Menuju konten utama

Peristiwa Tsunami Karena Letusan Gunung Berapi

Sistem peringatan dini gempa dan tsunami yang dibangun pada 2004 tidak memasukkan ancaman tsunami yang lahir karena aktivitas gunung berapi.

Peristiwa Tsunami Karena Letusan Gunung Berapi
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Pada 22 Desember 2018, tsunami menghantam pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung. Sistem Informasi Gempa Bumi dan Tsunami (InaTEWS) yang dikelola Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak mendeteksi adanya aktivitas gempa tektonik.

Ketika ada laporan awal soal terjangan air laut di pesisir, BMKG menganggapnya sebagai gelombang pasang efek dari bulan purnama dan cuaca buruk. Baru pada pukul 23.55 WIB, lembaga tersebut meralat kabar: ada tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

BMKG memang tidak punya alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan bukan oleh gempa tektonik. Inilah yang jadi penyebab mengapa BMKG salah membaca situasi di lapangan: tidak mengirimkan berita peringatan dini dan salah menyebut gelombang tsunami hanya sebagai gelombang pasang.

“Sistem peringatan dini yang dibangun sejak Tsunami Aceh 2004 fokus ke tsunami dari gempa bumi tektonik. Dari gunung api maupun longsoran pun tidak. Jadi sistem di Indonesia tidak mempertimbangkan gempa bumi vulkanik. Apalagi gempa vulkanik bukan menjadi ranahnya BMKG,” ujar Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono kepada Tirto pada Sabtu (29/12) siang.

Aktivitas vulkanik gunung berapi memang menjadi wewenang badan geologi. Dalam rilis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada 24 Desember 2018, PVMBG menduga tsunami dipicu oleh runtuhan sebagian tubuh Anak Krakatau (flank collapse), khususnya di sektor selatan dan barat daya.

Namun untuk mendeteksi dampak longsoran yang diduga menyebabkan tsunami, PVMBG berdalih bahwa hal itu bukan wewenang mereka.

"Badan Geologi bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan. Tugas dan kewenangan itu tidak meliputi peringatan dini tsunami," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami wilayah Barat PVMBG Badan Geologi, Ahmad Solihin.

Di tengah saling lempar tanggung jawab antar lembaga yang menuai sejumlah kritik dari para ahli dan akademisi, Ignasius Jonan selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membawahi Badan Geologi menyebut model tsunami di Selat Sunda yang tidak didahului oleh gempa bumi adalah peristiwa pertama kali di dunia.

"Jadi, ini pertama kali ada tsunami tanpa ada gempa. Karena biasanya tsunami itu pada umumnya di seluruh dunia itu didahului dengan gempa besar. Ini tidak," ujar Jonan saat kunjungan di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Banten pada Jumat (28/12), seperti dilansir dari Liputan6.com

Bukan yang Pertama

Secara definisi, gempa bumi bukanlah penyebab tunggal tsunami. United States Geological Survey (USGS) menjabarkan tsunami sebagai gelombang laut yang dipicu oleh gempa bumi besar yang terjadi di dekat atau di bawah laut. Penyebabnya bisa dari letusan gunung berapi, tanah longsor bawah laut, atau tanah longsor di daratan yang sejumlah besar materialnya jatuh ke dalam air. Itulah yang akhirnya membedakan tsunami dengan gelombang pasang yang disebabkan oleh angin kencang atau badai. Tsunami punya karakter arus yang kuat dan mampu masuk jauh ke daratan dengan efek pukulan.

Irwan Meilano, peneliti gempa dan pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan tsunami seperti di Selat Sunda pekan lalu bukanlah yang pertama di Indonesia. Terlebih letusan Krakatau 1883 juga mengakibatkan tsunami besar. Namun jika dihitung sejak sistem peringatan dini tsunami Indonesia yang hadir setelah gempa dan tsunami Aceh 2004, peristiwa tsunami Selat Sunda pekan lalu bisa dibilang adalah yang pertama.

“Di era pengamatan sekarang, mungkin ini kasus yang awal,” kata Irwan kepada Tirto pada Sabtu (29/12) siang. "Dalam rentang waktu sistem peringatan dini dipasang, kasus yang model seperti ini (tsunami Selat Sunda 2018), ya baru sekarang," imbuhnya lagi.

Menurut Oregon State University, sekitar lima persen tsunami terbentuk dari aktivitas gunung berapi, dan sekitar 16,9 persen kematian akibat erupsi gunung berapi terjadi karena tsunami. Catatan Volcanogenic Tsunami dari Oregon State University menunjukkan, ada 34 tsunami vulkanik yang terjadi di seluruh dunia sejak 1638 SM sampai 2007.

Dari 34 tsunami vulkanik tersebut, ada beberapa terjadi di Indonesia. Selain tsunami Selat Sunda 1883 yang terjadi karena letusan besar Gunung Krakatau, ada pula letusan besar Gunung Ruang di Sulawesi Utara yang membuat aliran piroklastik mengalir ke laut dan menciptakan gelombang tsunami setinggi 26 meter. Di Flores, Gunung Paluweh yang meletus pada 1928 menyebabkan longsoran dan menyebabkan tsunami setinggi 10 meter.

Letusan besar Tambora pada 1815 juga diikuti tsunami setinggi 10 meter dan menewaskan lebih dari 10.000 orang. Pada 1979, dinding Gunung Iliwerung yang terletak di Nusa Tenggara Timur runtuh ke laut. Longsoran itu menyebabkan tsunami setinggi sembilan meter, dan menewaskan lebih dari 550 orang.

Catatan berbagai kasus di atas memberikan gambaran bahwa tsunami yang tidak didahului oleh gempa bumi sudah berkali-kali terjadi di Indonesia.

Infografik Tsunami Dari Longsoran

Infografik Tsunami Dari Longsoran

Potensi Tsunami Vulkanik Indonesia

Menurut Aditya Riadi Gusman, peneliti tsunami Indonesia dari GNS Science Selandia Baru, potensi tsunami vulkanik terbesar kini masih terpusat di Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.

“Perlu digarisbawahi potensi (tsunami) masih ada di Anak Krakatau. Jadi karena aktif, kemungkinan besar bakal terjadi (tsunami) lagi di masa mendatang,” ujar Aditya kepada Tirto. “Ini yang terjadi kan baru longsoran, siapa tahu magma chamber-nya amblas karena isinya kosong (erupsi terus menerus). Itu kemungkinan bisa terjadi."

Saat menyusun simulasi peringatan dini tsunami berjudul Tsunami Drill (PDF) bersama BMKG pada 2007, Aditya mengaku sudah pernah memperingatkan bahaya tsunami vulkanik Anak Krakatau di Selat Sunda.

“Pada saat itu saya mengutarakan kalau ancamannya cukup besar dari Anak Krakatau. Tetapi karena sistem BMKG tidak mencakup pendeteksian tsunami dari Anak Krakatau, jadi untuk drill diskenariokan tsunami dibangkitkan oleh gempa di daerah subduksi Sunda di Samudra Indonesia,” ujar Aditya yang pernah bekerja di Institute of Earthquake Research, The University of Tokyo.

Setelah peristiwa tsunami Selat Sunda, BMKG mengaku akan lebih bersinergi dengan lembaga lainnya, khususnya Badan Geologi. Salah satu rencana yang akan mereka kerjakan adalah membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) bersama-sama.

“Ternyata ini (tsunami) datang dari sudut gunung api meletus, longsor. Tentu mau tidak mau khususnya BMKG yang bertanggung jawab di tsunaminya ya memfokuskan gunung koordinasi dengan Badan Geologi,” ujar Kepala BMKG Rahmat Triyono.

Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono