Menuju konten utama

Perempuan Korban Ledakan Populasi

Dunia memperingati World Population Day pada 11 Juli lalu. Tahun ini tema yang diangkat adalah “Investasi Perempuan Muda Sedunia”. Isu tersebut menjadi pokok perhatian mengingat dari 7,3 miliar penduduk dunia, 1,6 miliar di antaranya adalah generasi muda. Sebagian besar mereka hidup di negara-negara dunia ketiga, dan setengahnya adalah perempuan. Visinya yakni meningkatkan kualitas hidup perempuan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Alasannya, perempuanlah yang paling terdampak dari lingkaran setan populasi ini.

Perempuan Korban Ledakan Populasi
Ilustrasi perempuan. Antara Foto/Ahmad Subaidi

tirto.id - Dunia memperingati World Population Day pada 11 Juli lalu. Peringatan ini diawali dari inisiatif Dewan Pemerintahan UNDP (United Nations Development Programme) atau Badan Program Pembangunan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) di tahun 1989. Tujuannya sederhana, menyebarkan kewaspadaan terkait isu peningkatan populasi dunia plus segala permasalahan yang dibawanya.

Tahun ini tema yang diangkat adalah “Investasi Perempuan Muda Sedunia”. Isu tersebut menjadi pokok perhatian mengingat dari 7,3 miliar penduduk dunia, 1,6 miliar di antaranya adalah generasi muda. Sebagian besar mereka hidup di negara-negara dunia ketiga, dan setengahnya adalah perempuan. Visinya yakni meningkatkan kualitas hidup perempuan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Alasannya, perempuanlah yang paling terdampak dari lingkaran setan populasi ini.

Posisi Lemah Kaum Hawa

United Nation Population Fund PBB (UNFPA) menyebut kaum perempuan di dunia merupakan golongan yang tercerabut masa depannya. Mereka masih amat rawan menjadi korban praktik domestifikasi dan/atau subordinasi. Salah satu kasus yang paling kentara dan secara sistematis masih berlangsung hingga kini yakni fenomena pernikahan usia dini.

UNFPA juga menyebut para perempuan yang seharusnya mendapatkan pendidikan ini, terjebak dalam segudang masalah pernikahan. Padahal pendidikan diyakini sebagai jalan terbaik bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, untuk meningkatkan taraf hidupnya. Jika tak bersekolah, kemungkinan membangun masa depan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi pun kian menjauh. Kesadaran untuk menyetarakan kesempatan bagi laki-laki maupun perempuan untuk bisa mengakses pendidikan masih sangat rendah di negara berkembang.

Gabungan data dari situs Makers dan E Girl Power menyebutkan kurang lebih ada 61 juta perempuan muda di seluruh dunia gagal mendapatkan hak atas pendidikannya. Sekurang-kurangnya 25 persen dari mereka tinggal di negara berkembang dan berusia 15-24 tahun tak pernah menyelesaikan jenjang sekolah dasar.

“Para pemimpin dunia dan pemimpin komunitas-komunitas seluruh dunia mesti memfokuskan diri dan memiliki sikap yang tegas pada persoalan hak asasi dari para perempuan muda yang termarjinalisasi, terutama mereka yang miskin, tak bersekolah, tereksploitasi, atau menjadi korban praktik tradisi yang membahayakan diri, termasuk pernikahan anak,” kata Direktur Eksekutif UNFPA (United Nation Population Fund/Dana Penduduk PBB), Dr. Babatunde Osotimehin.

Rendahnya tingkat pendidikan berarti rendah pula akses bagi kaum perempuan muda untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan, hak asasi, dan hak atas organ reproduksinya sendiri. Mereka berada pada kondisi yang terus-menerus terancam akan datangnya beragam penyakit, cacat fisik, korban eksploitasi pun marjinalisasi, terutama untuk mereka yang menjadi anggota kelompok etnis minoritas atau hidup di daerah perang.

Konflik dan perang berimbas kepada populasi perempuan yang makin terancam sebagai korban. Data Women's Refugee Commision menyebut hingga saat ini lebih 80 persen dari 42 juta pengungsi merupakan perempuan baik dewasa maupun muda—bahkan anak-anak. Parahnya lagi, mereka kerap menjadi sasaran pemerkosaan sistematis, kekerasan, dan aksi teror.

Dalam banyak kasus, kondisi ini tak bisa dilepaskan dari faktor utama lain, yaitu kemiskinan. Kemiskinan tak hanya berlaku sebagai faktor penyebab utama perempuan tak mampu meninggikan kualitas dirinya baik lewat dunia pendidikan maupun karier, namun juga sebagai akibat. Lingkaran setan ini dijelaskan Osotimehin pada kasus marjinalisasi perempuan yang membuat kesehatan reproduksinya lemah, tetapi harus menjadi ibu bagi anak-anak mereka.

Laporan terbaru UNFPA menyebutkan 1 dari 3 perempuan yang berumur di bawah 18 tahun di negara-negara berkembang (termasuk Cina) telah berstatus sebagai istri. Lebih dari 700 juta perempuan seluruh dunia telah dipaksa membangun rumah tangganya yang rapuh dari sisi mentalitas. Pada 2015 saja, jumlahnya mencapai 15 juta orang.

Meski masih anak-anak, mereka telah “dipaksa” untuk hamil. Padahal, mereka belum siap secara mental, psikologis, maupun fisik. Sekali lagi, mereka terjebak dalam pernikahan dini.

Satu hal lain dari Laporan UNFPA menyebutkan setiap hari ada lebih dari 20.000 perempuan di bawah umur 18 tahun melahirkan. Akibatnya perempuan yang melakukan pernikahan dini ini otomatis memiliki beban ganda: ibu rumah tangga sekaligus pihak yang mesti menafkahi buah hatinya. Bila dihitung dalam setahun berarti ada lebih dari 7 juta anak-anak perempuan melahirkan. Menurut UNFPA, mereka yang menikah dini ini rata-rata menjadi semakin miskin.

Di sisi lain, kehamilan dan persalinan di usia belia meningkatkan resiko kematian baik sang ibu maupun bayi. Faktanya, kompilasi dari kehamilan dan kelahiran adalah penyebab kematian nomor dua bagi perempuan-perempuan muda di antara umur 15 dan 19 tahun. Tiap hari, 800 perempuan meninggal karena kehamilan.

Kondisi tersebut diperparah dengan data 225 juta perempuan perempuan di kawasan negara berkembang. Perempuan di negara berkembang rata-rata belum terpenuhi kebutuhannya untuk merencanakan dan menjalani kehidupan rumah tangga secara layak dan manusiawi.

Dari sisi kesehatan, kemiskinan akibat pernikahan dini ini mengakibatkan satu nyawa anak melayang tiap 20 detik. Penyebabnya kondisi sanitasi yang buruk. Sementara 1 dari 10 orang (atau sejumlah 663 juta jiwa) tak memiliki akses ke sumber air bersih. Sedangkan 1 dari 3 (atau sebanyak 2,4 juta jiwa) tak memiliki akses ke toilet. Ironisnya, data jumlah orang yang memiliki akses ke telepon genggam terhitung lebih banyak.

Distribusi Kesejahteraan Tak Merata

The Huffington Post akhir Juni lalu merilis analisis para ahli yang menyatakan bahwa sumber permasalahannya bukanlah perkara kelebihan populasi, melainkan kelebihan konsumsi dan tak meratanya distribusi sumber daya alam. Dengan kata lain, terjadi ketimpangan tingkat kesejahtaraan masyarakat dunia.

Menurut para analisis itu, sebanyak 86 persen sumber daya alam ludes hanya untuk dikonsumsi oleh 20 persen penduduk bumi yang memegang titel orang-orang kaya. 20 persen dari orang-orang kaya seluruh dunia mengonsumsi total 45 persen konsumsi daging dan ikan, sebanyak 20 persen orang termiskinnya hanya mendapat 5 persen. Mereka mendapat 58 persen total energi sedangkan yang termiskin hanya 4 persen. Luar biasanya lagi, 12 persen orang yang terkaya di dunia adalah konsumen 85 persen cadangan air bersih dunia.

Merujuk laporan World Centric, 20 persen penduduk dunia hidup dengan pengeluaran kurang dari 1 dolar per hari dan sekitar 30 persen hanya bermodalkan 2 dolar per hari. Sementara rasio penduduk terkaya dan termiskin adalah 5:1 di tahun 1820, 35:1 di era 1950-an, 72:1 di tahun 1992, dan terus melebar hingga saat ini.

Kesimpulan dari rasio itu, distribusi yang tak merata akan terus-menerus melahirkan kemiskinan baru dan membuat lingkaran setan terus berputar. Dunia makin sesak tetapi kualitas sumber daya manusianya tak akan mampu memutus mata rantai tersebut sebab alih-alih menjadi agent of change, manusia baru yang lahir hanya akan jadi beban. Perempuan hanya dipandang sebagai objek reproduksi manusia.

Untuk itu, sejak dari pemikiran, sikap, hingga kultur masyarakat terutama di kawasan negara dunia berkembang perlu ada perubahan bagaimana cara menghargai perempuan. Saat perempuan dihargai sebagaimana penghargaan terhadap laki-laki, baik dari segi akses pendidikan maupun karier ekonomi, kualitas hidupnya akan naik dan akan mampu menyediakan kondisi hidup yang lebih layak bagi anak-anak dan keluarganya.

Laporan UNFPA menyatakan bahwa perempuan terdidik lebih cenderung menunda usia pernikahan dan kehamilan untuk menunggu usia ideal mereka menikah. Hasilnya anak-anak mereka lahir dan tumbuh lebih sehat. Buktinya, UNFPA menyebut terjadi penurunan disparitas gender di jenjang pendidikan dasar. Jumlahnya terpotong lebih dari setengahnya sejak 1999.

Sayangnya, para perempuan ini masih tertinggal di jenjang pendidikan menengah. Di tahun 2012, 63 persen perempuan belum mencapai kesetaraan gender saat mendaftarkan dirinya ke sekolah-sekolah menengah.

Dengan kondisi ini, pekerjaan rumah untuk mengatasi masalah pertumbuhan populasi penduduk masih menumpuk di masa depan.

Baca juga artikel terkait POPULASI DUNIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti