Menuju konten utama

Peringatan Kemerdekaan Papua Barat di Jawa-Bali Dipusatkan di Yogya

Peringatan 1 Desember terpusat di DIY karena dulu Soekarno mencetuskan Trikora di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada 19 Desember 1961.

Peringatan Kemerdekaan Papua Barat di Jawa-Bali Dipusatkan di Yogya
Puluhan orang memeringati 1 Desember 1961 atau Hari Kemerdekaan Papua Barat ke-58 di Bundaran Universitas Gadjah Mada, Sleman, DIY, Minggu (1/12/2019). tirto.id/Zakki

tirto.id - Puluhan orang memperingati 1 Desember 1961 atau Hari Kemerdekaan Papua Barat ke-58 di Bundaran Universitas Gadjah Mada, Sleman, DIY, Minggu (1/12/2019).

Mereka menyanyikan lagu dan yel-yel selama lebih dari 1 jam sejak berunjuk rasa mulai pukul 13.30 WIB. Mereka melingkar dengan batasan tali plastik selama aksi atau saat berjalan kaki menuju Bundaran UGM.

Peserta aksi membawa poster bernada protes pemerintah Indonesia. Di antaranya berbunyi ‘Hentikan Operasi Militer di Tanah Nduga’, ‘Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Paling Demokratis’, ‘There’s No Happiness In Indonesia Colonialism’ dan ‘ Buka Akses Jurnalis Seluas-luasnya di West Papua’.

Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Pusat, John Gibai menyebut, pemusatan aksi 1 Desember untuk Pulau Jawa-Bali, karena ada latar belakang historis.

Ia bilang, dulu Soekarno mencetuskan Trikora di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada 19 Desember 1961 yang membuat Bangsa Papua Barat kehilangan kemerdekaannya hingga hari ini. Operasi Trikora, kata dia, bukti aneksasi Indonesia atas Bangsa Papua Barat.

“Papua pernah merdeka pada 1 Desember 1961, tapi disabotase oleh Soekarno dengan Trikora. Kami menuntut agar pemerintah Indonesia menggelar referendum, karena ini tuntutan demokratis paling tinggi yang harus dihargai, untuk mengembalikan kebebasan Bangsa Papua Barat,” ungkap dia, di sela aksi.

Selama ini, kata dia, pemerintah menggunakan pendekatan militeristik di Papua, sehingga mengintimidasi penduduk, terutama menjelang dan saat peringatan 1 Desember.

“Orang Papua memperingati 1 Desember dengan ibadah di gereja, karena tidak mungkin dilakukan terbuka. Militer terlalu banyak di sana dan tak ditarik sejak Agustus lalu. Kami mendesak operasi militer dihentikan karena menimbulkan pelanggaran HAM seperti di Nduga dan Puncak,” kata dia.

Aksi ini juga diikuti oleh organisai FRI-WP, FMN, Seruni, Aliansi Sadhar Bergerak, dan Pemuda Baru Indonesia.

Pranadipa Ricko Syahpurta dari FRI-WP (Front Rakyat Indonesia untuk West Papua) mengatakan, sejak Agustus-November 2019, ada 83 tahanan politik berkaitan dengan West Papua.

Rinciannya 68 orang ditahan di enam kota berbeda di Papua dan sisanya 15 orang ditahan di luar Papua. Pasal yang diterapkan sebagian besar yakni delik makar dengan 22 aktivis politik.

Pasal ini mengenai Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Agus Kossay, Pimpinan Legislatif ULMWP, Buchtar Tabuni, Jubir FRI-WP, Surya Anta, dan aktivis mahasiswa Papua, Ambrosius Mulait.

“Kriminalisasi mestinya bukan ditujukan pada orang-orang yang mengalami diskriminasi, pun pada orang-orang yang membela korban diskriminasi,” kata Pranadipa.

Krisis kemanusiaan terjadi di Papua sejak aparat keamanan dari polisi dan tentara berada di Papua setahun lalu. Hal ini, kata dia, memperburuk kondisi masyarakat.

Ia mengutip data Tim Solidaritas Untuk Nduga, ada 5.000 orang mengungsi dan 139 orang meninggal akibat operasi militer di sana. Angka ini jauh dari perkiraan Kementerian Sosial yang menyebut pengungsi ada 2.000 dan orang meninggal berjumlah puluhan.

“Kami mendesak dihentikannya operasi militer di Nduga. Bebaskan Surya Anta dan semua tahanan politik West Papua serta berikan kebebasan dan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi atas semua persoalan di Papua,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait KEMERDEKAAN PAPUA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Widia Primastika