Menuju konten utama

Perdagangan Manusia Berkedok Pengantin Pesanan, 29 WNI Jadi Korban

SBMI menyatakan setidaknya 29 WNI menjadi korban 'pengantin pesanan'. SBMI menilai perekrutan 'pengantin pesanan' memenuhi unsur pidana perdagangan manusia. 

Perdagangan Manusia Berkedok Pengantin Pesanan, 29 WNI Jadi Korban
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Anwar Maarif menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (23/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

tirto.id - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap perdagangan manusia berkedok 'pengantin pesanan' yang mengakibatkan setidaknya 29 perempuan asal Indonesia menjadi korban.

Ketua Dewan Perwakilan Cabang SBMI Mempawah, Mahadir mengatakan lembaganya menemukan banyak korban 'pengantin pesanan' sejak April 2019.

Dia mencatat lembaganya menemukan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban 'pengantin pesanan' dan 13 lainnya dari Kalimantan Barat.

“Dari 13 orang asal Kalimantan Barat, sembilan dipulangkan dan 4 lainnya belum ditemukan,” kata Mahadir di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Minggu (23/6/2019).

Baru-baru ini, SBMI berhasil memulangkan lima korban 'pengantin pesanan'. Salah satunya adalah MN (23) yang menjadi 'pengantin pesanan' pria asal Cina, Tengfei Hao (27).

MN berasal dari Sompak, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dia sempat menjalani pernikahan dengan suaminya di Cina selama 10 bulan sejak September 2019.

Dia berhasil pulang ke Indonesia setelah dibantu oleh SBMI melalui jaringan mereka di Cina. Pada Sabtu (22/6/2019), MN tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Sekretaris Jenderal SBMI, Bobi Anwar Ma'arif menambahkan penipuan berkedok 'pengantin pesanan' itu memenuhi unsur pelanggaran tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yakni dari segi proses, cara dan tujuan eksploitasi.

Dari segi proses, Bobi menjelaskan unsur TPPO terpenuhi karena sejak dari perekrutan hingga digelar pernikahan, calon suami harus harus menyetor Rp400 juta. Dalam kasus MN, korban menerima Rp19 juta, uang sisanya diambil oleh perekrut.

“Ada keterlibatan para perekrut lapangan pada proses perekrutan dan pemindahan. Kemudian mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki Tiongkok untuk dinikahi,” kata Bobi.

Sementara dari segi cara, Bobi mengatakan perekrut lapangan menipu korban dengan menjanjikan calon suami kaya, jaminan pemenuhan kebutuhan si perempuan dan keluarganya serta warisan.

Menurut Bobi, perekrut lapangan juga memanfaatkan korban yang rentan karena punya masalah keluarga, ekonomi, menjanda, kekerasan rumah tangga dan lainnya.

Sedangkan dari segi tujuan, unsur TPPO terpenuhi sebab praktik perekrutan 'pengantin pesanan' berujung pada eksploitasi korban.

Pada kasus salah satu korban, Bobi menjelaskan, si perempuan dipaksa bekerja dengan durasi panjang dalam sehari setelah tiba di Cina. Adapun gaji yang diperoleh si perempuan dikuasai oleh suaminya.

Misalnya, MN diharuskan bekerja sebagai perangkai bunga sejak pukul 7 pagi hingga pukul 19 malam per-hari dan tidak mendapatkan upah.

MN juga dilarang berhubungan dengan keluarganya di Indonesia. MN dan korban lainnya bahkan diancam akan diharuskan membayar uang ganti rugi jika ingin kembali ke tanah air. Besaran duit yang diminta senilai biaya yang dikeluarkan suami pemesan pengantin.

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN MANUSIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom