebagai Direktur LBH APIK Jakarta.

Pada 25 November 2022, bertepatan dengan hari internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan juga hari guru, saya menjumpai Siti Mazuma di kantornya, LBH APIK Jakarta di Jakarta Timur. Saya mendengarkan kisahnya selama 11 tahun mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan.

Zuma, sapaan karib Siti Mazuma, mengisahkan awal mula ketertarikan dia pada bidang bantuan hukum dan advokasi korban kekerasan. Mulanya, semasa menjadi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zuma mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) yang digelar LBH Jakarta.

Dari situ, ia mulai menemukan ketertarikannya di bidang bantuan hukum. Soal pilihannya yang spesifik terhadap isu perempuan, Zuma mengaku, sejak lama ia tertarik pada kajian gender dan merasa sejumlah persoalan yang kerap dihadapi perempuan memiliki kedekatan dengan dirinya.

Zuma bercerita, ketika perempuan menjadi korban kekerasan, kerap kali mereka tak bisa memikirkan keselamatan jiwanya sendiri. Para korban juga perlu memikirkan anak-anak yang menjadi tanggungannya.

“Karena perempuan itu tidak berdiri sebagai korban, ya. Kadang kalau jadi korban, juga membawa anak dan lain sebagainya. Belum lagi soal stigma (yang kerap dilekatkan kepada perempuan korban kekerasan),” kata Zuma di kantornya, Jumat, 25 November 2022.

Dari situlah ia kemudian bertekad untuk menebar manfaat dengan menjadi pendamping bagi perempuan-perempuan yang memerlukan bantuan hukum.

“Saya merasa bahwa [saya] harus menjadi sesuatu ketika saya lulus nanti. Bahwa saya harus punya tujuan yang itu bisa bermanfaat bagi perempuan, bagi orang-orang yang membutuhkan layanan bantuan hukum," ujar Zuma.

Ia bahkan memutuskan untuk menempuh pendidikan advokat demi memperluas kapasitasnya dalam pendampingan korban.

“Ketika kita hanya sarjana hukum, ya tidak bisa mendampingi terlalu banyak, paling hanya pendampingan-pendampingan non-litigasi, sementara pembelaan [di pengadilan] kan, harus [dilakukan oleh] advokat,” kata dia.

Risiko Mendampingi Korban: Menghadapi Trauma Sekunder

Zuma mengakui bahwa kerja advokasi yang dilakoninya hingga saat ini membawa sejumlah risiko. Salah satunya adalah membangkitkan secondary trauma atau trauma sekunder yang dapat muncul akibat bersinggungan langsung dengan pihak-pihak yang mengalami trauma.

“Mendampingi kasus itu, kami kan menerima korban, cerita segala persoalannya. Kayak kita mengalami secondary trauma, karena segala persoalan korban, kan, itu kami tampung dan kami berusaha mencari cara supaya kita bisa membantu dia,” kata Zuma.

Sejumlah pergolakan telah Zuma rasakan dalam perjalanannya mendampingi para korban kekerasan. Mulai dari mimpi buruk, kepercayaan diri menurun, hingga kehilangan rasa percaya terhadap pasangan sudah pernah ia alami. Bahkan, masih tergambar jelas dalam ingatan Zuma, suatu kali ia pernah menangis di pengadilan saat mendampingi korban pemerkosaan bersidang.

Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HKATP), Zuma menceritakan pengalaman pahitnya saat mendampingi sidang seorang remaja berusia 16 tahun yang menjadi korban pemerkosaan dan akhirnya mengandung.

Masalah tak berhenti sampai di sana, korban yang tak menyadari kehamilannya karena minim pengetahuan, akhirnya mengabaikannya. Korban bahkan berangkat merantau dari kampung halamannya ke Jakarta untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Seiring berjalannya waktu, korban akhirnya melahirkan anaknya di Jakarta dan anaknya meninggal dunia saat dilahirkan. Ia pun dituduh melakukan pembunuhan terhadap anaknya tersebut.

Zuma, bersama tim LBH APIK saat itu turut menginvestigasi perkara tersebut hingga ke kampung halaman korban, mengumpulkan bukti hingga menjalani persidangan.

Sayangnya, dalam persidangan, jaksa beranggapan terjadi pembunuhan berencana karena tidak mungkin seorang perempuan tak menyadari kehamilannya.

“Peristiwa yang terjadi dalam ruang persidangan ini menyalahkan korban itu membuat saya tidak tahan. Negara itu memberikan apa kepada anak ini? Giliran melakukan suatu kesalahan yang itu pun belum terbukti, stigma, ujaran-ujaran yang menyudutkan korban, itu terjadi di ruang sidang dan saya tidak kuat untuk mendengar, saya nangis,” kata Zuma bercerita.

Teguh Membela Perempuan Korban Kekerasan dan Kelompok Rentan

Getir yang dialami Zuma selama menjalankan kerja advokasi, nyatanya tidak menyurutkan nyala semangatnya untuk terus memperjuangkan hak korban kekerasan.

Hal ini dibuktikan dengan narasi-narasi vokalnya bersama banyak elemen masyarakat lain untuk memperjuangkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sejak mula diajukan hingga akhirnya disahkan pada 12 April 2022.

Tak berhenti sampai di situ. Zuma dan juga para pendamping korban lainnya masih menunggu disusunnya peraturan turunan dari UU TPKS tersebut untuk menjadi guideline dalam implementasinya.

Ia juga berharap penegak hukum, sebagaimana juga para pendamping korban, dapat meng-upgrade pengetahuan hukum dengan adanya instrumen perundang-undangan baru tersebut. Sehingga korban bisa mendapat perlindungan yang maksimal.

Sembari menunggu seluruh proses tersebut, Zuma bersama LBH APIK Jakarta terus berupaya menyuarakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya melalui sejumlah event yang digelar untuk merayakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HKATP).

Zuma berharap, gaung suara perayaan 16 HKATP dapat meningkatkan keberanian korban untuk melapor, mendapatkan rasa aman, dan juga meningkatkan pemahaman penegak hukum bahwa kekerasan berbasis gender itu ada dan perlu diselesaikan bersama.

“Dengan perayaan 16 HKATP semakin ditekankan lagi kalau kekerasan terhadap perempuan tidak boleh terjadi,” kata dia.

Zuma mengatakan bahwa meskipun kerja pendampingan korban kekerasan memerlukan banyak energi dan kekuatan mental yang baik, namun pada saat yang sama, ia juga mendapatkan suntikan semangat dari resiliensi korban.

“Membantu korban, menangani kasus bersama, melakukan advokasi untuk penghapusan kekerasan berbasis gender itu secara nggak langsung itu menguatkan diri saya ketika misalkan melihat korban dengan berbagai macam kasus, tapi mereka tetap bisa survive. Itu, kan, sebuah peristiwa yang sangat menginspirasi,” kata Zuma.

Ia mengisahkan perjumpaannya dengan seorang ibu yang ketika anaknya menjadi korban pemerkosaan oleh bapaknya sendiri, sang ibu kemudian mengambil langkah hukum hingga suaminya yang adalah pemerkosa tersebut akhirnya dipenjara 16 tahun.

“Walaupun keluarga besarnya ini kayak memarahi ibunya, tapi kemudian ia tetap melanjutkan proses hukum, anak-anaknya akhirnya bisa kuliah juga dengan perjuangan ibunya ini,” kata Zuma menghimpun kembali ingatannya.

Zuma juga menyebut bahwa perjuangan para korban adalah bahan bakar utama lahirnya UU TPKS.

“Termasuk UU TPKS ini disahkan, kan, karena mereka [korban kekerasan seksual] tidak berhenti bersuara, melaporkan kasusnya walaupun banyak stigma, walaupun dapat diskriminasi, walaupun proses hukum bagi mereka itu tidak gampang, tapi mereka tetap bersemangat untuk bertahan,” kata dia.

Zuma, secara pribadi juga bertekad untuk tetap membela hak kelompok rentan, bahkan hingga nanti setelah ia tak lagi menakhodai LBH APIK Jakarta.

“Walaupun misalkan nanti sudah selesai di LBH APIK, [saya berharap] bisa tetap berada pada rohnya, untuk memperjuangkan keadilan bagi kelompok minoritas, untuk kesetaraan gender, dan juga bisa membela kelompok rentan," ujarnya.

Siapapun Bisa Jadi Pelindung Korban & Berhak Dapat Perlindungan

Zuma menuturkan, selama 3 tahun terakhir, LBH APIK Jakarta mencatat pelaporan kekerasan berbasis gender selalu meningkat setiap tahun.

“2019 tuh cuma 700 sekian kasus. 2020 [naik menjadi] 1.000 kasus, 2021 [menjadi] 1.321 kasus dan ini 2022 (pelaporan kasus kekerasan ke LBH APIK Jakarta) masih lebih dari 1.000 dan lebih tinggi dari tahun sebelumnya,” kata Zuma memaparkan.

Sore itu, sebelum kami mengakhiri sesi wawancara, Zuma mengatakan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk masyarakat yang awam terhadap isu kekerasan berbasis gender.

Misalnya dengan memastikan bahwa rumah kita dan di manapun kita berada, lingkungan kita terbebas dari tindak kekerasan.

Spesifik kepada media dan jurnalis, Zuma menyebut, para pewarta dapat mengambil bagian untuk melindungi korban dengan cara tidak membuat berita yang mendiskriminasi korban.

Ia sebut jurnalis memiliki peran sangat penting. “Bagaimana kita melakukan pemberitaan yang tidak mendiskriminasi korban. Supaya korban tidak distigma oleh masyarakat, bagaimana membingkai sebuah pemberitaan itu menjadi pemberitaan yang berpihak pada korban.”

Jurnalis, kata Zuma, perlu melakukan pemberitaan yang tidak hanya menarik, tapi juga mengedukasi masyarakat khususnya dalam hal-hal menyangkut kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, Zuma mengatakan, generasi muda yang tertarik dengan kerja-kerja lembaga bantuan hukum juga dapat terjun langsung memberikan edukasi, advokasi bahkan bantuan hukum kepada korban kekerasan yang kian hari tak juga kian menurun jumlahnya.

Bantuan hukum serta advokasi untuk korban, kata Zuma, tak boleh diskriminatif. Karena kekerasan dapat terjadi pada siapa saja, maka perlindungan juga selayaknya dapat diakses oleh siapa pun.

“Bahkan ketika perempuan yang menolak [UU TPKS] itu, dia jadi korban kekerasan seksual, maka dia tetap akan dilindungi oleh undang-undang ini," kata Zuma.

Baca juga artikel terkait KORBAN KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz