Menuju konten utama

Perdagangan Terlarang Organ Tubuh

Kebutuhan organ tubuh cukup tinggi. Sayangnya, ada kendala etika, regulasi, kebudayaan, psikologis, dan bahkan agama. Saat kendala ini terjadi, hukum ekonomi berlaku: ada permintaan maka ada pula penawaran. Inilah yang menciptakan perdagangan organ.

Perdagangan Terlarang Organ Tubuh
Aktivis Jerman demo menolak penjualan organ tubuh yang marak kamp-kamp kematian Cina. [foto/shutterstock]

tirto.id - Kematian Yufrinda Selan (19), tenaga kerja wanita (TKW) asal Nusa Tenggara Timur menimbulkan kontroversi. Di jasad TKW di Malaysia itu ditemukan banyak jahitan. Spekulasi muncul, organ tubuh Yufrinda diambil—dan mungkin diperdagangkan.

Presiden Joko Widodo bahkan sampai menelpon Kapolri untuk mengungkap dugaan itu.

Belakangan, Kepala Bareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto membantah spekulasi itu. "Tidak ada perdagangan organ tubuh. Kalau perdagangan manusia, ada," katanya.

Ari memaparkan jahitan itu timbul lantaran teknik autopsi jenazah di Malaysia berbeda dengan di Indonesia. "Mereka [dokter Malaysia] biasanya membuka jenazah dari tangan sampai kaki. Namun semua organnya masih dalam keadaan lengkap," ujarnya.

Di luar kontroversi itu, perdagangan organ manusia di Indonesia—dan negara-negara lain—senyatanya ada. Pertengahan Januari silam media gencar mewartakan sindikat perdagangan manusia. Persengkongkolan bisnis gelap itu mulai terkuak setelah tahanan Polres Garut, Jawa Barat berinisial HLL pada 2015 mengeluh kesakitan di bagian perutnya, lemas, dan menggigil.

HLL lantas dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya. Dokter menemukan penyebabnya, ada bekas operasi ginjal di tubuh HLL. Kecurigaan berlanjut, kasus ini sampai ke tangan polisi. Kepada polisi HLL mengaku menjual ginjalnya senilai Rp80-90 juta melalui perantara AG dan DD.

Pertengahan Januari 2016, polisi berhasil membongkar kasus ini setelah berhasil menangkap AG, DD dan HS di Bandung. Belakangan juga diketahui persengkongkolan jahat ini melibatkan oknum di rumah sakit ternama di Jakarta. Mereka dituding melakukan praktik transplantasi ginjal ilegal.

Perdagangan Global Organ Tubuh

Kasus transplantasi organ—baik yang legal maupun ilegal—di Indonesia tersebut bisa jadi merupakan pucuk gunung es dari praktik transplantasi di seluruh dunia. Yosuke Shimazono dalam artikelnya “The State of the International Organ Trade: A Provisional Picture Based on Integration of Available Information” menyampaikan perdagangan organ dipicu oleh permintaan untuk kepentingan kesehatan.

Data dari WHO menunjukkan 106.879 organ padat diketahui telah ditransplantasikan di 95 negara anggota pada tahun 2010 baik legal maupun ilegal. Sekitar 73.179 (68,5%) merupakan transplantasi ginjal. Tapi, menurut WHO, angka 106.879 belum cukup, karena hanya memenuhi 10% dari total kebutuhan global. WHO memperkirakan jumlah kebutuhan akan organ akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Yosuke menjelaskan, program donasi organ mati atau jenazah sebagaimana dipraktikkan di beberapa negara terbukti gagal karena terkendala oleh sosial budaya, hukum, dan faktor lainnya. Di sisi lain, banyak negara yang melarang praktik transplantasi organ. Hal inilah yang menyebabkan dunia kekurangan “pasokan” organ sehingga memicu perdagangan organ internasional melalui modus “pariwisata transplantasi”.

Menurut Yosuke, “pariwisata transplantasi” dilakukan dengan cara pasien bepergian ke luar negeri yang menyediakan jasa transplantasi organ. Di negara yang dituju, penyedia jasa atau makelar organ akan mengatur perjalanan calon penerima dan merekrut calon pendonor. Para makelar organ ini, jelas Yosuke, memanfaatkan internet untuk menarik pasien asing. Beberapa situs web menawarkan "paket transplantasi" all-inclusive dengan harga paket transplantasi ginjal sekitar 70 ribu sampai 160 ribu dolar AS atau setara Rp910 miliar sampai Rp2 miliar bila dihitung dengan kurs saat ini.

Laporan WHO menyebut Cina, India, Pakistan, Bolivia, Brazil, Israel, Moldova, Peru, serta Turki sebagai negara-negara “pengimpor” ginjal terbanyak di dunia.

Laporan WHO itu selaras dengan laporan The Guardian pada 2012 lalu yang menyebutkan banyak di antara pasien pergi ke Cina, India atau Pakistan untuk melakukan transplantasi organ. Di negeri itu para pasien mengeluarkan kocek sekitar 200 ribu dolar AS untuk mendapatkan ginjal sehat. (Bandingkan dengan harga ginjal HLL yang “hanya” dihargai Rp80-90 juta!)

Dari mana pasien-pasien itu berasal? Menukil laporan oleh Organ Watch, sebuah organisasi berbasis di University of California, Amerika Serikat, mengidentifikasi Australia, Kanada, Israel, Jepang, Oman, Arab Saudi dan Amerika Serikat sebagai negara pengimpor utama. Namun, jumlah “impor” secara detail belum diketahui pasti.

Kendati jumlah organ yang dibutuhkan negara-negara belum diketahui pasti, tetapi organ yang paling dibutuhkan bisa diidentifikasi. Berdasarkan laporan donasi-donasi organ di seluruh dunia, Global Observatory on Donation & Transplantation pada 2012 melaporkan ginjal merupakan donasi terbanyak yakni sampai 67,8 persen. Berikutnya hati (20,9 persen), jantung (5,1 persen), paru-paru (3,8 persen), pankreas (2,1 pesen), dan usus kecil (0,15 persen).

Regulasi di Indonesia

Fakta akan kebutuhan organ di tingkat global dan praktik-praktik perdagangan organ secara ilegal tersebut mendorong Majelis Kesehatan Dunia (WHA) untuk mengadakan sidang pada 22 Mei 2004 lalu. Pada sidang itu diputuskan negara-negara anggota “untuk menerapkan pengawasan nasional yang efektif dari pengadaan, pengolahan dan transplantasi sel manusia, jaringan dan organ, termasuk menjamin akuntabilitas untuk organ manusia untuk transplantasi”.

Di Indonesia, praktik transplantasi ini sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan juga Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Terkait dengan donor mati/jenazah Indonesia juga sudah memiliki Peraturan Menteri Kesehatan No 37 Tahun 2004 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor.

Namun, Badrodin Haiti ketika masih menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada 10 Februari 2016 lalu pernah mengatakan saat ini Indonesia perlu regulasi baru yang mengatur donor organ tubuh manusia agar tidak disalahgunakan.

"Ya kalau terulang lagi dibuat aturan, dibuat regulasi bagaimana seseorang kalau mau mendonorkan organ tubuhnya," kata Badrodin kepada Antara.

Penyataan Badrodin tersebut disampaikan terkait perdagangan organ ginjal ilegal yang pada Januari sampai Februari mencuat dan membuat heboh masyarakat.

Badrodin berharap regulasi baru itu juga mengatur tata cara orang pasien donor organ tubuh, tidak hanya ginjal. Menurutnya, donor bisa disebut legal bila tidak diperjualbelikan.

Namun, bila seseorang melepas organ tubuhnya melalui perantara, dan perantara tersebut mengambil keuntungan atas penjualan itu maka hal tersebut melanggar ketentuan medis.

"Oleh karena itu harus diatur, ada regulasi yang bisa menempatkan di mana masyarakat mau mendonorkan, di mana masyarakat itu mau mencari pendonor. Ini saling membutuhkan," tegasnya.

Penyataan Badrodin ini bisa jadi menunjukkan bahwa aturan hukum dan juga pengawasan terkait donor organ hidup atau mati di Indonesia masih lemah. Apalagi mengawasi autopsi di luar negeri, wajar jika kemudian spekulasi perdagangan organ itu mencuat…

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN ORGAN TUBUH atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti