Menuju konten utama

Perang yang Melahirkan Jinwar, Komune Perempuan Damai di Suriah

Penduduknya 100% perempuan yang mandiri mengurus pangan, ekonomi, keamanan, hingga infrastruktur.

Perang yang Melahirkan Jinwar, Komune Perempuan Damai di Suriah
Seorang perempuan Yazidi dari Unit Pertahanan Sinjar (YBS) membawa senapan di Gunung Sinjar, Irak, Selasa (6/6). Foto diambil tanggal 6 Juni 2017. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer.

tirto.id - Suriah diguncang perang sipil mulai pertengahan 2011. Sejak saat itu area-area di dalam negeri dikuasai oleh beragam faksi. Ada yang menyatakan dukungan kepada pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, ada yang memberontak kepadanya, ada yang berupaya mendirikan negara sendiri seperti ISIS.

Bayang-bayang konflik sampai ke Qamishli, sebuah kota di ujung utara Suriah dan berbatasan langsung dengan Turki. Dalam konteks perang sipil Suriah, jika Turki mau, mereka bisa menginvasi Qamishli dan sekitarnya.

Turki adalah salah satu negara yang melawan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), koalisi milisi-milisi yang didukung oleh AS dan negara-negara Barat lainnya, serta dikaitkan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), grup separatis yang dinyatakan sebagai teroris oleh Ankara.

Konflik keduanya sudah berlangsung lama. Orang-orang etnis Kurdi di Turki masih memperjuangkan tanah air sendiri. Aspirasinya juga datang dari orang-orang Kurdi di Suriah dan Irak, didiskriminasi dan dipersekusi sebagaimana nasib orang Kurdi di Turki.

Orang-orang Yazidi didera penderitaan yang sama. Mereka kadang dimasukkan dalam golongan etnis Kurdi. Status minoritas menjadikan mereka sasaran empuk oleh ISIS. Jumlah korbannya mencapai ribuan, berpuncak ketika ISIS sedang jaya-jayanya.

Yang laki-laki dikumpulkan untuk ditembak mati lalu dibuang di kuburan masal. Para perempuannya dijual di pasar budak ISIS. Banyak di antaranya yang dilempar dari satu tentara ke tentara lain sembari mengalami penyiksaan fisik, mental maupun seksual.

Para penyintas, terutama perempuan, baik warga Yazidi maupun Kurdi, mengalami trauma yang hebat. Tidak banyak opsi yang bisa mereka lakukan setelah situasi perlahan-lahan menjadi stabil. Beberapa di antaranya kemudian memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Jinwar.

Jinwar terletak beberapa kilometer saja dari Qamishli. Namanya berarti “tanahnya perempuan” dalam bahasa Kurdi. Bentuknya semacam komune yang menerima para perempuan dan anak-anak korban perang. Tidak ada batasan untuk etnis atau agama tertentu sebab Jinwar bersifat inklusif.

Pengecualiannya hanya pada jenis kelamin, sebab Jinwar tidak menerima laki-laki dewasa. Pembangunan Jinwar dilandasi pada idealisme akan komune yang mandiri, bebas, aman, dan demokratis tanpa ada ketergantungan pada laki-laki apalagi sistem patriarkinya.

Loumay Alesali dan Christina Zdanowicz menyusun laporan apik tentang Jinwar yang dipublikasikan CNN World pada Sabtu (4/4/2019) kemarin.

Alesali dan Zdanowicz mewawancarai Fatma Emin. Emin adalah janda beranak enam yang suaminya dibunuh ISIS dalam serangan ranjau darat pada tahun 2015. Setelahnya ia mendapat pekerjaan yang ia senangi di pemerintahan Kota Kobani. Peformanya sehari-hari tergolong baik. Dari situ ia bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak.

Perjuangan perempuan berusia 35 tahun itu justru berat karena keluarga suami meminta dirinya tidak bekerja. Mereka juga berkali-kali membawa anak-anak jauh darinya. Emin dan anak-anaknya dipandang lemah sebab tidak memiliki suami sebagai pelindung.

Emin menegaskan dirinya tidak membutuhkan laki-laki. Ia bisa melindungi dirinya sendiri, bisa memberi makan anak-anaknya sendiri. Ia hanya membutuhkan lingkungan tinggal yang aman, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Jinwar bersama anak-anaknya.

Proses kepindahan dibantu oleh kelompok aktivis Kurdi pada dua tahun silam. Jinwar dianggap Emin sebagai respons untuk orang-orang yang mengancam kebebasan perempuan, yang memandangnya sebagai makhluk lemah dalam masyarakat, atau menilai perempuan tak mampu mengurus kehidupan dan anak-anaknya jika berstatus single.

“Kebalikannya, seorang perempuan di sini bisa membangun rumahnya sendiri. Di sini desa dibangun bukan untuk perempuan Kurdi saja. Ada yang dari Arab, ada juga Yazidi, dan beberapa kawan-kawan dari luar negeri juga tinggal bersama kami,” katanya.

Konstruksi dasar infrastruktur Jinwar mulai dijalankan pada bulan November 2016, sementara pembangunan rumah pertama dilaksanakan pada 2017.

Penggagasnya adalah organisasi-organisasi perempuan Kurdi seperti Bintang Kongreya dan Yayasan Perempuan Merdeka Rojava. Sejumlah organisasi internasional yang bersimpati turut mendonorkan dana.

Komune resmi dibuka pada 25 November 2018, bertepatan dengan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Jinwar memiliki dewan yang pemimpinnya berganti tiap bulan. Corak kehidupannya bersifat ekologis. Contohnya menggunakan batu bata berbahan lumpur yang dibikin sendiri untuk membangun rumah dan gedung-gedung publik.

Total 30 rumah penduduk dibangun dari bata tersebut. Rumah terlihat kering dari luar. Tapi interiornya terlihat hidup sebab dihias dengan cat warna-warni serta dihias ragam dekorasi.

Berdiri sebuah klinik tempat warga menjalani pengobatan alternatif dengan menggunakan obat-obatan herbal. Ada pula satu Akademi JINWAR tempat anak-anak dididik sesuai nilai-nilai komune serta tempat untuk mengasah kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.

Kini Jinwar menjadi tempat tinggal bagi 16 perempuan dan 32 anak-anak. Laki-laki dewasa boleh berkunjung tapi mesti bersikap hormat serta dilarang mengingap. Laki-laki yang boleh tinggal hanya anak yang lahir di Jinwar atau anak yang ikut ibunya selama mencari perlindungan dari perang.

Anak-anak yang tumbuh di Jinwar diberi kebebasan untuk memilih jika sudah dewasa: apakah tetap tinggal di komune atau mau pindah ke tempat lain. Mereka bisa ke luar komune secara sementara dalam rangka bekerja atau menuntut pendidikan menengah atau pendidikan tinggi.

Richard Hall dari Independent mencatat Jinwar sebagai bentuk lain dari perjuangan membela diri yang digalang oleh para perempuan Kurdi.

Ancaman pokoknya adalah ISIS. Mereka belajar dari apa yang dilakukan kelompok militan pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu kepada orang-orang Yazidi. Tak ingin jadi korban selanjutnya, mereka menenteng senjata, bahu-membahu bersama pejuang laki-laki Kurdi lainnya.

Cerita tentang perjuangan para perempuan Kurdi melawan ISIS telah diangkat berbagai media massa. Salah satu pendiri Jinwar berkata pada Hall bahwa komune adalah proyek kelanjutan dari “revolusi perempuan” yang membuat banyak perempuan Kurdi mesti meninggalkan keluarganya.

Dunia mengenal orang-orang Kurdi sebagai kelompok masyarakat yang demokratis dengan mengijinkan kaum perempuannya bertarung di medan perang. Tapi Hall menegaskan masyarakat Kurdi sebenarnya masih konservatif.

“Jinwar pada akhirnya dibangun sebagai tempat bagi perempuan untuk melarikan diri dari peran-peran patriarkis yang dibebankan keluarga pada mereka,” tulis Hall.

Salah satu narasumbernya adalah Zainab Gavary, perempuan yang dulu dinikahkan orang tuanya di usia dini. Sang suami meninggal tak lama setelah keduanya berumah tangga. Ia sempat menderita, sampai akhirnya kehidupan membaik setelah pindah ke Jinwar bersama anak laki-lakinya.

"Tanpa perempuan tidak ada kebebasan," katanya, mengulangi kalimat mutiara yang tertulis di dinding salah satu rumah di Jinwar. "Sampai perempuan bisa terdidik dan mampu memberdayakan diri mereka sendiri, tidak akan ada kebebasan."

Kemandirian itu termasuk dalam isu keamanan. Tentara Kurdi akan melindungi Jinwar jika ada serangan militer. Tetapi tiap malam penduduk tetap melaksanakan penjagaan secara bergantian sambil dibekali senjata. Warga dewasa lain banyak yang tertarik belajar menggunakan senjata untuk bela diri, namun program ini belum dijalankan secara solid.

Bethan McKernan melaporkan untuk Guardian bagaimana Jinwar tidak hanya mengambil jarak dari patriarki, tapi juga menjauhi ekses-ekses kapitalisme atau individualisme. Roda kehidupannya serba komunal.

Warga membangun beberapa toko tempat menjual roti dan kerajinan tangan. Kegiatan ekonominya digerakkan dengan membangun relasi dagang dengan desa-desa tetangga. Ada rencana untuk menyelenggarakan kursus mengendarai mobil sampai bisnis menjahit kecil-kecilan.

Lainnya bertugas menggembalakan hewan atau mengolah beberapa varietas tanaman di petak-petak perkebunan. Hasilnya dimasak dan dimakan bersama-sama.

Infografik Jinwar

undefined

McKernan mengamati pada suatu Sabtu warga komune mengundang warga desa tetangga. Agendanya perayaan untuk sekelompok perempuan lokal yang lulus kursus obat herbal di pusat pendidikan Jinwar. Diskusi berjalan hangat tentang varietas tanaman baru hingga ditutup dengan dansa-dansi.

Trauma masa lalu nampak tak terlihat. Mereka beruntung sebab McKernan mencatat banyak perempuan Kurdi atau Yazidi yang bunuh diri saat selama disekap ISIS. Kehidupan ekonomi mereka bisa tercukupi, tidak seperti korban lain yang meski berhasil kabur tapi rata-rata jatuh miskin.

Kemiskinan tak hanya disebabkan faktor trauma, tapi juga faktor ketergantungan pada laki-laki, entah itu suami maupun keluarga. Mereka kelimpungan saat tiba-tiba sendiri.

Di saat ekonomi Suriah remuk redam, mereka kesulitan mencari pekerjaan. Jalan satu-satunya adalah dengan mencari suami baru. Tapi kemungkinannya menyempit mengingat mereka berstatus janda sekaligus mantan budak seks militan ISIS.

Jinwar memberangus problem-problem tersebut karena salah satu filosofi pokoknya adalah kemandirian.

“Di bawah kekuasaan ISIS kami dicekik, tapi sekarang kami bebas. Tapi sebelum itu pun kami dikurung di dalam rumah. Kami tidak bisa keluar dan bekerja. Di Jinwar, aku melihat perempuan bisa mandiri,” kata Barwa Darwish, salah satu narasumber McKernan.

Darwish datang ke Jinwar bersama ketujuh anaknya setelah kampungnya di Provinsi Deir Ezzor dibebaskan dari cengkeraman ISIS. Suaminya meninggal dalam usaha pembebasan tersebut.

Narasumber McKernan lain adalah remaja bernama Berivan dan ibunya yang berasal dari Sinjar, Irak. Sinjar adalah wilayah mayoritas Yazidi yang menjadi salah satu tempat di mana ISIS menjalankan genosidanya. Ia beserta perempuan lain diculik pada 2014 saat pasukan ISIS menyeberangi perbatasan.

Kekalahan ISIS mengantarkan Berivan dan ibunya ke Jinwar. Sepanjang awal kedatangannya sang ibu diam seribu bahasa sebagai efek dari trauma. Lama kelamaan ia mulai bicara kembali. Bagi MCKernan hal tersebut adalah contoh kesuksesan Jinwar sebagai tempat rehabilitasi terbaik bagi korban Perang Sipil Suriah.

Jinwar terus berkembang, sampai di satu titik mereka memiliki kolam renang yang terletak di belakang pusat studi. Kolam renang akan diisi air pada musim panas.

“Sebagian besar penduduk akan menggunakannya untuk pertama kali, mengingat selama ini kolam renang hanya eksklusif untuk pria di sebagian besar Timur Tengah,” tulis McKernan.

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf