Menuju konten utama

Perempuan Pembawa Anjing di Masjid Diduga Skizofrenia, Apakah Itu?

Skizofrenia dan skizoafektif dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang karena penyakitnya yang bisa kambuh seumur hidup.

Perempuan Pembawa Anjing di Masjid Diduga Skizofrenia, Apakah Itu?
Ilustrasi gangguan mental. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Minggu, 30 Juni 2019, seorang perempuan berusia 52 tahun masuk ke Masjid Al Munawaroh di di Sentul City, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia menggunakan alas kaki dan membawa anjing.

Di dalam masjid, SM terlibat pertengkaran dengan salah satu jemaah masjid. Perbuatan SM kemudian direkam oleh seseorang dan tersebar di media sosial. Video itu viral dan menjadi perbincangan publik.

Perempuan tersebut akhirnya diperiksa oleh lima hingga enam dokter yang terdiri dari psikiater, ahli penyakit dalam, dan ahli gizi.

Wakil Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Polri Tingkat I, Kombes Pol Hariyanto menyampaikan bahwa SM pernah mendapatkan perawatan kejiwaan sejak 2013.

“SM pernah diperiksa kejiwaannya oleh dokter Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor dan Rumah Sakit Siloam Bogor. Kami berkoordinasi dengan psikiater di sana untuk mendapatkan data komplit dari SM,” kata Hariyanto kepada Tirto.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, SM diduga mengidap skizofrenia paranoid dan skizoafektif.

Apakah Perbedaan Skizofrenia dan Skizoafektif?

Situs WebMD menjelaskan, skizofrenia dan skizoafektif merupakan dua hal yang berbeda. Pada penderita skizofrenia, mereka akan berhalusinasi atau melihat dan mendengar sesuatu yang tidak nyata. Sementara itu, kondisi skizoafektif bisa membuat para penderita merasa terlepas dari kenyataan dan bisa mempengaruhi suasana hati.

Pengidap gangguan skizofrenia bisa mengalami delusi, yakni meyakini sesuatu yang tidak benar, sedangkan gangguan skizoafektif adalah perpaduan dari gejala skizofrenia dan kondisi kesehatan mental lain, seperti bipolar. Oleh karena itu, mereka yang menderita skizoafektif akan mengalami perubahan suasana hati, depresi, dan mania.

Namun, faktor penyebab keduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama lebih mudah terserang ketika mereka dilahirkan dari keluarga yang memiliki catatan skizofrenia dan skizoafektif.

Gangguan Mental Skizofrenia Paranoid

Dalam kasus yang dialami SM, ia diduga menderita skizofrenia paranoid. Menurut psikolog klinis Aenea Marella, skizofrenia paranoid merupakan salah satu jenis skizofrenia.

“Orang dengan skizofrenia paranoid, karena gangguannya, memiliki ide atau keyakinan bahwa dirinya atau orang terdekatnya menjadi target untuk dicelakai atau sedang diawasi oleh pihak-pihak tertentu yang berbahaya,” ujar Aenea.

Kita mungkin sering melihat atau merasakan sendiri diri kita mengalami halusinasi atau gangguan daya nilai realita, misalnya melihat sesuatu yang tidak ada, atau seperti mendengar suara seseorang berbicara kepada kita, padahal pada kenyataannya tidak ada. Namun, pada penderita skizofrenia, pengalaman ini berlangsung lama, berulang kali, dan bersifat kompleks.

Selain berhalusinasi, orang dengan skizofrenia paranoid akan mengalami delusi. Dalam kondisi ini, penderita akan memiliki ide atau keyakinan yang bertentangan dengan realita yang ada. Biasanya mereka akan menolak segala bukti-bukti yang diberikan untuk menentang keyakinannya.

“Misalnya meyakini bahwa dirinya adalah utusan dewa, meyakini dirinya adalah musuh badan intelijen yang hendak dibunuh,” ungkap Aenea.

Aenea mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, penderita skizofrenia bisa melakukan perilaku ganjil, misalnya tiba-tiba berteriak, serta isi pikiran dan pembicaraan yang tidak nyambung. Mereka juga biasanya akan mengalami penurunan minat dalam segala hal yang menyenangkan, bahkan bermasalah dalam merawat diri, minat sosial, dan ekspresi emosi.

“Individu dengan skizofrenia biasanya tidak menyadari bahwa dirinya mengalami masalah atau gangguan, sehingga mereka dapat menampilkan gejala-gejala tersebut tanpa merasakan adanya keanehan atau ketidapantasan,” tutur Aenea.

Stres kronis dan pola interaksi sosial memang bisa memengaruhi terjadinya skizofrenia, tapi itu bukan sebab tunggal, sebab ada peran dari faktor biologis akibat abnormalitas di area otak tertentu. “Komplikasi pada saat di dalam kandungan, maupun ketidakseimbangan zat kimiawi di otak diduga dapat menjadi penyebabnya,” kata Aenea.

Selain itu, skizofrenia paranoid juga sangat rentan terjadi pada orang dengan garis keturunan skizofrenia.

Siapa yang Rentan Terkena

Serafino G. Mancuso bersama 5 orang rekannya, dalam penelitian berjudul “A Comparison of Schizophrenia, Schizoaffective Disorder, and Bipolar Disorder: Result from the Second Australian National Psychosis Survey” (PDF, 2015), membandingkan secara kualitatif dari tiga jenis gangguan mental, yakni skizofrenia, skizoafektif, dan bipolar.

Penelitian tersebut dilakukan terhadap 1.469 orang 1.825 peserta yang memiliki diagnosis ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems revisi ke-10) subtipe manik dan depresi, yang terdiri dari 857 pasien skizofrenia, 293 pasien skizoafektif, dan 319 pasien bipolar. Responden dari penelitian ini berusia antara 18 hingga 64 tahun.

Dalam penelitian yang dilakukan di Australia tersebut, Mancuso, dkk. menemukan adanya usia lebih muda pada penderita skizofrenia pria dibandingkan perempuan.

Menurut Science Daily, perempuan dan laki-laki pada dasarnya memiliki perbedaan dalam menggunakan area otak. Pada perempuan tanpa skizofrenia, mereka menggunakan area otak yang lebih kompleks dalam mendeteksi keadaan mental orang lain, termasuk kepercayaan, keinginan, niat, dan emosi orang lain. Berbeda dengan laki-laki yang kurang kompleks dalam memproses kondisi mental orang lain.

Artikel di Psychology Today menjelaskan bahwa faktor risiko yang terkait perubahan hormon pada perempuan, seperti perimenopause atau menopause dianggap berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia. Maka tak heran jika gangguan mental ini sering terjadi pada perempuan dengan usia di atas 45 tahun.

Mancuso, dkk., juga menemukan bahwa pasien dengan skizoafektif melaporkan kejadian delusi dan depresi lebih banyak ketimbang pasien dengan skizofrenia. Sedangkan pada pasien yang hanya menderita bipolar, mereka yang mengalami skizoafektif cenderung mengalami gejala mania seumur hidup.

Menurut artikel di Psychology Today, gangguan skizofrenia bisa berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang seumur hidupnya karena mereka kesulitan menjalani kehidupan normal, terutama dalam interaksi sosial. Maka dari itu, penderita skizofrenia biasanya akan mengalami kesulitan dalam mencari nafkah dan bisa menyebabkan tekanan emosional pada orang-orang disekitarnya.

Infografik Paranoid dan Skizofrenia

Infografik Paranoid & Skizofrenia. tirto.id/Sabit

Psikolog klinis Aenea Marella menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, penderita skizofrenia tidak boleh berhenti mengonsumsi obat agar mampu bertahan dalam kondisi optimal mereka. Penderita pun membutuhkan waktu yang panjang untuk pulih dari gangguan kejiwaan mereka.

“Individu tersebut harus secara konsisten mendapat treatment medis dan psikoterapi untuk mencegah kemunculan gejala-gejala skizofrenia yang dapat mengganggu atau merugikan dirinya maupun orang-orang di sekitarnya,” ungkap Aenea.

Para penderita skizofrenia sangat membutuhkan penanganan psikologis agar bisa berfungsi secara sosial dan melakukan hal-hal produktif. Keluarga dan orang-orang terdekat penderita pun harus mendapatkan psikoedukasi tentang gangguan ini.

“Tidak jarang, anggota keluarga menjadi stres karena terus menerus menjalankan peran sebagai caregiver. Jika dibutuhkan, keluarga dapat mencari bantuan profesional untuk mengelola stres yang dialami agar mereka tetap sejahtera secara mental dan dapat menjadi sistem pendukung yang baik,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN JIWA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani