Menuju konten utama

Perang Saudara PDIP Surabaya akan Rugikan Eri-Armuji di Pilkada

Tak semua kader PDIP Surabaya mendukung Eri-Armuji. Ada pula yang mendukung kompetitor. Fungsionaris partai bilang telah terjadi politik adu domba.

Perang Saudara PDIP Surabaya akan Rugikan Eri-Armuji di Pilkada
Pasangan bakal calon Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi (kiri) dan bakal calon Wakil Wali Kota Surabaya Armuji (kanan) menyampaikan sambutan usai pengumuman rekomendasi calon kepala daerah yang diusung Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Taman Harmoni, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (2/9/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/foc.

tirto.id - “Saya menyerukan kepada saudara-saudara yang setia di barisan Whisnu Sakti Buana, setia pada sejarah PDIP Kota Surabaya, amankan posisi Anda. Amankan wilayah Anda. Lawan Risma, lawan Eri-Armuji. Karena kekalahan Risma, kekalahan Eri-Armuji, adalah kemenangan PDIP, kemenangan ibu Megawati Soekarnoputri, kemenangan sejarah perjuangan Kota Surabaya. Merdeka!”

Pernyataan tidak biasa tersebut keluar dari mulut Jagad Hariseno pada Minggu 15 November lalu. Disebut tidak biasa karena ia adalah kader PDIP, partainya Wali Kota Surabaya saat ini Tri Rismaharini sekaligus pengusung pasangan calon Eri Cahyadi-Armuji di Pilkada Surabaya.

Ia menuding Risma sedang membangun dinasti politik sendiri di struktur PDIP Surabaya lewat Eri Cahyadi, seorang birokrat yang lama menjadi bawahannya di pemerintah kota, dan pernah diakui sebagai “anak saya.” Sedangkan Komando Tim Relawan Pemenangan Eri-Armuji, kata Seno, diisi oleh Fuad Bernardi, anak kandung Risma yang di masa depan akan menguasai DPC PDIP Surabaya.

“Risma sudah tidak bisa kita anggap remeh atau kita anggap enteng. Kepentingan politik Risma didukung oleh kekuatan oligarki politik dengan dukungan finansial yang cukup kuat di belakang, harus kita lawan,” kata Seno.

Bahkan, lanjut Seno, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pun tak bisa menghentikan Risma di Surabaya.

Seno termasuk orang lama di PDIP Surabaya. Ia adalah anak sulung dari Sutjipto Soedjono, insinyur dan politikus yang ikut mendirikan PDIP bersama Megawati Soekarnoputri di penghujung Orde Baru, yang wafat pada 2011 silam. Seno juga merupakan kakak dari Whisnu Sakti Buana, wakilnya Risma pada 2014-2015 lalu.

Sempat mencuat isu rivalitas antara Whisnu dan Eri. Jika Eri dekat dengan Risma, Whisnu dikabarkan merupakan jagoan Hasto. Seolah mengonfirmasi rivalitas, Megawati menenangkan Whisnu saat mengumumkan Eri yang dipilih sebagai jagoan partai pada 2 September lalu. Meski demikian, klaim rivalitas ini disanggah Hasto, dan Whisnu kini menjadi panglima pemenangan Eri-Armuji.

Whisnu telah menanggapi perbedaan politik dengan kakaknya ini. Ia mengatakan “urusan keluarga kita selesaikan setelah perang menang.”

Membelotnya kader PDIP Kota Surabaya sebenarnya bukan kali in saja. Sebelum Seno, ada Mat Mochtar yang terang-terangan mendukung kompetitor Eri-Armuji, yaitu Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno. Konsekuensinya, Mat Mochtar akhirnya dipecat.

Dampak Elektoral

Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat mengatakan dukungan 'orang-orang PDIP' terhadap calon lain ini merupakan strategi politik pecah belah yang dilancarkan kubu lawan.

“Politik pemecah belah selama masa kolonial selalu dilawan oleh seluruh anak bangsa, termasuk NU, Muhammadiyah, dan PNI saat itu. Jadi, rasanya kurang elok kalau tim Machfud-Mujiaman menjalankan politik adu domba, termasuk apa yang dilakukan oleh Mat Mochtar. Sebab itu cara kolonial yang ditentang arek-arek Surabaya,” kata Djarot, Kamis (19/11/2020) lalu, dikutip dari Antara.

Ia mengatakan Machfud-Mujiaman melakukan politik pecah belah karena tak punya kelebihan lain selain retorika, yang mereka tunjukkan saat debat publik terakhir, Rabu (18/11/2020) lalu. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini bilang keduanya tak paham pengelolaan pemerintahan, apalagi dan tata kota Surabaya.

Direktur Komunikasi dan Media Tim Pemenangan Machfud-Mujiaman Imam Syafii membantah tudingan tersebut dengan mengatakan justru masalahnya terletak di PDIP sendiri yang tidak dapat mengonsolidasikan para kader. “Mosok sing dituduh wong liyo?” katanya, Jumat (20/11/2020) lalu. Dia juga memastikan tak pernah membujuk apalagi memaksa Seno dan Mat Mochtar mendukung Machfud-Mujiaman.

Menurut pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo, sikap Seno barangkali memang bukan karena ia dipengaruhi kubu lawan, tapi bentuk simpati terhadap sang adik yang 'disingkirkan' dari pemilihan. “Mungkin Seno tidak tega lihat adiknya, akhirnya marah. Itu tidak terbaca oleh orang. Sebagai kakak yang adiknya digitukan, kan, kecewa,” ujar Suko kepada reporter Tirto, Jumat.

Terlepas dari apa yang sebenarnya ada di balik layar, menurut Suko, friksi antara kakak beradik Seno dan Whisnu dapat merugikan Eri-Armuji. Mesin PDIP untuk meraup suara publik jadi tak maksimal. “Sedikit banyak suara PDIP tergerus, misalnya dari suara yang didapat di Pileg 2019,” ujar Suko.

Memaksimalkan sumber daya partai penting karena elektabilitas Eri bisa dibilang merosot. Dalam simulasi pemilihan wali kota yang dilakukan Poltracking Indonesia pada 19-23 Oktober lalu, suara Machfud mencapai 51,9 persen, sedangkan Eri hanya mendapat 34,3 persen. Sementara dalam simulasi pemilihan wakil wali kota, Mujiaman berada di angka 47,5 persen, di atas Armuji yang hanya 30,7 persen.

Simulasi berpasangan pun akan tetap memenangkan Machfud-Mujiaman dengan suara 51,7 persen, mengalahkan Eri-Armuji yang hanya 34,1 persen.

Bahkan, para pemilih Risma dan Whisnu pada periode sebelumnya—sebanyak 80,2 persen—lebih memiliki kecenderungan memilih Machfud-Mujiaman dengan angkat 49,4 persen, mengungguli Eri-Armuji yang hanya 37,8 persen.

Namun, menurut Suko, bisa jadi juga pasangan calon yang diusung PDIP tersebut mendapatkan suara dari ceruk lain. Sebab menurutnya tipikal masyarakat kota tidak dapat dipengaruhi dan memiliki pilihan politik sendiri.

Baca juga artikel terkait PILKADA SURABAYA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo & Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo & Irwan Syambudi
Penulis: Haris Prabowo & Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino