Menuju konten utama

Perhitungan & Faktor yang Membuat COVID-19 jadi Endemi pada 2022

Target yang harus diupayakan pemerintah adalah bukan menjadikan COVID-19 endemi tetapi statusnya menjadi benar-benar terkendali.

Perhitungan & Faktor yang Membuat COVID-19 jadi Endemi pada 2022
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 jenis Pfizer kepada warga di gedung Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/aww.

tirto.id - Sejumlah ahli epidemiologi memperkirakan status pandemi COVID-19 dapat berubah menjadi endemi pada 2022. Namun ada sejumlah faktor yang mempengaruhi di antaranya adalah kesiapan infrastruktur dalam penanganan COVID-19.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan bahwa penetapan pandemi menjadi endemi merupakan keputusan dari badan kesehatan dunia atau WHO.

"Ketika WHO mencabut situasi itulah negara-negara mulai menghadapi situasi yang spesifik lokal di dalam negeri masing-masing. Bagaimana di Indonesia. Sejauh ini kita memang belum mandiri secara infrastruktur, mulai dari vaksin, alat dan juga obat belum ada. Kalaupun di masa datang ada kemandirian itu memang itulah sebaik-baiknya keadaan," kata Hermawan saat dihubungi, Senin (25/10/2021).

Mengenai kemandirian vaksin misalnya, Indonesia memiliki vaksin Merah Putih tetapi progresnya belum signifikan. Kemudian mengenai obat COVID-19 sampai saat ini secara definitif belum ditemukan meskipun sudah ada penelitian dan uji klinis.

"Jadi 2022 sebagai sebuah tahun untuk kita menganggap COVID-19 terkendali iya, boleh jadi endemik iya. Tapi merdeka 100 persen dari Covid tentu tidak. Apalagi dengan pelonggaran kita saat ini sangat memungkinkan lonjakan kembali terjadi. Kita mungkin memasuki masa endemi di 2022 tetapi kita berharap terkontrol endeminya," ujar Hermawan.

Sementara itu Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman berpendapat status epidemi COVID-19 harusnya juga dihindari. Sebab bukan berarti ketika epidemi maka bahaya COVID-19 menghilang karena dalam situasi tersebut didefinisikan masih terdapat kasus COVID-19.

"Menjadi endemi itu bukan berarti tidak berbahaya. Ingat jika bicara angka kematian setidaknya di level global itu 10 kali dari flu dan itu sangat serius. Artinya 1 sampai 2 dari 100 orang akan meninggal. Itu sangat serius. Apalagi kalau bicara angka kematian kita lebih tinggi dari rata-rata dunia maupun asia. Antara 3 sampai 4 orang meninggal dari 100," kata Dicky, Senin.

Oleh sebab itu endemi sebetulnya juga harus dihindari. Target yang harus diupayakan adalah bukan menjadi endemi tetapi statusnya menjadi benar-benar terkendali.

"Terkendali itu adalah tidak ada kasus selama 28 hari, termasuk kesakitan dan kematian. Itu harus dijaga kalau bisa dipertahankan selama 2 sampai 3 bulan. Ini yang harus dijadikan sasaran semua daerah," kata Dicky.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan gelombang ketiga COVID-19 berpotensi terjadi pada tahun 2021 saat libur Natal dan Tahun Baru. Jika gelombang ketiga dapat dilewati ia optimis setelahnya akan masuk fase endemi.

“Kalau kita bisa melampaui Natal dan Tahun Baru ini dengan baik, pada Januari [2022] saya pikir kita sudah masuk pada endemi karena pada saat itu kita harapkan terdapat obat antivirus,” kata Luhut pekan lalu.

Baca juga artikel terkait PANDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Bayu Septianto