Menuju konten utama

Perbedaan Sikap Umat Kristen Soal Donald Trump-Yerusalem

PGI, Paus Fransiskus, dan pemimpin gereja di Yerusalem kontra-Trump. Zionis Kristen, terutama di AS, pro-Trump.

Perbedaan Sikap Umat Kristen Soal Donald Trump-Yerusalem
Para jemaat membawa salib dalam prosesi Jumat Agung di sepanjang Via Dolorosa di Kota Tua Yerusalem, Jumat (14/4). ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad/cfo/17.

tirto.id - Donald Trump memenuhi janji yang ia lontarkan pada saat berkampanye menuju perebutan kursi presiden Amerika Serikat pada akhir 2016 silam: secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, dan mengumumkan rencana pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke kota bersejarah tersebut.

Reaksi komunitas internasional terbelah antara yang pro maupun kontra. Untuk yang kontra, kebetulan hampir seluruh petinggi negara-negara dunia mengecamnya. Bukan hanya pemimpin dunia Arab atau negara mayoritas Islam, namun juga negara-negara Barat yang selama ini kebijakan luar negerinya selaras dengan arah politik AS.

Alasan utamanya bermuara pada isu keamanan. Keputusan Trump dinilai akan melahirkan bibit konflik baru yang akan mengguncang stabilitas Timur Tengah. Kekhawatiran ini mulai menjadi kenyataan. Kamis (7/12/2017) Pemimpin Hamas Ismail Haniya menyerukan rakyat Palestina melakukan intifada (perlawanan) karena menyatakan keputusan Trump adalah deklarasi perang terhadap rakyat Palestina.

Mengingat Yerusalem juga kota suci bagi penganut Kristen, beragam sikap dari komunitas Kristen juga mengemuka di berbagai negar. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), misalnya, memilih untuk kontra. Dalam pernyataan resmi yang diterima Tirto, PGI tidak menyetujui keputusan Trump karena berlangsung sepihak dan mengabaikan jalan damai, apalagi jika diikuti dengan pemindahan ibukota.

PGI mendorong gereja-gereja untuk menempatkan status Yerusalem dalam skema jalan dalam dua negara demi perdamaian dan keadilan bagi orang Israel dan Palestina. Olehnya, PGI berharap, Yerusalem tidak serta merta diklaim sebagai ibukota oleh negara mana pun.”

Baca juga: Keputusan Trump dalam Bingkai Sejarah Konflik Yerusalem

PGI mengimbau agar masyarakat Indonesia tidak meletakkan isu Yerusalem dalam sentimen agama apalagi sampai dikapitalisasi untuk kontestasi politik tahun depan. Terakhir, dan tak lupa, PGI juga menghimbau agar pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah diplomatik terkait isu ini sembari memperhatikan skema jalan damai di mana Israel dan Palestina diletakkan dalam posisi yang sejajar.

Sebagaimana dilaporkan New York Times, beberapa jam sebelum Trump mengumumkan kebijakannya, Paus Fransiskus membuat permohonan yang berapi-api agar Tump tidak melakukan apapun yang bisa menimbulkan ketegangan di Yerusalem.

"Saya tidak dapat tetap diam mengenai keprihatinan mendalam saya terhadap situasi yang telah berkembang dalam beberapa hari ini. Pada saat yang sama, saya ingin melakukan seruan sepenuh hati untuk memastikan bahwa setiap orang berkomitmen untuk menghormati status quo kota, sesuai dengan resolusi yang relevan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Fransiskus.

"Yerusalem adalah kota yang unik: suci bagi orang Yahudi, Kristen dan Muslim. Sebab Tempat Suci untuk agama yang dihormati dan menjadi simbol khusus untuk perdamaian," imbuhnya.

Baca juga: Kiprah Kelompok Kristen dalam Pembebasan Palestina

Di hari yang sama, 13 pemimpin gereja-gereja di Yerusalem turut membuat pernyataan resmi melalui sebuah surat yang berisi permohonan agar Trump membatalkan rencananya. Mereka adalah Patriarch Theophilos III dari Patriarkat Ortodoks Yunani; Pierbattista Pizzaballa, Administrator Apostolik Patriarkat Latin; Uskup Agung Joseph-Jules Zerey dari Patriarkat Katolik Melkite-Yunani; Uskup Agung Suheil Dawani dari Gereja Anglikan di Israel; dan beberapa pemimpin Kristen lainnya.

Sebagaimana dilaporkan The Times of Israel, ke-13 tokoh menyatakan telah mengikuti perkembangan isunya dengan serius, dan akhirnya meyakini bahwa langkah Trump akan menghasilkan peningkatan kebencian, konflik, kekerasan, dan penderitaan di Yerusalem. Hal ini akan membuat mereka semakin jauh dari tujuan utama, yakni persatuan dengan penduduk Palestina lain yang ada di Yerusalem.

"Kami meminta Anda, Tuan Presiden, untuk membantu kita semua berjalan menuju lebih banyak cinta dan kedamaian yang pasti, yang tidak dapat dicapai tanpa Yerusalem diperuntukkan bagi semua orang," demikian cuplikan isi surat tersebut, yang dilanjutkan dengan permohonan serius agar AS tetap mengakui status internasional Yerusalem (bukan sebagai ibukota Israel).

Baca juga: Natal di Gaza

Menurut catatan sejarah New York Times, pada tahun 1947 PBB menyetujui rencana pembentukan dua negara: satu Yahudi, satunya Arab, dengan Yerusalem sebagai kawasan internasional khusus. Dunia Arab menolak rencana ini, dan setelah Negara Israel dideklarasikan pada 1948, mereka menyatakan perang. Sayang, mereka kalah dan terpaksa menerima sebagian Yerusalem sebagai bagian Timur di bawah kuasa Yordania sementara bagian Barat dikuasai Israel.

Israel belum puas sebab Kota Tua yang legendaris berada di wilayah yang dikuasai Yordania. Maka, pada 5 hingga 10 Juni 1967, pasukan militer Israel mengagetkan dunia dengan mencaplok wilayah Palestina yang tersisa—termasuk Yerusalem Timur.

Dengan kata lain, Israel sejak saat itu menganeksasi Yerusalem seutuhnya, dan berlangsung hingga kini. Status “kota internasional” makin kabur sebab kontrol Israel atas Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, selalu ketat dan represif terhadap penduduk Palestina. Protes komunitas dunia makin keras setelah pada 1980 Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibukotanya. Gagasan ini tak pernah direalisasikan benar-benar—hingga Trump naik panggung.

Umat Kristen adalah salah satu elemen yang mengikuti protes di jalanan Yerusalem bersama warga muslim Palestina lain setelah kebijakan Trump resmi disampaikan pada Rabu (6/12/2017) waktu AS di Gedung Putih. Meski demikian, aspirasi mereka, Paus Fransiskus, PGI, atau para pemimpin gereja Yerusalem tak diamini seluruh penganut Kristiani lainnya.

Baca juga: Palestina di Bawah Naungan Kristus

Di AS misalnya, dan kemudian menyebar ke negara lain, ada kelompok Kristen pembela proyek Zionisme yang juga setia menjadi pendukung Trump sejak kampanye pemilihan presiden AS 2016. Gerakan ini sudah ada sejak lama, tapi baru akhir-akhir ini mendapat panggung di negeri Paman Sam. Zionis Kristen, demikian sebutannya, adalah penganut Kristen yang meyakini kembalinya orang Yahudi ke Yerusalem dan pendirian Negara Israel sesuai dengan nubuat Alkitab.

Menurut riset LifeWay Research yang dipublikasikan Christianity Today pada Desember 2017, 45 persen evangelis AS menyatakan Alkitab berpengaruh terbesar terhadap pandangan mereka tentang Israel. Sebanyak 63 persen dari mereka mendukung Israel karena "Tuhan memberikan tanah Israel kepada orang-orang Yahudi."

Bagian lain riset tersebut menyatakan bahwa 80 persen evangelis AS menyatakan bahwa pendirian negara Israel pada tahun 1948 merupakan pemenuhan nubuat Alkitab dan meyakini Tuhan memang menjanjikan tanah Israel kepada Abraham serta keturunannya untuk selama-lamanya.

Laueie Cardoza-Moore adalah pendiri dan presiden Proclaiming Justice to The Nations dan Utusan Khusus untuk PBB untuk Dewan Gereja Kristen Independen Dunia. Rabu (6/12/2017) ia menuliskan opininya di kanal Hareetz dengan judul yang langsung bersikap atas isu yang dibawa Trump: “Kami Orang Kristen Amerika Menerima dengan Senang Hati Kepatuhan Trump kepada Sabda Allah di Yerusalem”

Laueie menyebutkan lagi keputusan Kongres AS pada 1995 yang menyeru agar AS mesti memulai pendanaan dan pemindahan kedutaan besar negara dari Tel Aviv ke Yerusalem—paling lambat 31 Mei 1999. Realisasi UU ini juga berlaku sebagai tanda penghormatan untuk kebijakan Israel yang memutuskan Yerusalem sebagai ibukota mereka.

Baca juga: Kristianitas di Timur Tengah

Infografik Perbedaan Sikap Soal Yarusalem

Presiden Clinton, Bush, dan Obama selalu urung menjalankannya dengan menandatangani hak penolakan tiap enam bulan. Alasannya, mereka takut akan menggoncangkan stabilitas dan keamanan kawasan. Laueie memuji Trump karena berani berbeda, dan menyatakan lobi-lobi yang dilancarkan pihaknya selama ini menuai keberhasilan. Di bagian lain opini, Laueie mengemukakan argumen teologis untuk mendukung keputusan Trump—argumen khas Zionis Kristen.

Kegembiraan dan dukungan Laueie juga dikemukakan oleh Liberty Counsel, organisasi evangelis yang konservatif dan mendukung politik sayap kanan di AS. Meski suaranya lumayan kencang, namun bukan berarti seluruh penganut Protestan di AS mendukung Trump.

Salah satu organisasi yang kontra adalah The National Council of Churces (NCC) yang mewakili sekitar 35 juta orang Protestan AS di 38 denominasi yang berbeda; mulai dari Presbiterian, Metodis, hingga Konvensi Baptis Nasional. Sebagaimana dilaporkan Hareetz, mereka menilai Trump “telah membuang bahan bakar pada kebakaran konflik di wilayah tersebut, sementara orang-orang akan mati sebagai akibat langsung dari keputusan ini.”

NCC mengatakan, "dengan secara sepihak menyatakan seluruh kota (Yerusalem) menjadi ibukota Israel dan dengan mengumumkan langkah utnuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem," Trump "telah sangat merusak sisa kredibilitas diplomat AS untuk bertindak sebagai perantara untuk sebuah persetujuan perdamaian.."

Baca juga artikel terkait YERUSALEM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani