Menuju konten utama

Perempuan dan Gaya Hidup Zero Waste

Penelitian menunjukkan perempuan cenderung lebih dapat menerapkan gaya hidup ramah lingkungan daripada pria.

Perempuan dan Gaya Hidup Zero Waste
Ilustrasi Konsep belanja zero waste. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Penelitian menunjukkan perempuan cenderung lebih dapat menerapkan gaya hidup ramah lingkungan daripada pria. Begitupun yang terjadi dalam aksi zero waste. Walau memang, aksi penyelamatan bumi dari pemanasan global bukanlah stereotipe gender. Hal ini murni masalah kemanusiaan yang seharusnya dilakukan semua orang.

Kedekatan Perempuan dengan Pangan

Seorang ibu lansia tersenyum bahagia di depan rumahnya saat menerima bantuan dari relawan Foodbank of Indonesia (FOI) yang juga perempuan. Sepanjang bulan Juli-Agustus 2022, Dapur Pangan FOI Kembangan, telah menyalurkan 25,93 kg makanan dari Hotel Hilton Garden Inn Taman Palem, Jakarta, untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan bantuan pangan.

Hendro Utomo, Founder FOI, mengatakan kaum perempuan memainkan peranan yang sangat penting untuk mengatasi isu ini. “Dari 8000-an orang yang pernah terlibat dalam pergerakkan dan kampanye menekan kemubaziran pangan, sekitar 80-nya adalah perempuan,” ujar pria yang juga pendiri SAR Dog Indonesia ini.

Ia menilai perempuan secara alamiah sangat dekat dengan soal pangan. Mulai dari mengumpulkan, mengolah, meramu, memasak dan membagikan. “Sering disebut 5 M dalam kampanye Bikin Dapur Ngebul,” ungkapnya. Antusiasme perempuan sangat tinggi karena mereka melihat dan merasakan betul yang terjadi di lapangan.

Hendro mengatakan, secara genetika yang disaring selama ribuan tahun, spesies perempuan menjalankan peran dengan baik pada komunitasnya dengan mengumpulkan makanan berupa umbi-umbian, ulat sagu, sagu, biji-bijian, dedaunan, dan lain sebagainya. Lalu memasaknya dan memberikan anak-anaknya makanan. Sementara kaum lelaki pergi berburu, berperang atau menjaga desa.

Karena dekat dengan pangan, otomatis pergerakan soal pangan didominasi oleh perempuan. “Jadi kalau kita mau menekan kemubaziran pangan, perempuan adalah mitra kita terpenting.”

Adanya Gender Gap

Sebuah artikel di waste4change.com tentang sebuah survei yang dilakukan agensi riset pasar Mintel tahun 2018, menyebutkan bahwa 71% perempuan berusaha hidup lebih etis dibandingkan dengan 59% laki-laki. Hidup etis adalah hidup ramah lingkungan dimana setiap keputusan yang diambil mempertimbangkan untuk membatasi jejak karbon dan menyelamatkan lingkungan.

Sebagai perbandingan, 65% perempuan juga mendorong teman dan keluarga untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, sementara hanya 59% laki-laki yang melakukannya.

Hasil survei ini disebut sebagai Eco Gender Gap. Eco Gender Gap adalah perbedaan antara pilihan gaya hidup ramah lingkungan yang dibuat oleh pria dan wanita. Dari hasil riset ini, menunjukkan bahwa dalam menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, pria lebih tertinggal dibandingkan perempuan.

Alasan mengapa pria kurang mengadopsi gaya ramah lingkungan bermacam-macam, antara lain takut dicap feminin karena membawa tas belanja reusable dan adanya gagasan bahwa menjalankan tugas rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah adalah tanggung jawab perempuan.

Salah satu pegiat gaya hidup etis dan juga perempuan ialah Andhini Miranda. Founder @021suarasampah ini berpendapat, “Setiap orang seharusnya memiliki peran yang sama, baik laki-laki dan perempuan dalam mencegah dan mengurangi sampah.”

Menurutnya, perempuan lebih dominan dalam pergerakan ini karena peran perempuan sebagai kunci dalam rumah tangga. Seperti menentukan menu makanan sehari-hari, membeli barang di rumah, membeli kebutuhan sekolah anak-anak dan lain sebagainya, termasuk inisiatif untuk mengelola sampah di rumahnya. “Walau pada beberapa rumah tangga, ada juga bapak rumah tangga yang melakukan tugas-tugas tersebut.”

Andhini menjelaskan, saat ini gaya hidup zero waste bukan lagi milik perempuan saja. Ia memberi contoh, beberapa followers-nya adalah anak laki-laki yang duduk di bangku SMP-perguruan tinggi, mereka tak pernah lupa membawa tumbler agar tidak membeli air kemasan.

Andhini bahkan menjumpai bapak-bapak yang pede menenteng reusable bag yang berisi berbagai wadah belanja reusable ke supermarket, termasuk suaminya. “Apalagi, ketika saya membagikan cara membuat tampungan air hujan atau biopori di Instagram, justru bapak-bapak yang antusias dan banyak bertanya melalui DM (Direct Message),” ujar perempuan inisiator Gerakan Keluarga Tanpa Sampah.

Gerakan Zero Waste

Andhini menilai masyarakat sekarang sudah lebih aware akan bahaya pemanasan global dan mulai mengadopsi gaya hidup zero waste untuk penyelamatan bumi. Hal senada juga dibenarkan oleh Hendro Utomo, menurutnya, kelas menengah semakin lama semakin terdidik untuk menekan kemubaziran pangan ini karena dua motif.

Pertama, membuang makanan itu sebuah kejahatan, selama di sekeliling kita ada orang-orang yang lapar. Kedua, sampah makanan bisa mempercepat pemanasan global yang mendatangkan bencana. Kelas menengah dan atas lebih cepat terdidik karena latar belakang pendidikan yang tinggi dan akses pada informasi yang kuat.

Andhini bercerita, ia mulai belajar hidup minim sampah sejak 2012 ketika ia punya bayi. Saat itu ia memutuskan tidak menggunakan diaper dan memilih popok kain. “Belajar konsisten dan bertahap mengurangi sampah. Setelah memilih menggunakan popok kain, kemudian mulai belajar membawa kantong dan wadah sebagai pengganti plastik saat belanja. Jadi sebelum belanja bikin daftar belanja dulu, bukan hanya karena biar mengontrol keuangan, tapi juga untuk menentukan jumlah dan jenis wadah yang perlu dibawa” ungkapnya.

Sejak tahun 2018 Andhini dan suaminya sepakat meniadakan fungsi tempat sampah di rumah mereka dan berhenti buang sampah ke TPA. Mereka menolak menggunakan kemasan dan produk sekali pakai semaksimal mungkin. Dari mulai mie instan, roti tawar, makanan & minuman kemasan, sabun pembersih, tissue, kapas, dan lain sebagainya. Mereka berbelanja ke toko bulk store dengan membawa wadah sendiri. Dan jika ada sampah yang tidak terhindari, baik sampah organik maupun non-organik, mereka pilah dan olah agar tidak berakhir di TPA.

Selain Andhini, pegiat gaya hidup zero waste ini sangat beragam. Salah satunya, Chef Ragil Imam Wibowo (@dapurragil). Ragil mulai meracik resep-resep baru dari bahan pangan yang tidak terpakai. “Saya meracik minuman dari kulit nanas yang biasanya dibuang ke tempat sampah. Saya manfaatkan menjadi minuman welcome drink untuk tamu di restoran saya, dan ternyata orang-orang suka,” ucap pria berkacamata ini.

Saat ini, Chef Ragil juga sedang melakukan riset bersama teman-teman komunitas untuk memanfaatkan ampas kopi sebagai bahan briket arang. “Masih tahap riset, belum selesai,” ungkapnya.

Ia bercerita, salah satu restorannya, Nusa Indonesian Gastronomy, menyajikan menu authentic Indonesian food, dengan menggunakan bahan pangan lokal khas daerah-daerah di Indonesia. Tujuannya selain mengangkat kekayaan pangan lokal juga mengurangi carbon footprint. Tak hanya itu saja, semua peralatan masak di restoran tersebut juga menggunakan produk-produk produksi dalam negeri. “Mulai dari piring, sendok, garpu alat-alat masak semua kami pilih lokal, tidak impor.”

Sementara saat berada di rumah, Chef Ragil juga sudah memisahkan sampah organic dan non-organik di dapur. “Saya juga menghindari ke supermarket tidak membawa list belanjaan, jadi belanja sesuai rencana menu yang akan saya masak. Dan sebelum belanja, sebisa mungkin saya menghabiskan bahan pangan yang ada di kulkas terlebih dulu,” ungkapnya.

Selain lintas gender dan profesi, pegiat gaya hidup ramah lingkungan juga lintas generasi. Arka Irfani, merupakan salah satu generasi Z (lahir tahun 1996) yang sangat peduli akan isu lingkungan. Tahun 2019 ia merintis Bell Society bersama temannya, Gita Semeru. Bell Society adalah usaha biomaterial berbasis riset yang fokus pada pengembangan material terbarukan. Konsepnya dalah from waste to leather, mereka menciptakan vegan leather dari bahan dasar selulosa mikroba yang diberi nama M-Tex.

Infografik Zero Waste

Infografik Zero Waste. tirto.id/Quita

“Bell Society fokus memproduksi lembaran selulosa mikroba yang dapat digunakan sebagai material pengganti kulit sintetis.” ungkap Arka. Berawal dari penelitian bersama teman-temannya saat kuliah, mereka mengolah limbah singkong dan ubi dengan menggunakan proses fermentasi bakteri dan menciptakan lembaran menyerupai kulit yang ternyata tebal dan fleksibel. Dari sini kemudian dikembangkan lagi hingga menyerupai kulit sintetis.

Menurut Arka, kualitas yang dihasilkan dari bahan M-tex ini sudah teruji memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI, sehingga salah layak dijadikan pengganti kulit sintetis. “Produk kami dapat memenuhi kebutuhan industri akan kulit asli maupun kulit sintetis. Bahan kulit yang sustainable saat ini sudah diolah menjadi dompet, card holder, pakaian dan furniture,” ujar pemenang Swiss Innovation Challenge tahun 2019 ini.

Hak Atas Pangan yang Belum Selesai

Menurut Hendro, meski sudah banyak komunitas yang menyuarakan gaya hidup minim sampah dan pencegahan kemubaziran pangan, namun masih ada saja orang yang menyia-nyiakan makanan. “Masyarakat kita tidak lagi dekat dengan sumber pangan dan petani atau nelayan. Sehingga tidak lagi ada empati terhadap mereka dan keterikatan pada pangan yang dihasilkan.”

Ditambah lagi, pangan utama kita kedua terbesar adalah gandum yang ditanam ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Kita juga jarang sekali mengangkat pentingnya penghargaan kepada petani yang dalam kemiskinannya bekerja keras menghasilkan pangan untuk kita.

Problem terbesar lainnya adalah ketidakpedulian para pemimpin kita soal hak atas pangan bagi warganya. Sehingga kalau bicara pangan, fokusnya adalah mengamankan kursi kekuasaan mereka, bukan menyejahterakan dan mencukupkan pangan bagi seluruh warga tanpa kecuali. “Tak jarang keputusan politik yang diambil sifatnya jangka pendek dan sementara saja. Bukan keputusan strategis untuk 100 tahun ke depan memenuhi hak atas pangan warga bangsa Indonesia ini.”

Hendro menambahkan, "Banyak pangan berlebih tersalurkan dari dunia bisnis karena kita tidak punya regulasi yang melindungi kedermawanan ini, banyak perusahaan yang masih takut untuk menyumbangkan pangan berlebihnya."

“Kalau pemimpin kita peduli terhadap urusan ini, satu UU saja bisa membuat semua orang menekan kemubaziran pangan dan membagikan kepada masyarakat yang rentan.” Upaya ini, menurutnya, akan menghapus kemiskinan dan kelaparan dari seluruh wilayah negeri ini.

Baca juga artikel terkait ZERO WASTE atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi