Menuju konten utama
28 Februari 1947

Peristiwa 228, Pembantaian Nasionalis Cina terhadap Warga Taiwan

Kaum Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek membantai puluhan ribu penduduk Taiwan, dimulai pada 28 Februari 1947.

Peristiwa 228, Pembantaian Nasionalis Cina terhadap Warga Taiwan
Ilustrasi Mozaik Kesewenang-Wenangan Kuomintang. tirto.id/Fuad

tirto.id - Perempuan penjual rokok bernama Lin Jiangmai (sumber lain menyebut Lin Chiang-mai) menjadi korban kekerasan di Kota Taipei, Taiwan pada sore 27 Februari 1947. Kepalanya dipukul popor oleh pegawai Biro Monopoli Tembakau dan Alkohol karena melawan saat dagangannya, yang dianggap hasil selundupan, disita.

“Jika Anda menyita semuanya,” kata Lin, dikutip dari China Journal, “saya tidak akan bisa makan.”

Beberapa jam sebelumnya, sekitar pukul 11, Biro mendengar kabar tentang kapal pengangkut berpeti-peti rokok dan korek api ilegal mendarat di pelabuhan Danshui, sebelah utara Taipei. Rokok dan korek api adalah komoditas yang dimonopoli oleh pemerintah nasionalis Kuomintang. Hanya pedagang berizin yang boleh menjualnya.

Sebuah tim lantas dikirim, berharap menangkap basah transaksi itu. Tapi mereka tak menemukan apa pun kecuali Lin yang tengah berjualan rokok di luar kedai teh.

Lin yang menangis setelah dipukul menyedot perhatian orang di sekelilingnya. Warga yang marah meminta barang dagangan janda beranak dua itu dikembalikan. Salah satu petugas yang panik menembak ke arah kerumunan. Chen Wenxi, yang tengah berdiri di sekitar tempat kejadian, tertembak dan tewas.

Chen memang satu-satunya yang terbunuh saat itu, tapi korban-korban lain berjatuhan setelahnya.

Lin, dan siapa pun yang ada di sana, tak akan mengira bahwa apa yang terjadi hari itu akan memantik serangkaian kekerasan yang bertahan sampai lebih dari empat dekade. Peristiwa itu dimulai keesokan harinya, 28 Februari 1947, tepat 75 tahun lalu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Insiden 28 Februari” atau “Pembunuhan Massal 28 Februari” atau “Insiden 228”.

Ribuan Nyawa Menghilang

Kabar tentang pemukulan dan penembakan menyebar cepat ke seluruh Taiwan. Pada 28 Februari pagi, di gedung Biro Monopoli, kerumunan berjumlah 2.000 orang menuntut si penembak dieksekusi dan direktur Biro mengundurkan diri.

Di tempat terpisah, dua petugas Biro yang tengah memeriksa seorang pedagang dipukuli sampai mati ketika terpergok kerumunan lain.

Massa kemudian bergerak ke kantor Gubernur Chen Yi untuk menyampaikan tuntutan reformasi Biro Monopoli. George Kerr, diplomat Amerika Serikat untuk Taiwan yang menyaksikan langsung peristiwa ini dan mendokumentasikannya dalam Formosa Betrayed: The Definitive First-Hand Account of Modern Taiwan's Founding Tragedy (2017) mengatakan tanpa aba-aba berondongan peluru dari atas gerbang kantor membubarkan kerumunan dan menewaskan beberapa orang.

Penembakan ini memicu kemarahan warga Taiwan kepada semua orang Cina Daratan. Banyak yang dipukuli, mobil-mobil dibakar, beberapa kantor dan kediaman pejabat rendahan dirusak dan isinya diangkut keluar lalu dibakar.

Selama beberapa pekan setelah Insiden 28 Februari, sebagian besar wilayah Taiwan telah dikuasai warga sipil. Mereka membentuk Komite Penyelesaian yang secara formal menuntut 32 tuntutan kepada pemerintah seperti otonomi yang lebih besar, pemilihan umum yang bebas, dan pemberantasan korupsi.

Protes telah berubah menjadi pemberontakan rakyat terhadap pemerintah.

Melihat keadaan yang tak terkendali, kalangan atas Taiwan, termasuk kaum pengusaha dan tokoh masyarakat, berusaha berunding dengan gubernur. Namun sebagian besar dari mereka malah ditangkap dan dieksekusi.

Ketika itu di Taiwan hanya ada sekitar 10 ribu polisi. Jumlah tersebut terlalu kecil untuk memadamkan api pemberontakan. Akhirnya, pada 7 Maret, pasukan yang besar datang dari Cina Daratan. Menurut laporan New York Times pada 29 Maret, segera setelah mendarat, mereka langsung memberondong siapa pun yang ada di hadapan. Beberapa kasus kekerasan seperti mutilasi, pemerkosaan, dan penjarahan rumah dan gedung-gedung juga terjadi.

Ketika keadaan sudah mulai stabil di pengujung Maret, puluhan ribu penduduk Taiwan diperkirakan terbunuh atau menghilang.

Suara yang Dibungkam

Konteks politik Taiwan penting dibahas agar rangkaian peristiwa ini semakin dapat dipahami dengan jelas.

Pada 1895, Dinasti Qing menyerahkan Taiwan kepada Jepang sebagai bagian dari Perjanjian Shimonoseki yang mengakhiri perang Cina-Jepang Pertama. Selama lima puluh tahun berikutnya, Taiwan menjadi daerah koloni Jepang.

Tatkala Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Sekutu mengembalikan Taiwan kepada Cina yang saat itu dipimpin kaum Nasionalis (Kuomintang) yang telah menggulingkan Dinasti Qing pada 1911. Bulan Oktober 1945, Taiwan menjadi bagian dari Republik Cina yang dipimpin Chiang Kai-shek dan Chen Yi ditunjuk sebagai gubernur.

Euforia rakyat Taiwan terhadap berakhirnya pendudukan Jepang terjadi sebentar saja. Kegembiraan menyambut kedatangan kaum nasionalis dengan cepat berubah menjadi kekecewaan.

“Antusiasme penduduk Formosa [Taiwan] terhadap ‘pembebasan’ hanya bertahan enam minggu. Poster-poster mulai bermunculan di mana-mana mengecam pasukan nasionalis dan mempertunjukkan Chen Yi sebagai babi gendut [...] Coretan ‘Anjing pergi, babi datang!’ menempel di dinding-dinding seluruh Taipei dan terdengar di setiap percakapan,” tulis George Kerr.

Jadi, sebelum Insiden 28 Februari, rakyat memang telah lama jengah dengan pemerintah. Insiden 28 Februari kerap disebut-sebut sebagai akumulasi kemarahan.

Setelah Insiden 228, pasukan nasionalis mulai mundur atau melarikan diri dari Cina Daratan ke Taiwan karena kalah dari kaum komunis pimpinan Mao Zedong dalam Perang Saudara Cina (dan benar-benar terusir pada akhir 1949). Untuk mengamankan wilayah tersisa, pada awal Mei 1949, nasionalis Cina memberlakukan darurat militer di Taiwan. Pemerintahan nasionalis Chiang Kai-shek, atas nama keamanan dan stabilitas, membatasi hak-hak sipil warga secara ketat.

Periode ini dikenal dengan sebutan Teror Putih. Suasana ketakutan sengaja diciptakan polisi rahasia Komando Garnisun. Mereka menahan dan menghukum orang-orang yang dianggap mengancam keamanan dan ketertiban. Sasaran utama mereka adalah kaum terpelajar seperti dokter, profesor, jurnalis, pengacara, dan lain-lain. Juga termasuk mereka yang dianggap bersimpati terhadap komunis.

Selama Teror Putih, kasus-kasus yang diperkarakan pengadilan militer lebih dari 10 ribu. Para intelektual, seperti diungkap Sylvia Li-chun Lin dalam Representing Atrocity in Taiwan: the 2/28 Incident and White Terror in Fiction and Film (2007), kerap dituduh subversif hanya karena terlibat dalam kelompok membaca dan diskusi.

Secara kronologis, Insiden 228 memang tidak termasuk ke dalam Teror Putih, namun kerap disebut sebagai katalisatornya. Pemerintah nasionalis tak ingin pemberontakan berulang di kemudian hari.

Infografik Mozaik Kesewenang Wenangan Kuomintang

Infografik Mozaik Kesewenang-Wenangan Kuomintang. tirto.id/Fuad

Jaringan mata-mata Komando Garnisun yang tersebar di mana-mana, bahkan sampai ke luar negeri, membuat masyarakat Taiwan tak berani membicarakan pengalaman mereka mengenai Insiden 28 Februari dan selama Teror Putih. Seperti yang ditulis Amy B. Wang dalam Washington Post (28/2/2017):

“Selama hampir empat dekade, Chiang Kai-shek memerintah lewat darurat militer di Taiwan. Karena hal itu, setiap penyebutan tentang pembunuhan atau lenyapnya orang-orang menjadi terlarang. Dari Taipei di utara sampai ke Kaohsiung di ujung selatan pulau, anggota keluarga yang lenyap tak pernah diucapkan [...] bahkan sewaktu hukum darurat militer dicabut pada 1987, budaya diam tetap ada.”

Mungkin bukan kebetulan jika sutradara Hou Hsiao-hsien dalam A City of Sadness (1989)—film yang berkisah tentang keluarga Taiwan dalam pusaran Insiden 28 Februari dan Teror Putih—menciptakan karakter utama Wen-ching (Tony Leung) yang tuli serta bisu. Kebisuan Wen-ching adalah metafora diamnya rakyat Taiwan selama empat dekade.

Perlahan memang muncul secercah harapan. Banyak orang semakin lantang bicara soal ini tanpa lagi terbebani rasa takut. Pemerintahnya pun, alih-alih mengingkari terjadinya pembantaian bahkan membenarkannya, telah bersikap terbuka. Tahun 2007 lalu, Presiden Taiwan Chen Shui Bian mengatakan Chiang Kai-shek yang telah meninggal harus diadili.

Tahun lalu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan: “Berkat kerja keras berbagai pihak, pemerintah kini dapat dengan tegas mengatakan bahwa sejarah Peristiwa 228 bukan lagi hal tabu, dan pandangan penduduk asli terhadap peristiwa tersebut tidak akan lagi diacuhkan.” Sikap ini tentu patut ditiru pemerintah mana pun yang di masa lalu pernah melakukan hal serupa terhadap rakyatnya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 28 Februari 2018 dengan judul "Insiden 28 Februari di Taiwan dalam Empat Dekade Kebisuan". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PEMBANTAIAN MASSAL atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Politik
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Rio Apinino