Menuju konten utama

Peraturan yang Wajib Diperhatikan dalam Mengasuh Anak

Orangtua asuh harus seagama dengan si anak. Jika asal usul anak tak diketahui maka disesuaikan dengan agama mayoritas setempat.

Peraturan yang Wajib Diperhatikan dalam Mengasuh Anak
Anak balita di Panti Asuhan Anak Tunas Bangsa, Cipayung, Jakarta Timur. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Masih ingat cerita Panti Asuhan Samuel, Tangerang, yang mengurung anak-anak asuh di kandang anjing? Atau kisah orang tua di Cibubur yang melarang anaknya masuk rumah, tak memberi makan, dan membiarkannya berkeliaran di luar selama sebulan?

Kisah pertama diwarnai usaha anak-anak panti berulang kali berusaha melarikan diri. Namun, berulang kali juga mereka tertangkap dan akhirnya kembali disiksa. Sementara kisah kedua muncul lantaran sang orang tua mengonsumsi narkoba. Kelima anaknya harus berkeliaran tidur di pos satpam dan diberi makan tetangga sekitar.

Negara memiliki fungsi lebih serius untuk mengatur dan melindungi anak-anak di masa perkembangan. Sehingga tumbuh kembang mereka terjamin dan dapat melangsungkan hidup dengan layak. Untuk mengakomodir semua itu, pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak.

Baca juga: Anak-anak yang Dititipkan

Menteri Sosial Republik Indonesia Khofifah Indar Parawansa menyatakan, keluarnya PP tersebut merupakan mandat lanjutan dari Pasal 38A UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Secara rinci, PP ini mengatur kondisi pengasuhan anak yang terpaksa hidup dengan keluarga selain orang tua kandungnya atau dalam lembaga asuh anak.

“PP ini memastikan bahwa negara hadir dalam memberikan perlindungan pada anak dan memastikan anak mendapatkan pengasuhan terbaik bagi mereka,” kata Khofifah dalam sosialisasi PP di Jakarta, Jumat (17/11/2017).

Selama ini lembaga asuh anak dianggap sebagai wadah lain untuk mengurus tumbuh kembang anak selain keluarga. Sehingga banyak lembaga asuh yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk melakukan eksploitasi. Seperti yang terjadi di Panti Asuhan Samuel di atas, uang donasi ternyata tak dipergunakan secara baik untuk mencukupi kebutuhan anak asuh mereka. Anak-anak bahkan terlihat lusuh, kurus, dan mengaku sering diberi makan mie basi dan air kran.

Kini, setelah diundangkannya PP tersebut, lembaga asuh anak dipersiapkan mendukung pengasuhan anak berbasis keluarga. Lembaga asuhan anak dan lembaga kesejahteraan sosial akan mengurus persiapan orangtua asuh sebelum penempatannya disetujui Dinas Sosial. Sehingga lembaga asuh akan mendorong anak dapat diasuh keluarga, orang tua, atau keluarga orang tua asuh.

“Kami ingin memastikan bahwa setiap anak dapat yang mereka butuhkan yaitu kasih sayang, kelekatan, keselamatan, kesejahteraan, dan hak-hak sipil anak yang lain,” katanya.

Baca juga: Ragam Kisah Anak Panti

Meski begitu, ia menekankan bahwa setiap anak lebih berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri. Sehingga pemerintah akan mendorong agar anak tetap dapat hidup dengan orang tuanya. Baru kemudian, ketika tidak memungkinkan akan dicarikan pilihan asuh lain. Anak dipastikan harus mendapat pengasuhan terbaik untuknya.

Tata Sudrajat, Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Sayangi Tunas Cilik menambahkan, terdapat lebih dari setengah juta anak Indonesia tinggal di Panti Asuhan. Sebanyak 90 persen dari mereka masih memiliki satu orang tua kandung. Lalu 60 persen diantaranya masih punya orang tua lengkap.

“Kondisi mereka di panti banyak tidak lebih baik dari kondisi ketika diasuh keluarga,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Baginya, peraturan ini menjadi penegasan bahwa menitipkan anak di panti asuhan adalah upaya terakhir yang boleh dilakukan. Apabila orang tua tidak mampu mengasuh anak dan seluruh kemungkinan pengasuhan berbasis keluarga sudah dilakukan.

Dalam Pasal 3 ayat 4 PP ini, disebutkan pengasuhan anak oleh Lembaga Asuhan Anak dilakukan dengan persyaratan orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Dan poin selanjutnya menyatakan orang tua terlebih dulu telah dicabut kuasa asuhnya berdasarkan penetapan pengadilan.

Baca juga: Mahalnya Biaya Membesarkan Anak

infografik kekerasan terhadap anak

Anak Asuh Harus Seagama

Agustus lalu, foto sorang polwan sedang menggendong bayi viral dibicarakan. Namanya Aipda Rouli Ida Maharani Hutagaol, polwan yang bertugas di Polres Binja, Sumatra Utara. Keinginannya mengadopsi bayi yang ditemukan di Pasar Sepuluh Tanjungjati, Binjai Barat, harus kandas karena persoalan agama. Menurut peraturan, bayi tanpa asal usul tersebut harus mengikuti agama mayoritas penduduk setempat. Sedang Ida, memeluk agama Kristen.

Dalam PP No. 44 tahun 2017 ini juga disebutkan pengasuhan anak harus berlandaskan kesamaan agama. Pasal 4 menyatakan Lembaga Asuhan Anak harus berlandaskan agama, yakni anak yang diasuh harus seagama dengan agama yang menjadi landasan Lembaga Asuhan Anak tersebut.

Baca juga: Anak Muda Intoleran Isu Agama

Jika lembaga asuhan anak tidak berlandaskan agama, maka Pasal 5 PP ini menyatakan pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. Jika ada orang tua asuh yang mau mengadopsi anak, seperti Ida, maka Pasal 19 E menyatakan persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah beragama sama dengan agama anak. Sementara, jika asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat, setingkat desa atau kelurahan.

Meski naluri kemanusiaan tidak memandang agama dan ras, namun dalam hal ini tak ada celah yang dapat mengugurkan aturan tersebut. Dalam kasus Ida, bahkan ia harus merelakan niat baiknya gugur setelah Dinas Sosial menolak mengabulkan permohonan adopsinya karena masalah agama.

Baca juga artikel terkait POLA ASUH ANAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS