Menuju konten utama

Perda Syariah dan Perda Injil Sama-Sama Ancam Minoritas

Peneliti: perda Injil adalah respons atas meningkatnya jumlah warga Muslim di Papua. Diklaim sebagai cara untuk menjaga nilai-nilai kekristenan di Manokwari.

Perda Syariah dan Perda Injil Sama-Sama Ancam Minoritas
Patung Yesus setinggi 30 meter tersebut dibangun atas inisiatif pemerintah RI melalui Kemendikbud dan Kemen PU sebagai tanda peringatan penyebaran peradaban, pendidikan, agama di Irian (Papua) yang dimulai pada 5 Februari 1855 oleh dua pendeta Kristen, Ottow dan Geisher. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

tirto.id - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menegaskan partainya akan mencegah kemunculan ketidakadilan, praktik diskriminasi, dan tindak intoleransi di Indonesia, termasuk dalam bentuk peraturan daerah (perda).

"PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh lagi ada penutupan rumah ibadah secara paksa," demikian Grace dalam dalam pidato menyambut ulang tahun ke-4 PSI yang diselenggarakan di Tangerang, Minggu (11/11/).

Untuk menelaah pernyataan Grace, perlu melihat konteks bagaimana dua perda berbasis agama ini lahir. Maraknya perda syariah di sejumlah daerah sudah cukup banyak dibahas. Tapi, bagaimana dengan perda Injil?

Perda Injil adalah perangkat hukum yang rencananya diberlakukan di Manokwari, Papua Barat. Instrumen tersebut adalah cara pemerintah daerah untuk mewujudkan status “Kota Injil”.

Sebagaimana diwartakan BBC Indonesia pada 2017, rancangan peraturan daerah (raperda) Injil sempat ditunda pembahasannya selama beberapa tahun akibat penolakan Kementerian Dalam Negeri. Alasannya, raperda dianggap bertentangan dengan aturan perundangan lain soal kebebasan beragama. Penolakan juga didasari anggapan bahwa raperda tersebut berpotensi mendiskriminasi anggota masyarakat non-Kristen.

Kendati ditolak, para pengusul raperda yang terdiri dari anggota dewan dan Persekutuan Gereja-Gereja Papua cabang Papua Barat terus berupaya melobi pemerintah pusat. Mereka menegaskan, raperda sama sekali tak membahayakan persatuan dan tetap menjunjung tinggi toleransi.

Faktor historis kerap diungkit sebagai alasan utama para pengusul untuk mewujudkan realisasi raperda Injil. Mereka menilai ingatan kolektif akan penyebaran Kristen di Manokwari bisa dijaga melalui aturan ini. Salah satu contoh peristiwa sejarah yang ingin mereka lestarikan ialah masuknya dua misionaris asal Belanda dan Jerman—Johann Gottlob Geissler dan Carl Willem Otto—ke Manokwari lewat Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Peristiwa itu dianggap sebagai penanda mulainya penyebaran Kristen di Papua. Untuk mengenangnya, tanggal 5 Februari senantiasa diperingati sebagai Hari Perkabaran Injil.

Atas dasar tersebut, pengusul raperda berkeyakinan bahwa instrumen hukum ini kelak tidak akan memberangus kebebasan beragama di Manokwari sebab pokok raperda hanyalah mengatur kegiatan masyarakat pada hari-hari yang memiliki nilai sejarah dan ibadah bagi penganut Kristen di Manokwari.

Bagaimana Bisa Muncul?

Dalam “Perda Injil di Manokwari dalam Perspektif Kristiani,” peneliti Reformed Center for Religion and Society (RCRS) Binsar Hutabarat mengatakan bahwa pemicu lahirnya perda Injil di Manokwari adalah keberadaan pembangunan masjid raya di dekat lapangan udara Manokwari. Pembangunan itu dianggap menjadi ancaman karena “dianggap akan menghapus tanda-tanda Manokwari sebagai Kota Injil.”

Binsar menyebutkan sejumlah pemuka agama yang diwawancarainya menyatakan bahwa pembangunan masjid raya telah melukai perasaan umat Kristen Papua serta menimbulkan perasaan terpinggirkan. Pembangunan masjid tersebut mulai dilaksanakan sejak akhir 2005 dan memperoleh dukungan dari Wakil Gubernur Rahimin Kacong, yang saat itu sedang mencari dukungan pemilih Muslim untuk memenangkan pilkada pada Maret 2006.

Binsar merangkum dua poin keberatan masyarakat Manokwari: pembangunan masjid raya “bertentangan dengan status Manokwari sebagai Kota Injil” dan kehadiran masjid yang lebih besar dipandang melampaui gereja-gereja di sana. Pembangunan masjid raya, pikir masyarakat lokal, dirasa tidak perlu mengingat umat Islam di Manokwari tidak sedang kekurangan tempat untuk beribadah.

Salah satu narasumber Binsar, Pdt. Albert Yoku, yang juga menjabat wakil sekretaris Sinode GKI (Gereja Kristen Injili di Tanah Papua), menjelaskan bahwa dua faktor di atas kemudian menimbulkan perasaan terpinggirkan bagi masyarakat Kristen yang notabene mayoritas. Mereka menganggap perayaan-perayaan besar keagamaan Kristen ditelan kemeriahan acara masjid raya. Mereka pun cemas dengan anak-anak yang senantiasa diperhadapkan dengan simbol-simbol agama Islam, sementara simbol-simbol agama Kristen makin tak digubris.

Pada 17 November 2005, ribuan pendemo dari gabungan mahasiswa, warga, serta gereja memprotes pembangunan masjid raya di DPRD Manokwari. Mereka menuntut agar pembangunan tempat-tempat ibadah memperhatikan keberadaan Manokwari sebagai kota Injil, sehingga polemik pembangunan masjid raya tak boleh terulang lagi. Demonstran juga meminta pemerintah menetapkan status Manokwari sebagai Kota Injil secara resmi.

Nyatanya, tuntutan masyarakat tak berhenti begitu saja. Tokoh agama dan sejumlah anggota masyarakat Manokwari bergerak lebih jauh dengan mengusulkan aturan-aturan yang dapat dituangkan dalam bentuk perda yang bersifat ‘memaksa’ orang Kristen untuk hidup selaras dengan aturan Injil, demi melestarikan Manokwari sebagai kota Injil, yang dipenuhi dengan simbol-simbol kekristenan.

Usulan perda berbasis agama ini memang menimbulkan kontroversi, terutama dari pasal-pasal yang termaktub di dalamnya. Perda Injil, misalnya, mengatur penggunaan jilbab. Rancangan perda juga mengatur larangan kegiatan publik pada hari Minggu. Tak ketinggalan, perda juga menyentil perkara suara azan yang dirasa tak perlu dikumandangkan dengan alasan “bakal mengganggu umat yang beragama lain”.

Butuh sekitar tiga tahun bagi raperda untuk dibahas di tingkat legislatif. Namun, meski mayoritas anggota DPRD Manokwari beragama Kristen, raperda itu tetap kandas di tangan anggota DPRD. Usaha untuk merealisasikan perda terus berlangsung hingga satu dekade setelahnya.

Masalah penolakan tempat ibadah ini mengingatkan pada beberapa kasus penyerangan rumah ibadah di Yogyakarta yang dilakukan oleh ormas keagamaan. Misalnya serangan yang ditujukan terhadap jemaat ibadah doa Rosario di kompleks STY YKPN Ngaglik, Sleman, pada 2014. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), penyerangan terjadi di kediaman Julius Felicianus.

Para pelaku, menurut laporan KontraS, berjumlah belasan orang. Mereka menyerang jemaat dengan “besi, pentungan, pot bunga, dan sebagainya”. Beberapa orang, umumnya ibu-ibu, dilaporkan mengalami luka-luka, termasuk Julius yang dipukul dengan besi dan pot bunga.

Dua hari setelahnya, penyerangan kembali terjadi terhadap Majelis Jemaat Gereja Pantekosta Indonesia di Pangukan, Tridadi, Sleman. Mengutip pemberitaan Tempo, penyerangan dilakukan oleh “massa berjubah dan berpeci” pada Minggu, 1 Juni 2014. Tempo melaporkan, mulanya warga meminta jemaat yang beribadah di kediaman pendeta Nico Lomboan itu membubarkan diri karena “tidak ada izin.”

Sebagian massa yang terlibat dalam aksi perusakan bangunan tersebut diduga berasal dari Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. Keterlibatan massa FJI diakui sendiri oleh Komandan FJI, Durahman. Sejak awal, tambahnya, “FJI memang mengawal kasus penggunaan rumah yang difungsikan sebagai gereja di Pangukan itu.”

Salah satu faktor penyebab maraknya serangan terhadap rumah ibadah di Yogyakarta ialah penerapan regulasi rumah ibadah sesuai logika kelompok agama sehingga kelompok agama minoritas agama sulit untuk mendirikan rumah ibadah.

Infografik Perda Injil

Faktor Aceh Juga Ada?

Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM mengakui bahwa eksistensi perda syariah di Aceh turut mendorong munculnya keinginan masyarakat Kristen di Manokwari untuk merealisasikan perda Injil. Namun, katanya, faktor yang paling besar tetaplah dinamika politik di Manokwari itu sendiri.

“Memang ada dorongan. Tapi, pengaruh politik lebih besar. Proses dan dinamika politik lebih berpengaruh dalam kemunculan wacana perda itu,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Senin (19/11).

Menurut Iqbal, agama dan politik adalah dua hal yang saling berkelindan. Ketika muncul isu agama dalam pergaulan sosial di tengah masyarakat, politik akan menyambut dan menjualnya kembali sebagai barang dagangan demi menarik perhatian masyarakat. Dari sini, tegas Iqbal, agama lantas menjadi “tameng akan ketidakmampuan pelayanan pemerintah”.

Tentang sentimen agama yang muncul di tengah polemik perda Injil, Iqbal menerangkan bahwa hal itu tak bisa dilepaskan dari sejarah Papua sendiri yang demografinya berubah secara mencengangkan. Populasi Muslim di Papua perlahan naik dan mulai menyamai penduduk mayoritas yang beragama Kristen. Kondisi ini dirasakan betul oleh masyarakat di sana. Persentase penduduk Kristen di sana adalah mayoritas berdasarkan sensus BPS 2010 komposisinya 53,77 persen.

Di sisi lain, proses “islamisasi” tersebut dibarengi tumbuh suburnya kelompok radikal di Papua. Masyarakat Papua, terang Iqbal, mulai melakukan perlawanan terhadap benih-benih radikalisme agama itu.

“Jadi, masyarakat Papua lebih menentang kelompok Islam radikal di sana. Bukan Islam secara keseluruhan,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait PERDA BERMASALAH atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf