Menuju konten utama
Agenda Ekonomi

Perdagangan Bebas Indonesia-Australia: Peluang atau Ancaman?

Indonesia sedang di ujung-ujung jelang penandatanganan perdagangan bebas komprehensif dengan Australia.

Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop (kanan) berbincang dengan siswa ketika berkunjung ke SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, Jawa Timur, Minggu (5/8). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Pada satu sesi seremoni meriah realisasi ekspor kendaraan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di IPC Car Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok pada Rabu (5/9/2018), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini ekspor dan investasi jadi kunci memperkuat fundamental perekonomian Indonesia yang kini sedang menghadapi tekanan mata uang dolar AS.

"Kalau itu bisa kita lakukan, ekspornya meningkat, sehingga defisit neraca perdagangan bisa kita selesaikan. Defisit transaksi berjalan kita, current account defisit bisa kita selesaikan," kata Jokowi.

Persoalan defisit perdagangan memang masih jadi momok bagi Indonesia. Ketergantungan impor adalah biang keladinya, beberapa produk fundamental seperti susu, daging, hingga ternak masih harus dipenuhi dari negara lain terutama Negeri Jiran seperti Australia, hingga membuat tebal defisit perdagangan. Di sisi lain, Australia sedang bermasalah dengan industri otomotif, sedangkan Indonesia punya kekuatan di sektor ini, bila dua kepentingan ini disatukan maka bisa saling menguntungkan.

November 2018 jadi momentum yang penting bagi perdagangan kedua negara. Ekspor Indonesia berpeluang bisa terangkat dengan adanya perjanjian bilateral perdagangan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Penandatanganan telah dilakukan pada akhir Agustus 2018, tapi poin kerja sama lebih formal sebagai hasil akhir akan selesai dan ditandatangani pada November bulan depan.

“Sekarang ini harus dibuat bahasa hukumnya dan terjemahannya ke dalam dua bahasa. Sekarang dalam proses penyelesaian yang targetnya selesai pada November,” kata Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan kepada Tirto saat di Trade Expo akhir pekan lalu.

IA-CEPA merupakan kemitraan komprehensif kedua negara di bidang perdagangan barang, jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi. Skema ini seolah lebih mengadopsi "kepentingan" Indonesia karena tak hanya soal bicara "free trade" tapi ada iming-iming investasi dari Australia.

Di atas kertas IA-CEPA seolah akan memiliki beberapa keuntungan bagi Indonesia. Dalam hal perdagangan barang misalnya, ekspor Indonesia menuju Australia diperkirakan akan mengalami peningkatan. Ini karena, negeri Kanguru itu telah memberikan komitmen untuk mengeliminasi bea masuk impor untuk seluruh pos tarifnya menjadi nol persen dari sebelumnya sebesar 5 persen. Beberapa produk Indonesia yang berpotensi bebas masuk bea impor adalah produk tekstil, herbisida dan pestisida.

Indonesia memang bakal punya potensi peningkatan ekspor dengan Australia. Produk unggulan Indonesia untuk pasar Australia antara lain otomotif khususnya mobil listrik dan hibrid, kayu dan turunannya termasuk produk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan, dan peralatan elektronik.

Produk pangan seperti kopi dan cokelat, serta kertas dan permesinan juga akan mendapatkan bea masuk impor nol persen. Secara keseluruhan, sebanyak 7 ribu pos tarif ekspor akan dapat menikmati fasilitas bea masuk nol persen ke Australia.

Jumlah pos tarif barang ekspor Indonesia yang bebas masuk bea impor di Australia diperkirakan jauh lebih banyak ketimbang impor barang dari Australia ke Indonesia. Jumlah pos tarif asal Australia yang tidak dikenakan bea masuk di Indonesia mencapai 6.404 pos tarif. Indonesia memang seolah diuntungkan dengan tarif yang lebih banyak "bebas" masuk. Namun, Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adinegara mengingatkan perdagangan bebas dengan Australia berpotensi menambah defisit perdagangan Indonesia makin lebar.

"Yang diuntungkan jika dilihat dari segi perdagangan adalah Australia. Terutama dari impor pangan seperti sapi, dan gandum. Kalau Indonesia tidak berhati hati bisa tambah defisit. Pasar Australia juga tidak besar. Jumlah penduduknya hanya 24,6 juta atau 9,5% total penduduk Indonesia," kata Bhima kepada Tirto.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada semester I-2018 ekspor Indonesia ke Australia sebesar 1,35 miliar dolar AS. Sedangkan nilai impor sebesar 2,72 miliar dolar AS. Artinya, Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 1,37 miliar dolar AS sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Angka tersebut sudah lebih baik dibanding tahun 2017 dengan defisit mencapai 3,48 miliar dolar AS.

Indonesia memang merupakan pasar berkembang untuk ekspor barang dan jasa asal Australia. Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia menyatakan, total perdagangan barang dan jasa dua arah dengan Indonesia bernilai 16,4 miliar dolar AS sepanjang 2017 lalu. Itu menjadikan Indonesia sebagai mitra dagang terbesar ke-13 bagi Australia.

“IA-CEPA akan memberikan peluang bisnis Australia dan Indonesia untuk memperluas dan diversifikasi kemitraan ekonomi,” tulis Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade.

Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Australia, Simon Birmingham menyatakan kemitraan ekonomi dua negara menjadi dorongan besar bagi petani di negaranya. Produk gandum, ternak hidup, susu dan sektor hortikultura Australia akan mendapat keuntungan dan kepastian akses ekspor yang lebih besar dengan tarif yang lebih rendah di Indonesia.

“Petani Australia akan dapat mengekspor 500 ribu ton biji-bijian seperti gandum ke Indonesia secara gratis. Ini menjadi dorongan yang signifikan untuk industri gandum Australia,” kata Simon.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/27/agenda-ekonomi-november-2018--mild--rangga-01.jpg" width="860" alt="Infografik Agenda Ekonomi November 2018" /

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison menambahkan, IA-CEPA akan mendukung produsen industri Australia di berbagai bidang, seperti baja, tembaga dan plastik. Industri jasa Australia termasuk kesehatan, pertambangan, telekomunikasi, pariwisata dan pendidikan juga akan memiliki akses yang lebih besar di Indonesia. Penyedia pelatihan kejuruan yang dimiliki Australia akan dapat bermitra dengan pebisnis Indonesia untuk menyediakan pelatihan keterampilan berkualitas bagi tenaga kerja Indonesia.

“Perjanjian ini juga memperluas hubungan investasi dua arah antar-dua negara. Investor Australia akan memiliki kepastian yang lebih besar di bawah rezim investasi asing Indonesia, yang akan membantu mendorong pertumbuhan investasi Australia di Indonesia,” jelas Scott Morrison.

Negosiasi kedua negara terkait IA-CEPA telah dimulai sejak lama. Tahun 2005, Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Australia saat itu sepakat untuk meningkatkan hubungan perdagangan melalui pembentukan kemitraan ekonomi yang komprehensif dan berkelanjutan. Peluncuran IA-CEPA putaran pertama dilaksanakan pada 2 November 2010 di Jakarta. Namun perundingan sempat terhenti pada 2013 akibat dinamika politik kedua negara yang naik-turun.

Perundingan perjanjian pun mendingin. Pada 16 Maret 2016, perundingan IA-CEPA diaktifkan kembali. Perundingan putaran terakhir yang ke-12 dilaksanakan di Jakarta pada Juli 2018 kemarin. IA-CEPA memiliki keunggulan karena melibatkan pelaku usaha sejak awal melalui Indonesia-Australia Business Partnership Group (IA-BPG).

Namun realisasi penandatanganan kerja sama ini kembali diuji. Sebabnya, langkah politik Australia yang mempertimbangkan memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem mengikuti AS, berseberangan dengan sikap politik Indonesia.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan “berpikiran terbuka” terhadap proposal untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan negaranya ke wilayah tersebut.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retro LP Marsudi bilang, Indonesia akan terus memperhatikan pernyataan PM Australia terkait hal itu. “Indonesia menyampaikan keprihatinan yang kuat pada pengumuman dan mempertanyakan kelayakan pengumuman tersebut,” ucap Retno setelah berkonsultasi dengan mitra Palestina, Riyad al-Maliki.

Mendag Enggarsito menegaskan kelanjutan mengenai penandatanganan IA-CEPA antar Indonesia dengan Australia akan menunggu sinyal dari Menteri Luar Negeri Indonesia. “Kami telah menyelesaikan legal scrubbing dan terjemahan bahasa. Namun kapan penandatanganannya, karena kebijakan politik luar negeri ada pada ranah Kementerian Luar Negeri, sehingga Menlu Indonesia yang akan mengatur mengenai hal tersebut,” kata Enggar.

Upaya mencari jalan kerja sama kedua negara dengan payung perdagangan bebas bernama IA-CEPA, pada ujungnya adalah soal kepentingan. Saat IA-CEPA benar-benar bergulir, maka akan ketahuan siapa yang akan menjadi lawan atau kawan sebenarnya, terlihat dari defisit perdagangan Indonesia makin melebar atau sebaliknya dengan Australia. Sebab tak ada negara yang mau rugi, akan selalu ada skema seperti non tarif untuk menjaga kepentingan negaranya.

"Jadi pemerintah ke depan harus hati-hati buat perjanjian dagang apalagi dengan negara yang defisit-nya besar," kata Bhima.

Baca juga artikel terkait KERJASAMA BILATERAL atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra