Menuju konten utama

Perempuan Saudi Kini Boleh Mengemudi, Tapi Hak-Hak Lain Nanti Dulu

Masih ada sejumlah larangan yang mengikat perempuan Saudi sehingga menyulitkannya dalam bekerja.

Perempuan Saudi Kini Boleh Mengemudi, Tapi Hak-Hak Lain Nanti Dulu
Perempuan Arab Saudi berbelanja di Al-Hayatt Mall, Riyadh. REUTERS/Fahad Shadeed/File Photo

tirto.id - 26 September 2017 menjadi hari bersejarah bagi perempuan Arab Saudi. Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud akhirnya mengizinkan perempuan mengemudi tanpa harus meminta izin dari wali sah. Keputusan ini diambil setelah melalui perdebatan alot selama bertahun-tahun.

Para perempuan Saudi menyambut gembira. Beberapa media menggambarkan keputusan ini sebagai kemenangan perempuan Saudi. Tiga hari berselang analis dari perusahaan minyak dan gas di Arab Saudi, Faisal BaDughaish mengunggah sebuah foto di akun twitter-nya yang menunjukkan istrinya sedang mengemudi.

“Saya mulai mengajari istri saya bagaimana cara mengemudi dengan cara yang aman dan legal di sebuah tempat parkir, bersiap menyambut pemberlakuan undang-undang [yang memungkinkan perempuan dapat mengemudi] tersebut,” cuit Faisal dalam unggahan foto tersebut.

Berbagai respons membanjiri akun Twitter Faisal. Ada beberapa yang tidak menyetujui langkah Faisal dalam mengunggah foto istrinya. Ada juga yang terdorong untuk melakukan hal senada: mengajari istri mengemudi.

Baca juga: Membaca Arah Reformasi Sosial di Arab Saudi

Tak hanya mengizinkan perempuan untuk mengemudi, kerajaan Arab Saudi juga membuat gebrakan baru dengan mengizinkan perempuan memasuki stadion mulai 2018. Akses perempuan untuk menjadi atlet dan di sektor pendidikan juga mulai terbuka.

Pada Olimpiade 2016, Saudi mengirim 4 atlet perempuan. Jumlah lulusan perempuan di universitas-universitas Saudi pun mendominasi. Pada tahun 2014, persentase lulusan perempuan mencapai 57 persen. Perempuan Saudi yang melek huruf juga meningkat dari 2 persen pada 1970 menjadi 91 persen pada 2015.

Pemberian akses kepada perempuan ini tak lepas dari Visi 2030 yang menekankan pengembangan sumber daya manusia sebagai aset alih-alih bergantung pada sumber daya alam. Sehingga reformasi pada sektor ekonomi, sosial dan politik salah satunya dimulai dengan memperhatikan kehadiran perempuan di ranah publik.

Alasannya sederhana: perempuan dapat berkontribusi besar untuk ekonomi Saudi sehingga pemerintah berharap reformasi ini dapat mendorong partisipasi pekerja perempuan dari 22 persen menjadi 30 persen.

Bagi Noura, seorang mahasiswa kesehatan di Arab Saudi berusia 26 tahun, larangan mengemudi adalah hambatan paling nyata bagi perempuan Saudi untuk bekerja.

"Itulah masalah utama kami," ujar Noura.

"Kami sulit bepergian, kerja atau sekolah, ke mana pun—bahkan ke rumah sakit."

Baca juga: Rok Mini di Arab Saudi

Guna memuluskan cita-cita jangka panjang Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman juga mulai membersihkan para ulama konservatif yang vokal menentang hak-hak perempuan serta mengkritik reformasi ekonomi dan sosial, termasuk dari lingkaran kerajaan. Kementerian Saudi juga mulai secara aktif mempromosikan manfaat ekonomi dari pekerjaan yang melibatkan perempuan.

Ketika Perempuan Saudi Mengemudi

Kholoud Attar, seorang perancang busana dan pemilik majalah di Saudi ini mengaku jika keputusan mengizinkan perempuan mengemudi akan mengurangi biaya menyewa supir atau ongkos transportasi. Biaya untuk membayar seorang supir menurutnya dapat mencapai sepertiga dari gaji bulanan pegawainya.

Hal senada diungkapkan oleh penguasa Saudi Marriam Mossalli. Di sisi lain, Mossalli mengakui bahwa keputusan ini dapat memancing polemik dari kaum konservatif.

"Biaya seorang supir bisa menghabiskan sekitar $400-800 per bulan, sementara rata-rata pendapatan pemula untuk seorang perempuan yang bekerja misalnya sebagai guru sekolah adalah $1.600 ... hampir setengah dari gaji Anda akan mengalir ke supir. Ini keputusan yang dilandasi pertimbangan ekonomi dan hak asasi manusia," ujar Mossalli kepada CNN.

Dalam sebuah survei tenaga kerja tahun 2017 yang digelar Badan Statistik Saudi, ditemukan bahwa 60 persen pekerja asing domestik (1,3 juta orang) bekerja sebagai sopir dengan jumlah pendapatan total sebesar $4 miliar. Padahal jumlah ini dapat dialokasikan oleh perempuan Saudi ke sektor lain seperti perawatan anak.

Namun kritik soal akses perempuan yang kian besar ini datang dari Philip Alston, seorang pengawas dari PBB yang menangani urusan kemiskinan dan hak asasi manusia.

Baca juga: Jalan Terjal Arab Saudi Melepas Ketergantungan Minyak

"Keputusan Raja Salman yang memungkinkan perempuan untuk mengendarai mobil merupakan langkah maju yang besar. Tapi sekarang harus dilengkapi dengan tindakan serupa yang memungkinkan perempuan bekerja tanpa memerlukan persetujuan wali laki-laki, "kata Alston.

"Akhir larangan mengemudi sangat penting bagi Visi 2030 karena membuka potensi ekonomi perempuan di kerajaan ini, terutama perempuan yang hidup dalam kemiskinan."

Infografik perempuan saudi dulu dan kini

Arab Saudi mengenal suatu sistem perwalian yang didasarkan pada tafsir ala Wahhabi. Di bawah sistem perwalian ini perempuan tidak dapat menikah, bercerai, bepergian, bekerja tanpa izin dari wali laki-laki mereka yang biasanya berasal dari anggota keluarga misalnya ayah, suami atau saudara laki-laki.

Mungkin akan ada banyak kantor atau perusahaan yang kini akan mempekerjakan perempuan, tetapi keluarga bisa saja tetap menjadi hambatan bekerja bagi seorang perempuan Saudi.

"Ketika saya berbicara kepada pebisnis sebagai konsultan, salah satu hambatan terbesar yang mereka sebutkan dalam mempekerjakan perempuan adalah keluarga," kata seorang perempuan konsultan manajemen Saudi yang menolak disebutkan namanya.

Baca juga: Ekonomi Arab Saudi: Banting Setir Sebelum Dihantam Resesi

Hal senada disampaikan Madawi al-Rasheed, seorang profesor antropologi sosial Arab Saudi di London School of Economics. Menurut al-Rasheed, rezim Saudi tidak begitu memperhatikan isu penting lain tentang perempuan.

"Kita bicara soal mengemudi seakan-akan itu yang paling penting—ini penting bagi gerakan perempuan ... tapi beberapa batasan hukum pun masih berlaku [dan jadi isu yang mendesak]," ujar Madawi.

"Ini perjuangan dan jalan panjang menuju kesetaraan yang sungguh-sungguh."

Isu hak perempuan Saudi mungkin diangkat sebagai pemanis konsolidasi kekuatan politik ketimbang untuk memberikan lebih banyak otonomi kepada perempuan. Argumen itu disampaikan Hala Al-Dosari dari Harvard’s Radcliffe Institute kepada The Atlantic. Ia mengungkapkan pemimpin Saudi saat ini sangat antusias untuk memberi kesan positif di hadapan dunia internasional.

“Mereka benar-benar aktif membangun jaringan di seluruh dunia, dengan PBB, dengan institusi ekonomi terkemuka, mencoba membuat program di sana untuk mempromosikan Arab Saudi sebagai perusahaan global. Mereka tahu dampaknya—baik ekonomi maupun politik—dari reputasi yang baik di ranah global,” katanya.

Kritik Al-Dosari mungkin berangkat dari masih banyaknya hak-hak penting perempuan lainnya yang tetap dilarang misalnya pembatasan pergaulan dengan lawan jenis, yang tentunya akan mempersulit perempuan di tempat kerja. Lain dari itu, hingga kini bahkan untuk membuat paspor pun perempuan harus minta izin dari walinya.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf