Menuju konten utama
Hikayat Ramadan

Perdebatan Para Ulama yang Berlandaskan Etika dan Kasih Sayang

Silang pendapat yang sengit kerap terjadi antarulama. Mereka tetap menjaga etika sehingga perdebatan tak berujung saling membenci dan mencaci.

Perdebatan Para Ulama yang Berlandaskan Etika dan Kasih Sayang
Ilustrasi perdebatan antarulama. tirto.id/Nadya

tirto.id - Tidak ada perdebatan sengit antarulama melebihi popularitas perdebatan antara Abu Hamid Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd Al-Andalusy. Perdebatan mereka menyita perhatian dunia Islam, bahkan di luar Islam sampai sekarang.

Al-Ghazali ngotot dan menumpahkan kritiknya terhadap filsafat dengan menulis buku Tahāfutul Falāsifah. Buku ini bernada serangan dengan nuansa ejekan. Kritik Al-Ghazali tajam menyerang jantung pertahanan ulama-ulama yang gandrung filsafat.

Selang beberapa waktu kemudian, kritik yang dialamatkan pada kaum filsuf itu dijawab dengan tidak kalah tajam oleh ulama cemerlang dari Spanyol, Ibnu Rusyd Al-Andalusy. Ia menulis buku bantahan dengan judul yang tidak kalah menjengkelkan: Tahāfutut Tahāfut yang berarti kerancuan di atas kerancuan.

Argumentasi yang diajukan oleh Ibnu Rusyd menjawab segala tuduhan akademis yang ditulis oleh Al-Ghazali. Rekaman perdebatan itu abadi hingga saat ini lewat buku-buku polemis. Para pengkaji Islam menjadi mengerti betapa semangat untuk menghidupkan iklim akademik di zaman itu sungguh sangat hidup.

Perdebatan Ulama Nusantara

Perdebatan antarulama juga acap terjadi di Nusantara. Seperti para ulama di luar negeri, perdebatan tersebut sangat produktif karena argumentasi dan bangunan berpikirnya menghasilkan karya tulis.

Salah satu yang terkenal adalah perdebatan yang aktor utamanya K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari. Ulama karismatik pendiri Nahdlatul Ulama ini pernah berpolemik dengan beberapa ulama.

Pertama dengan Kiai Abdullah bin Yasin Pasuruan. Sumber polemik adalah sikap dan pandangan ulama NU atas kebijakan yang diambil kala itu. Kiai Hasyim merespons kritikan dengan menulis buku bertajuk Ziyādatut Ta’līqāt. Pandangannya begitu jernih dan bernas.

Selanjutnya Kiai Hasyim berdebat dengan Kiai Faqih Maskumambang tentang hukum penggunaan kentongan untuk menandakan masuknya waktu salat. Kiai Hasyim menulis kitab bertajuk Ar Risālah Al Musamma bil Jāsūs fi Bayāni Hukmin Nuqus. Baginya, kentongan tak ubahnya lonceng yang digunakan di gereja-gereja umat Nasrani. Oleh karena itu, hukum menggunakannya untuk memanggil orang agar salat menjadi haram.

Kiai Faqih tidak tinggal diam. Pengasuh Pesantren Makumambang Gresik ini menulis argumentasi sistematis yang bisa dijadikan pijakan hukum mengapa kentongan boleh dipakai untuk memanggil orang salat.

“Kentongan tak ubahnya bedug. Ia hanya alat. Jika bedug boleh digunakan untuk memanggil orang salat, mengapa kentongan tidak?” ungkapnya.

Perdebatan ini sama sekali tidak mengganggu kekariban dua sahabat tersebut. Bahkan, beberapa waktu setelah polemik itu berlangsung, Kiai Faqih meminta seluruh kentongan yang terpasang di wilayah sekitar pesantrennya diturunkan. Hal itu dilakukan untuk menghormati Kiai Hasyim yang diundang untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang.

Silang pendapat antarulama adalah perkara yang lumrah. Mereka bisa berdebat dengan sengit di dalam sebuah forum, tapi tetap gayeng dan santai di luar forum. Itulah yang terjadi pada ulama-ulama seperti Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Faqih Maskumambang.

Infografik Hikayat Perdebatan Sengit Antar ulama

Infografik Hikayat Perdebatan Sengit Antar ulama. tirto.id/Nadya

Sepanjang Hayat Sekadar Mengutip

Akhlak di atas ilmu. Demikian yang terjadi pada Imam Syafi’i yang berbeda pendapat dengan Imam Abu Hanifah dalam persoalan qunut. Asy-Syafi’i mengatakan, "kita masih tetap bisa bersahabat, meski kita berbeda pendapat."

Cerita tentang bagaimana etika seorang alim yang diserang pendapatnya oleh sekelompok cendekiawan lain membuat terpukau Abdurrahman As-Sa’dy. Menurutnya dalam Majmū’ul Faāa’id wa Iqtināshul Awābid (2011), seorang alim yang diserang dan dihujat, alih-alih memberikan serangan balik, justru memberikan permaafan atas segala tuduhan tersebut.

Kesadaran transendental mendorong bahwa perdebatan yang dominan dilakukan dengan cara mendayagunakan akal, sepenuhnya hanya bersifat nisbi. Imam Fakhruddin Ar-Razi mendendangkan sajak yang menggambarkan betapa aktivitas yang sepenuhnya bersandar pada akal itu ujungnya hanyalah keterikatan.

Nihāyatul iqdāmil uqūli iqālun

Wa aktsaru sa’yul ālamīna dhalālun

walam nastafid min bahtsina thūla umrinā

siwā an jamakna fihi qīla wa qālū

(Puncaknya puncak akal adalah keterikatan

dan kebanyakan perjalanan manusia ada di dalam kesesatan

Apa yang kita cari sepanjang hayat

Tidaklah lebih dari sekadar kutip mengutip belaka)

Puncak tertingi kesadaran akan kenisbian akal itulah yang menjadi alas mengapa perdebatan antarulama hanya berhenti dalam perdebatan. Di luar itu, mereka tetap menjunjung tinggi hubungan persaudaraan sebagai sesama manusia. Tidak ada kebencian, melainkan kasih sayang.

Para ulama terdahulu telah memberi contoh, bahwa berdebat yang produktif adalah berdebat dengan berbalas karya sembari tetap menjunjung etika. Perbedaan pendapat antarulama itu oleh karenanya justru menjadi rahmat dan keberkahan bagi umat.

==========

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Irfan Teguh