Menuju konten utama

'Perang Kuncian' ala 2 Kubu Tak Bakal Berpengaruh ke Hasil Pilpres

Masing-masing kubu dalam Pilpres 2019 saling "membuka kuncian" untuk menjatuhkan citra yang selama ini dibangun lawannya.

'Perang Kuncian' ala 2 Kubu Tak Bakal Berpengaruh ke Hasil Pilpres
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma'ruf Amin (kiri) bersalaman dengan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) dan Sandiaga Uno (kanan) usai Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Beberapa hari lalu, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra bikin geger jagat maya. Ia membongkar tangkapan layar percakapan WhatsApp pribadinya dengan Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 2018. Isi percakapannya yakni HRS menyebut Prabowo "enggak terlalu Islami" dan di sekeliling Prabowo "banyak yang mengidap Islamophobic".

Tak lama berselang, muncul video yang diduga direkam pada 2016, yang menampilkan percakapan antara Kiai Ma'ruf Amin (KMA) dengan beberapa orang membahas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di twitter. Dalam video tersebut, salah satu orang yang hadir adalah Ustaz Yusuf Mansyur.

Dalam video tersebut ada ucapan Ma'ruf yang menyebut: "Menurut saya Ahok itu sumber konflik, bangsa ini akan konflik, tidak akan berhenti kalau Ahok tidak, makanya Ahok itu harus kita habisi."

Baik tangkapan layar maupun video, sama-sama bikin geger dunia maya. Menurut pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, kedua fenomena ini adalah manuver masing-masing kubu "membuka kuncian" agar menjatuhkan citra yang selama ini dibangun lawannya. Citra yang dimaksud Adi tak lain identitas keislaman masing-masing.

"Menurut saya ini efek dari menguatnya politik identitas yang sejak awal dibangun oleh kedua kubu. Dari awal kedua kubu saling mengidentifikasi dirinya menjadi yang paling islami dan dekat dengan umat Islam," kata Adi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (4/4/2019).

"Yusril muncul dengan chat yang menjatuhkan Prabowo. Tiba-tiba muncul video yang menjatuhkan KMA. Video itu jelas sekali. Ini seperti berbalas pantun saja," lanjutnya.

Dengan melihat dua fenomena ini, Adi menilai diskursus Pilpres 2019 hanya berhenti di wilayah "siapa yang paling dekat dengan umat Islam". Menurutnya, tak ada lagi isu berbasis rasionalitas di Pilpres 2019, karena masih kuatnya isu identitas keislaman tersebut.

"Sentimen agama cukup kuat," ujarnya.

Jika melihat sejarah politik elektoral Indonesia pascareformasi, kata Adi, belum pernah ada manuver politik identitas sekuat dan sebrutal saat ini, termasuk di Pilpres 2009 dan Pilpres 2014.

"Dan kalau pun benar-benar ada, itu enggak meledak karena belum adanya penetrasi media sosial," jelasnya.

Menurut Adi, isu keagamaan akan sangat berpengaruh ke pemilih. Apalagi, kata dia, masih banyak pemilih yang melihat capres dan cawapres berdasarkan preferensi agama.

"Namun memang cukup disayangkan mengapa isu berbasis agama yang dimainkan, harusnya isu-isu fundamental seperti ekonomi, kesejahteraan," tambahnya.

Adi melihat ada kemungkinan "kunci-kunci lainnya" akan dibuka menjelang hari pencoblosan, yang memang tinggal menghitung beberapa hari lagi. "Pasti ada saat injury time seperti ini. Publik tinggal menunggu saja."

Tak Terlalu Berpengaruh ke Pemilih

Pengajar politik pemerintahan dari UGM, Arya Budi juga sepakat dengan Adi bahwa munculnya dua fenomena itu untuk mendelegitimasi para pemilih di kedua kubu. Namun, ia melihat para pemilih kedua kubu memiliki corak yang berbeda.

"Ini memang kunci masing-masing kubu. Yusril ingin mendelegitimasi pemilih Islamis Prabowo... Dan munculnya video KMA ingin mendelegitimasi pemilih nasionalis-pluralis, terutama pendukung Ahok," kata Arya saat dihubungi reporter Tirto.

Namun, Arya menilai permainan "kunci-kuncian" seperti ini tak akan memengaruhi pemilih secara signifikan. Ini mengingat para pemilih di kedua kubu sudah paham bahwa apa yang muncul merupakan kampanye, dan memang dimaksudkan menjatuhkan calon masing-masing.

"Kecuali, kalau HRS menyebut secara langsung bahwa Prabowo kurang islami lewat video, atau KMA berkata mengenai Ahok baru-baru ini, itu baru bisa berefek ke pemilih," katanya.

Bahkan ketika "kunci-kuncian" itu muncul lagi beberapa hari sebelum pencoblosan, lanjut Arya, hal tersebut tak akan berpengaruh besar ke pemilih.

"Karena sudah sangat bias partisan. Yang mereka tahu, itu adalah kampanye hitam dan tidak nyata. Mereka sudah terpaku dengan sistem kepercayaan kepada calonnya masing-masing," tambahnya.

Tanggapan Kedua Kubu

Direktur Hukum dan Advokasi BPN Prabowo-Sandiaga, Sufmi Dasco Ahmad merasa pengakuan yang diutarakan Yusril Ihza Mahendra tak perlu ditanggapi secara serius. Ia juga yakin bahwa hal tersebut tak akan memengaruhi elektabilitas Prabowo-Sandiaga.

"Biarin saja, Pak Yusril mau ngomong apa, kek, ngomong bahwa HRS pernah ngomongin Pak Prabowo apa saja, terserah," kata Dasco saat dihubungi reporter Tirto.

"Yang penting sekarang ini, kan, semua orang melihat bahwa hasil Ijtima Ulama yang dikomandoi oleh HRS, kan, mendukung Prabowo Subianto," tegas Dasco.

Wakil Sekretaris TKN Jokowi-Maruf, Verry Surya juga mengatakan hal serupa. Kasus video Ma'ruf yang mencuat ke media sosial tak akan mengganggu elektabilitas yang diklaim telah tinggi.

"Tidak akan. Karena kami sudah keliling Indonesia dan melihat bagaimana masyarakat sudah mengerti dan paham betul mana yang kampanye hitam," kata Verry.

Verry mengajak semua pihak untuk menggunakan narasi positif saat kampanye. Ia mengatakan seharusnya yang dibahas dalam kampanye adalah program-program kesejahteraan masyarakat.

"Kalau memang benar video itu, kita juga harus mikir, pada keadaan kebatinan seperti apa KMA ngomong seperti itu. Kan beda dengan sekarang," tutupnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan