Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Perbedaan Penafsiran Alquran Sudah Terjadi Sejak Zaman Nabi

Makna kosa kata yang digunakan Alquran tersebut mengandung aneka makna, bahkan ada juga yang bertolak belakang.

Perbedaan Penafsiran Alquran Sudah Terjadi Sejak Zaman Nabi

tirto.id - Nabi Muhammad menyampaikan ajaran Islam di Mekkah dan Madinah dan dari sana tersebar ke berbagai penjuru dunia. Di Haramayn inilah ajaran Islam berinteraksi dengan budaya masyarakat setempat. Budaya itu ada yang dikukuhkan, ada yang ditolak, dan ada juga yang diluruskan.

Dalam konteks al-Qur’an yang menjadi sumber pokok ajaran Islam, dengan tegas dan jelas memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengukuhkan ma’ruf (budaya positif masyarakat) yang tak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an dan melarang budaya yang menyimpang (munkar).

Ketika Islam yang Nabi Muhammad SAW ajarkan bersentuhan dengan masyarakat lain yang berbeda budaya dengan masyarakat Mekkah dan Madinah, prinsip di atas terjadi. Namun karena ajaran Islam begitu kuat serta keyakinan pemeluknya begitu teguh, sering kali mengantar kepada melemahkan bahkan tergusurnya budaya setempat. Sampai-sampai, pada gilirannya, menjadikan Bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran menggusur bahasa setempat yang tadinya digunakan di banyak masyarakat Timur Tengah atau sedikitnya menggantikan bahasa setempat dengan bahasa Alquran seperti halnya di Indonesia.

Memang dalam akulturasi lazim terjadi proses budaya yang kuat memengaruhi budaya yang lemah. Kendati demikian, betapa banyak budaya positif di Haramayn yang tetap diperintahkan [untuk dilanjutkan], terutama jika tak ada petunjuk keagamaan yang melarang secara pasti terkait hal tersebut. Dari sinilah kemudian lahir kaidah al-adat muhakkamah. Maksudnya, kebiasaan satu masyarakat yang tak bertentangan dengan tuntunan agama yang bersifat pasti (qath’i) dapat dijadikan pertimbangan hukum. Pada gilirannya, hal ini menjadi faktor yang menghasilkan keragaman pendapat dalam ajaran islam; keragaman yang dapat diterima dan sah adanya.

Di sisi lain para pemikir -- siapa, kapan dan apa pun objek pemikirannya -– tak dapat melepaskan diri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial budaya masyarakat, serta kecenderungan pribadi masing-masing. Dari sini lahir aneka pendapat keislaman yang beragam, khsususnya dalam rincian ajarannya.

Perbedaan yang menyangkut rincian, bahkan terjadi antara dua orang nabi yang hidup semasa dan di lokasi yang sama, serta menghadapi kasus yang sama, sebagaimana terjadi antara Nabi Daud dan putranya, Nabi Sulaiman (baca tafsir QS. al-Anbiya’ ayat 77-78). Bahkan pemikir yang sama bisa menghasilkan dua pendapat yang berlainan akibat perbedaan waktu dan lokasi di mana dia berpikir. Imam Syafi’i, misalnya, melahirkan pandangan keislaman yang berbeda ketika bermukim di Irak dan saat dia tinggal di Mesir.

Dari fakta-fakta ini tidak keliru bila ada yang berpendapat bahwa kita bisa menemukan aneka pendapat yang berbeda dalam rincian ajaran Islam yang, antara lain, dipicu perbedaan kondisi masyarakat yang ditemui sang pemikir.

Faktor penting lainnya yang melahirkan keragaman dan aneka pendapat dalam ajaran Islam adalah teks Alquran dan penilaian terhadap keabsahan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Meski teks ayat-ayat Alquran disepakati dan diyakini semua muslim sebagai bersumber dari Allah SWT dan merupakan firman-Nya yang disusun langsung oleh Dia Yang Maha Mengetahui, pada umumnya makna kosa kata yang digunakan kitab suci tersebut mengandung aneka makna, bahkan ada juga yang bertolak belakang.

Seperti kata quru dalam QS. al-Baqarah ayat 228. Ayat ini memerintahkan agar para wanita yang dicerai suaminya sedang keadaannya belum atau tidak jelas apakah dia sedang hamil atau tidak untuk menanti selama tiga kali quru sebelum menikah dengan pria yang lain. Dari segi bahasa, kata quru dapat berarti "suci dari haid"; dapat juga bermakna lawannya: "mengalami haid".

Perbedaan pendapat ini telah lahir sejak masa sahabat-sahabat Nabi dan itu berlanjut hingga kini. Imam Malik dan Imam Syafi’I mengartikannya dalam arti suci, sementara Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengartikannya dengan haid.

Bisa juga perbedaan pendapat atau penafsiran lahir karena ada ulama memahami kata atau susunan redaksi yang dia tafsirkan dalam arti hakiki, sementara yang lain memahaminya dalam makna majazi/metafora. Misalnya, kata "nikah". Apakah kata ini berarti "akad nikah", walau belum bercampur sebagai suami istri; ataukah ia bermakna hakiki, yaitu "hubungan seks"? Penetapan mana makna yang dipilih sangat memengaruhi penafsiran atas firman-Nya, “Janganlah menikahi siapa yang telah dinikahi ayah kamu.” (QS. an-Nisa ayat 22)

Imam Syafi’i dan Imam Malik yang memahami kata nikah dalam akad nikah yang sahih berpendapat bahwa bila ada lelaki yang berzina dengan seorang perempuan, anak dari lelaki yang telah menzinahi perempuan itu boleh mengawini perempuan yang telah berzina dengan ayahnya; tetapi ulama lain seperti Abu Hanifah mengharamkan perkawinan tersebut karena mereka memahami kata "nikah" dalam arti "hubungan seks" secara mutlak, baik dengan akad yang sah maupun tidak.

Faktor lain yang dapat menimbulkan perbedaan adalah ada atau tidaknya penyisipan kata atau kalimat dalam susunan ayat atau hadis. Misalnya, ketika Alquran memerintahkan agar melanjutkan puasa sampai malam (QS. al-Baqarah ayat 187). Pertanyaannya: apa yang dimaksud dengan malam? Apakah kata tersebut diartikan sesuai makna dasarnya, yaitu gelap, ataukah dalam arti terbenamnya matahari kendati masih ada mega merah sehingga belum gelap?

infografik asmaul husna hari 24 kultum bersama Quraish Shihab 20

Banyak ulama yang memahaminya dalam arti yang kedua. Pendapat mereka dikukuhkan riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Tapi penganut pendapat pertama menilai riwayat tersebut tidak sah, sehingga waktu berbuka puasa mereka lebih lama sekian menit yakni sampai hilangnya mega merah.

Hal lain yang bisa menimbulkan perbedaan pendapat adalah penyisipan kata/kalimat. Contoh adanya penyisipan kata/kalimat atau ketiadaan sisipan yang menimbulkan perbedaan pendapat, antara lain, terdapat dalam al-Baqarah ayat 185. Pada ayat ini, setelah ditetapkan kewajiban berpuasa terhadap mereka yang sedang berada di kampung halamannya, dilanjutkan dengan: “Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa) maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang dia tinggalkan pada hari-hari yang lain.”

Kalimat dalam kurung (lalu ia tidak berpuasa) adalah sisipan, karena tanpa sisipan itu dapat diduga sebagaimana pandangan sebagian mazhab bahwa puasa dalam perjalanan tidak sah. Padahal ulama lain berdasar hadis yang mereka kukuhkan menyatakan sahnya puasa bagi musafir karena, menurut riwayat Nabi SAW., memberi alternatif bagi musafir untuk berpuasa atau berbuka. Karena itulah dibutuhkan sisipan kalimat tersebut untuk menjelaskan makna ayat tersebut.

Perbedaan pendapat juga dapat lahir dari diketahui atau tidaknya satu hadis Nabi SAW dan penilaian sahih tidaknya hadis tersebut. Jika dinilai sahih, perbedaan pendapat masih dapat lahir lagi akibat perbedaan penafsiran terhadap hadis yang dimaksud. Perbedaan juga bisa lahir akibat perbedaan kaidah-kaidah hukum yang digunakan masing-masing ulama.

Misalnya dalam redaksi ayat Alquran atau hadis yang menggunakan bentuk perintah. Perbedaan muncul ketika timbul pertanyaan: Kapan ia berarti wajib dan kapan berarti sunnah/tuntunan? Demikian juga dalam hal larangan. Apakah ia berarti hanya terlarang tapi tetap sah jika dilakukan atau terlarang sekaligus tidak sah? Sebab lain adalah apakah qiyas (analogi) dapat digunakan untuk menetapkan hukum atau tidak? Demikian juga dengan mafhum, yakni makna tersirat dari satu kalimat, apakah ia merupakan dasar hukum atau bukan?

Masih ada sekian faktor yang dapat menimbulkan perbedaan dan keragaman pendapat, tapi artikel ini bukan dalam rangka merincinya sedetail mungkin. Yang ingin penulis tekankan adalah perbedaan pandangan telah terjadi sejak masa Rasul SAW. Namun saat itu, umat bisa langsung mendapatkan bertanya dan mendapatkan jawaban dari beliau. Jawaban itulah yang meluruskan kesalahan atau dapat membenarkan aneka perbedaan yang muncul.

Namun keistimewaan seperti itu, bertanya langsung pada Nabi Muhammad SAW., tidak bisa lagi dinikmati olah umat setelah kepergian beliau, termasuk kita di zaman ini.

======

*) Naskah diambil dari buku "Islam yang Saya Anut" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS