Menuju konten utama
6 Januari 1942

Perang Memaksa Penerbangan Sipil Amerika Serikat Mengelilingi Dunia

Pesawat milik Pan American Airlines melakukan penerbangan sipil pertama yang berhasil mengelilingi dunia di tengah situasi perang.

Perang Memaksa Penerbangan Sipil Amerika Serikat Mengelilingi Dunia
Ilustrasi Mozaik Pan American Airlines. tirto.id/Tino

tirto.id - Cuaca cerah dan angin sepoi-sepoi sudah menyelimuti Teluk San Fransisco sejak pagi tanggal 1 Desember 1941. Pada pukul tiga sore, akan ada penerbangan pesawat komersial maskapai Pan American Airlines tujuan Selandia Baru menggunakan Boeing 314 berkode NC18602—pesawat berjenis flying boat yang terbang dan mendarat di air. Penerbangan premium itu berisi sejumlah awak dan 12 penumpang yang dipimpin oleh pilot senior, kapten Robert Ford.

Bagi kapten yang kala itu berusia 35 tahun, penerbangan melintasi Pasifik adalah hal yang biasa. Ia telah berulang kali melakukan perjalanan panjang melintasi samudra yang memisahkan Benua Amerika dan Asia tersebut. Tapi pada penerbangan kali ini ia mendapati sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Sebagaimana dikisahkan Ford dalam The Long Way Home: A Journey Into History with Captain Robert Ford (2008), sesaat sebelum mengudara, ia menerima amplop berisi surat rahasia perihal prosedur darurat yang harus dibuka ketika terjadi perang.

Rupanya surat itu berkaitan dengan situasi global yang kian memanas. Saat itu, di Eropa terjadi perang sebagai reaksi atas agresivitas Jerman dan Italia. Sedangkan di Asia-Pasifik, Jepang sedang gencarnya melakukan invasi ke berbagai wilayah. Di tengah situasi genting ini terdapat informasi intelijen bahwa Negeri Matahari Terbit akan menyerang Amerika Serikat dalam waktu dekat yang tidak dapat ditentukan.

Atas dasar inilah pihak maskapai dan Angkatan Udara AS merumuskan langkah darurat, jika terjadi peperangan antara Jepang Vs AS yang kemungkinan berlokasi di Pasifik dan mengganggu rute penerbangan tersebut.

Di tengah perasaan was-was, kapten Ford harus tetap percaya diri meskipun ia juga harus bersiap yang terburuk. Setelah beberapa menit melakukan prosedur pra-penerbangan, ia segera meminta penumpang dan awak untuk bergegas menuju pesawat yang terletak di ujung dermaga. Setelah semuanya siap, ia lantas menyalakan mesin dan mengontak Air Traffic Control (ATC) untuk meminta izin terbang. Lantas, dimulailah penerbangan transpasifik selama 13 jam dengan jarak 10 ribu kilometer.

Pesawat rencananya akan menempuh jalur timur yang melintasi Samudra Pasifik dan dijadwalkan akan transit di beberapa tempat: Pearl Harbor, Kepulauan Canton, dan terakhir Auckland. Lalu harus sampai kembali di San Fransisco pada 10 Desember 1941 mengikuti rute yang sama dengan keberangkatan. Pada awalnya semua berjalan lancar. Dalam waktu beberapa hari, pesawat berhenti di Pearl Harbor kemudian Kepulauan Canton untuk mengisi bahan bakar, beristirahat, menurunkan dan mengangkut penumpang.

Tapi semua berubah pada pagi hari tanggal 7 Desember 1941. Ketika pesawat hendak mendarat di Auckland, Kapten Ford beserta seluruh awak kapal mendapat kabar bahwa Jepang telah menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor. Artinya, tidak lama lagi perang akan pecah di Pasifik dan mengharuskan pesawat menerapkan prosedur darurat yang tidak pernah dilakukan dalam sejarah panjang penerbangan sipil manapun di dunia.

Alhasil, rencana semula pun berantakan. Apalagi, mengutip artikel Robert van Linden untuk Smithsonian National Air and Space Museum, seluruh fasilitas Pan American yang terletak di sekitar Auckland, seperti di Filipina, Hongkong, dan Hawai hancur, sehingga tidak ada lagi tempat perlindungan bagi mereka.

Sebagai pemimpin penerbangan, Ford mengalami hal sulit nan dilematis. Ia tidak bisa angkat tangan dalam masalah ini dan harus menuntaskan tugasnya sebagai pilot dengan membawa kembali pesawat beserta awaknya ke Negeri Paman Sam. Tapi di sisi lain, ia tidak mengetahui harus terbang ke mana. Berdiam diri di Selandia Baru pun tidak menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain, sekalipun berhasil terbang, ancaman kematian di depan mata karena tidak menutup kemungkinan pesawatnya akan ditembak musuh. Belum lagi permasalahan biaya yang semakin memberatkan langkah mereka.

Akhirnya, setelah hampir seminggu berkomunikasi dengan pihak maskapai dan pemerintah AS, nasib Ford dan rekan-rekannya mengalami titik terang. Pemerintah memberikan petunjuk agar mendaratkan pesawat di New York yang terletak di bagian Timur AS. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ialah melewati jalur barat: melintasi daratan Asia (Surabaya, Ceylon, Bombay, dan Aden), lalu Afrika (Leopoldsville dan Gambia), Amerika Selatan (Trininad dan Bahamas), hingga sampai di New York.

Rute itu menjadi jalan terbaik yang harus dilewati meskipun sangat berisiko karena sebelumnya tidak pernah dilewati oleh awak pesawat dan berada di zona perang. Terpenting, semuanya harus segera dilakukan sebelum Jepang, Jerman, dan Italia makin agresif di beberapa kawasan dunia.

Pada 17 Desember 1941, kapten Ford bersama awak akhirnya lepas landas dari Auckland dengan mengikuti prosedur darurat yang sudah ditetapkan. Dalam aturan itu disebutkan pesawat harus menanggalkan semua hal terkait AS yang dapat terlihat secara fisik oleh musuh, salah satunya ialah bendera pada badan pesawat. Selain itu, jika tertangkap mereka harus menghancurkan pesawat agar tidak dimanfaatkan oleh musuh.

Infografik Mozaik Pan American Airlines

Infografik Mozaik Penerbangan Pertama Keliling Dunia. tirto.id/Tino

Selama penerbangan yang melewati tiga perempat dunia, Ford hanya mengandalkan selembar peta untuk mengetahui titik koordinat, navigasi alam, komunikasi radio seadanya, dan yang utama: pengamatan empiris. Misalkan, jika ia melihat daratan hutan hujan tropis, dipastikan berada di Hindia Belanda. Lalu, jika berada di atas gurun, dipastikan berada di Afrika. Tidak ada navigasi canggih nan mumpuni.

Ketegangan demi ketegangan dirasakan oleh awak kapal. Selain kealpaan navigasi mengingat perjalanan ini tidak pernah dilaksanakan oleh maskapai sipil manapun, kekhawatiran akan kegagalan mesin dan ancaman keamanan selalu menyelimuti mereka.

Melansir tulisan Dave Kindy di Washington Post, salah satu momen genting adalah ketika pesawat mencapai langit Hindia Belanda. Waktu itu, Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda hampir menembak pesawat yang punya nama lain Pasific Clipper. Pasalnya, tentara kebingungan mendeteksi pesawat itu kawan atau lawan. Alhasil, Ford pun segera mendarat di pelabuhan Surabaya untuk mendapat bantuan dari militer Hindia Belanda. Namun ternyata tidak ada bahan bakar yang sesuai untuk pesawat. Mau tidak mau pesawat harus menerima bensin mobil yang tentu berbeda jenis dan dikhawatirkan akan merusak mesin. Benar saja, beberapa jam kemudian ketika sampai di langit Sri Lanka mesinnya meledak.

Permasalahan seperti itu tidak hanya dialami sekali, tetapi berkali-kali bahkan lebih parah. Tercatat beberapa kali pesawat ditembaki senapan laras panjang, menjadi target misil, dan gagal mendarat karena sulitnya mencari perairan tenang yang aman dan bebas dari ranjau air.

Hingga akhirnya, setelah menempuh perjalanan 50.694 kilometer yang memakan waktu 209 jam, pesawat boeing 314 NC18602 pimpinan kapten Robert Ford mendarat dengan sempurna di perairan New York. Pendaratan yang terjadi pada 6 Januari 1942, tepat hari ini 80 tahun lalu, tercatat dalam sejarah aviasi sebagai penerbangan pesawat komersial pertama yang berhasil mengelilingi dunia.

Baca juga artikel terkait PENERBANGAN SIPIL atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi